Daftar Isi

Tuesday, May 28, 2013

Melongok Situs Gunung Padang

balok-balok di GN Padang
Balok-balok batu itu berserakan di mana-mana. Tidak hanya di puncak bukit tetapi juga di pesawahan, di sekitar rumah-rumah penduduk, bahkan diperkirakan masih tak terhitung jumlahnya tertanam di bawah bukit dan tanahnya yang amat subur. Lokasi situs ini berada di ketinggian 885 m dpl, di Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur.

Situs Gunung Padang adalah peninggalan megalitik terbesar di Asia Tenggara dengan luas bangunan purbakalanya sekitar 900 m² dan areal situsnya sekitar 3 Ha. Bangunan punden berundaknya berbahan bebatuan vulkanik alami dengan ukuran yang berbeda-beda. Tepat di puncak gunungnya, bebatuan tersebut berserakan dengan denah mengkerucut dalam 5 teras.

Diperkirakan batunya berusia 4000-9000 tahun SM (Sebelum Masehi). Situs megalitik ini sendiri berasal dari periode 2500-4000 SM. Ini berarti bangunannya telah ada sekitar 2.800 tahun sebelum dibangunnya Candi Borobudur. Bahkan, usia situs megalitik ini lebih tua dari Machu Picchu di Peru. Situs megalitik Gunung Padang diperkirakan sezaman dengan bangunan pertama Piramida di Mesir.

Batu dari Gunung Padang
Kata “padang’” dalam bahasa Sunda berarti caang atau terang benderang. Ada juga pengertian lain dari istilah “padang”, yaitu: pa (tempat), da (besar; agung), dan hyang (eyang; moyang; leluhur), dari ketiga kata tersebut kemudian kata ‘padang’ dimaknakan sebagai tempat agung para leluhur.

Bentuk situs Gunung Padang berupa tiang-tiang dengan panjang rata-rata sekitar 1 meter dan berdiameter rata-rata 20 cm, berjenis andesit, basaltik, dan basal. Geometri ujung batu dan pahatan ribuan batu besar dibuat sedemikian rupanya teratur berbentuk pentagonal (lima sudut). Angka 5 juga seakan memberikan identitas pemujaan bilangan ‘5’ oleh masyarakat Sunda dahulu kala. Hal ini membedakannya dengan Babylonia yang menganggap sakral angka 11 atau Romawi Kuno dengan angka 7.

Simbol ‘5’ tersebut mirip dengan tangga nada musik Sunda pentatonis, yaitu: da mi na ti na. Oleh karena itulah, selain kompleks peribadatan purba, banyak juga yang menyebut Situs Gunung Padang sebagai teater musikal purba.

Batu-batu andesit Situs Gunung Padang hanya dapat ditemui di sekitar Gunung Padang. Begitu menyeberangi Kali Cikuta dan Kali Cipanggulaan, tidak ada lagi batu-batu besi seperti itu. Masyarakat setempat percaya bahwa batuan andesit itu terlebih dahulu diukir di satu tempat yang kini disebut Kampung Ukir dan dicuci di satu empang yang disebut Kampung Empang. Hingga kini terhampar berserakan sisa-sisa ukiran batu purba tersebut. Kampung Ukir dan Kampung Empang berada sekitar 500 meter arah tenggara Situs Megalitik Gunung Padang.
  
Situs Gunung Padang pertama kali  termuat dalam Rapporten van de Oudheidkundige Dienst (ROD) atau Buletin Dinas Kepurbakalaan pemerintah Hindia Belanda pada 1914. Seorang sejarawan Belanda ternama yaitu N. J. Krom sempat menguraikannya tetapi belum banyak keterangan lebih lanjut mengenai informasi keberadaannya. Kajian arkeologi, sejarah, dan geologi kemudian dilakukan Puslit Arkenas sejak 1979. Tidak ditemukannya artefak berupa manik-manik atau peralatan perunggu menyulitkan penentuan umur situs ini. Hal itu karena mayoritas artefak megalitik di Indonesia dan Asia Tenggara ditemukan pada masa kebudayaan Dongson (500 SM).

