balok-balok di GN Padang |
Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara
dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3
Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran
yang berbeda-beda. Tepat di puncak gunungnya, bebatuan tersebut berserakan
dengan denah mengkerucut dalam 5 teras.
Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 tahun SM (Sebelum Masehi). Situs
megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti
bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur.
Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs
megalitik Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida
di Mesir.
Batu dari Gunung Padang
Kata “padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada
juga pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung),
dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata
‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.
Bentuk situs Gunung Padang berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata
sekitar 1 meter dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis andesit, basaltik,
dan basal. Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian
rupanya teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan
memberikan identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala.
Hal ini membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau
Romawi Kuno dengan angka 7.
Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda pentatonis, yaitu:
da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks peribadatan purba, banyak
juga yang menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater musikal purba.
Batu-batu andesit Situs Gunung Padang hanya dapat ditemui di sekitar Gunung
Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi
batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit
itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan
dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar
berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung
Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.
Situs Gunung Padang pertama kali
termuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin
Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Seorang sejarawan
Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat menguraikannya tetapi belum banyak
keterangan lebih lanjut mengenai informasi keberadaannya. Kajian arkeologi,
sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979. Tidak ditemukannya
artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur
situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak megalitik di Indonesia dan Asia
Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson (500 SM).
Para arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah
kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat
pemujaan masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan
posisi memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik. Analisis dengan
planetarium yang dilacak hingga ke tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs
Gunung Padang pada masa prasejarah menunjukan berada tepat di bawah langit yang
lintasannya padat bintang berupa jalur Galaksi Bima Sakti.
Legenda Prabu Siliwangi
Berbeda dengan para arkeolog, masyarakat setempat meyakini bahwa reruntuhan
bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran
yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya
mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi,
sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga
bebatuan itu dibiarkan berserakan di atas bukit.
Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan
yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk
oleh tangan manusia. Selain itu ditemukan juga guratan senjata kujang dan
ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Argumentasi ini dikuatkan dengan
bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan
dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat yaitu
Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu Sungai
Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang. Namun Bujangga Manik juga
menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.
Uniknya, penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di
teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja
Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang
Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh
Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.
Melihat bentuknya, bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi
megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai
di beberapa daerah di Jawa Barat. Untuk mengeksplor lebih dalam, Andi Arief
yang juga staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan budaya mengkoordinir Tim Terpadu Penelitian Mandiri
Situs Gunung Padang Cianjur—sebelumnya bernama Tim Katastropik Purba—karena
diduga bangunan itu berbentuk piramida. Setelah melakukan pengeboran secara
diam-diam, tim menemukan atap, lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter
terkubur di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar
yang dihasilkan dari pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara
ini benar.
Teka-teki Orkestrasi Musik
Situs Gunung Padang tak hanya memunculkan teka-teki seputar kebudayaan masa
lalu yang telah membuatnya. Peneliti dari Bandung Fe Institute bahkan menemukan
di sudut belakang bagian timur undak pertama ada sejumlah batu yang tersusun
sedemikian rupa. Karena dengan memukulnya akan terdengar suara nyaring
berfrekuensi tinggi bagaikan nada-nada.
Peneliti Fe Institue, Hokky Situngkir mengungkap bebatuan tersebut seolah
menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan berbagai artefak
litofonik warisan megalitik yang juga ditemukan di banyak negara di kawasan
Asia Tenggara, ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya. Dengan
menggunakan analisis fast fourier transform, Hokky dkk memetakan nada-nada yang
dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan pengerucutan
pada empat nada yakni ‘f’-'g’-'d’-'a’. Menurut dia, mayoritas batuan yang
disampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai
‘nada’ tertentu.
Tangga nada dalam pengelompokan batuan itu lazim digunakan dalam musikologi
modern. Fakta ini menunjukkan bahwa sangat mungkin tradisi megalitik di situs
Gunung Padang telah mengenal instrumen musik. Memang dari sisi urutan nada-nada
yang diperoleh belum sempurna untuk dapat dikategorikan sebagai pentatonic
scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan nada-nada yang hilang tersebut
kemungkinan ada di batuan yang sebagian terpendam tanah di sekitar batuan yang
menghasilkan frekuensi tinggi.
Soal musik ini masih menjadi teka-teki, apakah batu yang jadi sumber bunyi
itu merupakan artefak litofon yang telah ditemukan di banyak tradisi megalitik
lainnya. Jika memang batuan ini dijadikan alat musik, maka peradaban yang membangunnya
telah mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok.
Apalagi kawasan situs ini memiliki ketinggian 983-989 di atas permukaan
laut atau relatif jauh lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Hokky dkk menduga,
bukan tidak mungkin bunyi-bunyian dari batu itu dijadikan sebagai pemberi
aba-aba atau informasi di kawasan bawah situs dengan tipe punden berundak itu.
Tidak dipotong-potong
Berbeda dengan pendapat jika batu-batu itu dibentuk, ada pendapat lain jika
Situs Gunung Padang dibangun dari batu-batu yang ada, tanpa sentuhan tangan
manusia. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia dan arkeolog senior,
Mundardjito, para pembangun punden berteras lima itu mengambil bebatuan dari
situs itu kemudian menempatkan sesuai fungsinya di bangunan itu.
Ini artinya, pembuatannya tidak seperti Candi Borobudur yang mendapatkan
sumber bebatuan dari tempat lain kemudian dipotong berbentuk persegi sesuai
ukuran yang dibutuhkan. Fakta ini mematahkan pendapat bahwa si pembangun Situs
Gunung Padang menumpuk dan menyusun batu-batu itu dari bawah sampai ke atas
hingga menjulang setinggi seratus meter.
Soal pernyataan Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di
dalam Gunung Padang dari hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik,
ada seorang geolog yang menjelaskan bahwa sebenarnya itu bukan ruang, melainkan
tanah lembab atau lempung. Sebelumnya, warna biru sesuai hasil pemindaian Tim
Andi Arief diduga adalah ruangan bawah tanah di Situs Gunung Padang.
Penelitian tim lain juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung
Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran
manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu.
Sebagai upaya pelestarian ada usul
penetapan tiga zonasi perlindungan.
Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian
terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area
yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi. Kemudian Zona
Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya
tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter
persegi.
Lalu, berapakah usia sesungguhnya situs Gunung Padang ini? Fakta awal Gunung
Padang adalah gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari
tenggorokan gunung api. Berdasar penelitian lewat pertanggalan C-14 terhadap
sisa material yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa
pernah terjadi longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik
muncul dan berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi. Mana
yang benar?Penelitian hingga kini masih berlangsung. Jadi,tunggu saja.