Para arkeologi sepakat bahwa Situs Gunung Padang bukan merupakan sebuah kuburan seperti dinyatakan oleh Krom (1914) tetapi merupakan sebuah tempat pemujaan masyarakat Sunda Kuna. Selain itu, situs ini juga dibangun dengan posisi memperhatikan pertimbangan geomantik dan astromantik. Analisis dengan planetarium yang dilacak hingga ke tahun 100 M menunjukkan bahwa posisi Situs Gunung Padang pada masa prasejarah menunjukan berada tepat di bawah langit yang lintasannya padat bintang berupa jalur Galaksi Bima Sakti.

Legenda Prabu Siliwangi
Berbeda dengan para arkeolog, masyarakat setempat meyakini bahwa reruntuhan bebatuan ini berkaitan dengan upaya Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjadjaran yang ingin membangun istana dalam semalam. Bersama pasukan dan masyarakatnya mengumpulkan balok-balok batu alami dari sekitar Gunung Padang. Akan tetapi, sayang upaya tersebut gagal karena fajar telah menggagalkannya sehingga bebatuan itu dibiarkan berserakan di atas bukit.

Asumsi tersebut diyakini karena peninggalan prasejarah ini berupa bebatuan yang sama sekali belum mengalami sentuhan tangan manusia atau belum dibentuk oleh tangan manusia. Selain itu ditemukan juga guratan senjata kujang dan ukiran tapak harimau pada dua bilah batu. Argumentasi ini dikuatkan dengan bentuk monumental megalit dan catatan Bujangga Manik, yaitu seorang bangsawan dari Kerajaan Sunda dari abad ke-16 yang menyebutkan suatu tempat yaitu Kabuyutan (tempat leluhur yang dihormati orang Sunda) berada di hulu Sungai Cisokan yang berhulu di sekitar Gunung Padang. Namun Bujangga Manik juga menulis bahwa situs ini sudah ada sebelum Kerajaan Sunda.

Uniknya, penduduk setempat menjuluki beberapa batu yang terletak di teras-teras itu dengan nama-nama berbau Islam. Misalnya ada yang disebut meja Kiai Giling Pangancingan, Kursi Eyang Bonang, Jojodog atau tempat duduk Eyang Swasana, sandaran batu Syeh Suhaedin alias Syeh Abdul Rusman, tangga Eyang Syeh Marzuki, dan batu Syeh Abdul Fukor.

Melihat bentuknya, bangunan punden berundaknya mencerminkan tradisi megalitik (mega berarti besar dan lithos artinya batu) seperti banyak dijumpai di beberapa daerah di Jawa Barat. Untuk mengeksplor lebih dalam, Andi Arief yang juga staf khusus presiden bidang bantuan sosial dan budaya  mengkoordinir Tim Terpadu Penelitian Mandiri Situs Gunung Padang Cianjur—sebelumnya bernama Tim Katastropik Purba—karena diduga bangunan itu berbentuk piramida. Setelah melakukan pengeboran secara diam-diam, tim menemukan atap, lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter terkubur di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar yang dihasilkan dari pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara ini benar.

Teka-teki Orkestrasi Musik
Situs Gunung Padang tak hanya memunculkan teka-teki seputar kebudayaan masa lalu yang telah membuatnya. Peneliti dari Bandung Fe Institute bahkan menemukan di sudut belakang bagian timur undak pertama ada sejumlah batu yang tersusun sedemikian rupa. Karena dengan memukulnya akan terdengar suara nyaring berfrekuensi tinggi bagaikan nada-nada.

Peneliti Fe Institue, Hokky Situngkir mengungkap bebatuan tersebut seolah menjadi sebuah alat musik litofonik purba. Tapi berbeda dengan berbagai artefak litofonik warisan megalitik yang juga ditemukan di banyak negara di kawasan Asia Tenggara, ukuran dari artefak ini jauh lebih besar dimensinya. Dengan menggunakan analisis fast fourier transform, Hokky dkk memetakan nada-nada yang dicurigai sampel frekuensinya ke tangga nada barat dan ditunjukkan pengerucutan pada empat nada yakni ‘f’-'g’-'d’-'a’. Menurut dia, mayoritas batuan yang disampling tidak menghasilkan bunyi yang frekuensinya dapat diklaim sebagai ‘nada’ tertentu.


Tangga nada dalam pengelompokan batuan itu lazim digunakan dalam musikologi modern. Fakta ini menunjukkan bahwa sangat mungkin tradisi megalitik di situs Gunung Padang telah mengenal instrumen musik. Memang dari sisi urutan nada-nada yang diperoleh belum sempurna untuk dapat dikategorikan sebagai pentatonic scale ataupun heptatonic scale. Ada dugaan nada-nada yang hilang tersebut kemungkinan ada di batuan yang sebagian terpendam tanah di sekitar batuan yang menghasilkan frekuensi tinggi.

Soal musik ini masih menjadi teka-teki, apakah batu yang jadi sumber bunyi itu merupakan artefak litofon yang telah ditemukan di banyak tradisi megalitik lainnya. Jika memang batuan ini dijadikan alat musik, maka peradaban yang membangunnya telah mengenal pola orkestrasi atau permainan musik dengan berkelompok.

Apalagi kawasan situs ini memiliki ketinggian 983-989 di atas permukaan laut atau relatif jauh lebih tinggi dari kawasan sekitarnya. Hokky dkk menduga, bukan tidak mungkin bunyi-bunyian dari batu itu dijadikan sebagai pemberi aba-aba atau informasi di kawasan bawah situs dengan tipe punden berundak itu.

Tidak dipotong-potong
Berbeda dengan pendapat jika batu-batu itu dibentuk, ada pendapat lain jika Situs Gunung Padang dibangun dari batu-batu yang ada, tanpa sentuhan tangan manusia. Menurut Guru Besar Universitas Indonesia dan arkeolog senior, Mundardjito, para pembangun punden berteras lima itu mengambil bebatuan dari situs itu kemudian menempatkan sesuai fungsinya di bangunan itu.

Ini artinya, pembuatannya tidak seperti Candi Borobudur yang mendapatkan sumber bebatuan dari tempat lain kemudian dipotong berbentuk persegi sesuai ukuran yang dibutuhkan. Fakta ini mematahkan pendapat bahwa si pembangun Situs Gunung Padang menumpuk dan menyusun batu-batu itu dari bawah sampai ke atas hingga menjulang setinggi seratus meter.

Soal pernyataan Tim Terpadu Penelitian Mandiri tentang adanya ruangan di dalam Gunung Padang dari hasil pemindaian dengan geomagnetik dan geolistrik, ada seorang geolog yang menjelaskan bahwa sebenarnya itu bukan ruang, melainkan tanah lembab atau lempung. Sebelumnya, warna biru sesuai hasil pemindaian Tim Andi Arief diduga adalah ruangan bawah tanah di Situs Gunung Padang.

Penelitian tim lain juga mencatat berbagai bentuk kerusakan di situs Gunung Padang. Kerusakan memang bisa disebabkan oleh alam, namun peran manusia—pengunjung dan masyarakat—juga sangat besar dalam proses perusakan itu. Sebagai upaya pelestarian  ada usul penetapan tiga zonasi perlindungan.

Zona Inti yang merupakan area pelindungan utama untuk menjaga bagian terpenting cagar budaya seluas 9.000 meter persegi. Zona Penyangga, suatu area yang melindungi zona inti seluas 129.000 meter persegi. Kemudian Zona  Pengembangan, berfungsi melindungi lanskap alam dan budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan, rekreasi dan kepariwisataan seluas 153.800 meter persegi.

Lalu, berapakah usia sesungguhnya situs Gunung Padang ini? Fakta awal Gunung Padang adalah gunung api purba. Batuan kekar kolom merupakan hasil dari tenggorokan gunung api. Berdasar penelitian lewat pertanggalan C-14 terhadap sisa material yang ditemukan di aliran sungai sisi barat Gunung Padang, bahwa pernah terjadi longsoran sekitar 5.300 tahun silam. Sementara budaya megalitik muncul dan berkembang pertama kali di Bumi sekitar 2500 - 1500 sebelum masehi. Mana yang benar?Penelitian hingga kini masih berlangsung. Jadi,tunggu saja.


Friday, May 24, 2013

Demi Tuhaaaan!

Arya dan Adi Bing Slamet
Syahdan, dunia menjadi gempar saat berita kematian Marilyn Monroe tersebar luas. Seorang bintang tenar yang sedang berada di puncak popularitas, ditemukan sekarat karena dugaan over dosis. Marilyn meninggal di usia 36 tahun. Hingga kini, kontroversi kematiannya masih terus terjadi. Benarkah ia bunuh diri?Atau Marilyn sengaja dibunuh karena  dianggap membahayakan karir politik Presiden John F. Kennedy (JFK) dan saudara laki-lakinya Robert F. Kennedy?

Saat Marilyn meninggal 5 Agustus 1962, dunia hiburan Hollywood tentu belum semaju sekarang. Tapi sudah jadi rahasia umum, jika perempuan berambut blonde itu pernah jadi “cem-ceman” JFK. Seturut kemajuan dunia medis, kesimpulan awal jika Marilyn sengaja mengakhiri hidupnya memang tak berubah. Belakangan langkah Marilyn juga “ditiru” pesohor-pesohor Amerika yang lain, seperti pentolan grup Nirvana, Kurt Cobain. Ia mati setelah menembak kepalanya sendiri, ditengah rencana perceraian dengan istrinya.

Selebritas Indonesia, bersyukur masih kuat mental menghadapi tekanan hidup, yang kadang sudah diluar rasio. Catatan sendu barangkali hanya ditorehkan saat bintang lawas Marlia Hardi nekad menggantung diri karena belitan hutang dari rentenir yang tak kunjung usai.Sejujurnya dengan pendekatan apapun, kisah-kisah tragis bintang Hollywood itu susah dipahami, hingga tak aneh latar belakang dari perbuatan nekad itu hingga kini masih buram. Popularitas, puja-puji, limpahan materi dan kemuliaan hidup telah mereka dapatkan. Mereka juga bukan bintang yang tiba-tiba nongol dan menuai berkah dari keajaiban publikasi. Tapi kenapa mereka melakukan itu? 

Mungkin masalahnya tidak sesederhana itu. Bagi orang awam yang belum pernah mencicipi dunia yang penuh ektravaganza, bintang-bintang itu seperti hidup di atas menara gading. Semua serba dilayani. Tak aneh, ribuan anak muda bermimpi untuk menggapainya. Jika pun anaknya tak mau, orang tuanya kadang yang punya obsesi besar agar sang anak bisa popular. Bukan rahasia lagi, segala cara ditempuh, bahkan bila perlu mengeluarkan biaya pribadi untuk sekedar bisa bikin video klip atau mendapat peran kecil di sebuah pentas drama atau sinetron. Bagi yang beruntung, bisa lewat “jalan tol” bernama kontes-kontesan, atau yang sedang in sekarang, tingkah konyol di Youtube atau depan kamera.

Otak pebisnis hiburan adalah menangkap momen. Siapa yang sedang naik, langsung ditangkap. Kadang dengan sedikit perjudian. Ini yang terlihat, ketika akhir-akhir ini tayangan-tayangan infotainment dipenuhi teriakan “Demi Tuhaaaaan” Arya Wiguna, bekas anak buah Eyang Subur. Dulu ada Sinta dan Jojo (Sinjo), serta Norman Kamaru. Saya tidak ingin memastikan, durasi Arya Wiguna paling setali tiga uang dengan Sinjo dan Norman Kamaru. Laiknya gelembung sabun, mengembang sebentar lantas meletus, segera dilupakan orang.

Faktor terpenting dari hikmah popularitas adalah cara mensyukurinya. Entah populer hasil kerja berdarah-darah, atau ketiban sampur karena rencana Tuhan. Sebab, saat popularitas itu dimasukan ke dalam hati, sakitnya bukan kepalang, ketika dicabut Yang Maha Kuasa. Coba anda tanya  bagaimana perasaan bintang besar, yang sempat berjaya di era 2000-an misalnya, kemudian diceukin tatkala berada di antara kerumunan wartawan, karena para jurnalis lebih suka menyapa dan mewawancara artis muda yang segar, ranum dan cantik.  Sakit sekali. Seperti diasingkan di planet Mars.

Tidak ada yang salah dengan pelaku industri hiburan. Hukum ekonomi berlaku ketat. Siapa yang tak lagi mendatangkan fulus, bakal ditendang. Arya Wiguna mungkin masih merasa ini masanya. Ini saatnya untuk menikmati puja-puji, diajak foto bareng, ditawari kontrak rekaman, atau digaet untuk jadi calon wakil bupati. Apakah keliru? Jangan salah, ekspektasi publik kadang diluar kemampuan si bintang, hingga popularitas dalam diri beberapa orang justru menjadi penjara budaya. Michael Jackson habis-habisan mengonsumi obat kuat, agar shownya bisa berlangsung perfect. Akibatnya, Jacko meninggal dunia.
 
Marilyn Monroe
Selain soal attitude, belum masalah benda-benda yang menempel di badan. Saat job masih lancar, duit mengalir, mungkin itu tak masalah. Tapi, usia popularitas jika tak pandai menjaganya bisa-bisa hanya seumur jagung. Jika tak kuat menahan segala tekanan itu, obat-obatan atau pelatuk pistol rawan dipilih sebagai solusi. Intinya, tidak gampang berenang diantara awan-awan popularitas. Kerinduan untuk menjejak bumi lepas dari segala atribut keartisan kerap meggoda, tapi situasi dan kondisi sering menahannya. Ini bikin stress.

Arya Wiguna dan belakangan Sefty Sinustika, istri si playboy Ahmad Fatonah, tahu benar kesempatan tidak datang dua kali. Saat moncong kamera terus bertubi-tubi ingin mengambil gambarnya, ini adalah potensi yang bisa mendatangkan keuntungan finansial yang besar. Mereka sedang dipeluk Dewi Fortuna. Soal ada yang sudah bosan melihat lagaknya yang alay (pinjam istilah ABG sekarang), itu  masalah lain. Namun jika membaca peta persaingan super ketat yang terus berlangsung, “Demi Tuhaaaaaan” bukan itu cara bijak untuk mensyukuri keberuntungan mereka. Kecuali kalau Arya ingin, keberadaannya di pentas dunia hiburan cepat-cepat ditarik dari orbit edar, karena publik sudah tak menyukainya lagi. Habis, cuma bisa teriak-teriak "Demi Tuhaaaan" doang

Monday, May 20, 2013

KAOS


Ada satu moment “menjijikan” saban kali peluit panjang wasit menandai berakhirnya pertandingan sepak bola. Beberapa pemain terlihat bertukar kaos,  menggegamnya erat-erat, seolah tak mau kehilangan barang berharga itu. Ritual ini, dalam beberapa hal memang seperti menghapus segala perseteruan yang baru terjadi. Seorang pemain bintang, kadang tak melulu menukar kaosnya sebagai tanda berakhirnya kompetisi, tapi juga karena sang kaos jadi rebutan sebagai cedera mata pemain lawan yang mengaguminya. Tak peduli, kaos itu sudah basah dan menguarkan bau tak sedap.

Sebagai penikmat bola amatiran, saya kadang tak habis pikir dengan “upacara” itu. Buat apa kaos bau ketek ditukar-tukar, atau bahkan diperebutkan, seperti yang terjadi saat David Beckam bertandang ke Senayan tempo hari? Bukankah jersey serupa bisa dibeli, dari kelas yang original hingga yang berharga Rp 35 ribu, dengan jaminan masih baru dan tidak bau?Belakangan setelah saya ngobrol dengan seorang bekas pengurus PSSI, ritual itu memang memiliki banyak makna. Salah satunya, kompetisi boleh saja berlangsung sengit dan keras. Tapi setelah semua usai, mereka semua, kita semua sesungguhnya bersaudara.

Makna ini memang terasa indah, jika diresapi dalam-dalam tak hanya di dunia olahraga. Saya tergelitik untuk menghubungkannya dengan fenomena belakangan, dimana para artis sedang berlomba-lomba memakai kaos partai. Ada yang berseragam merah, biru, hijau atau kuning. Saat ini, kaos telah membuat mereka “berjarak”. Si A adalah kita, dan si B adalah mereka. Kompetisi sengit yang bakal dihelat di 2014 nanti, sudah mulai terlihat dengan berbagai manuver, dengan alasan yang hampir seragam; ingin memperbaiki kondisi bangsa.

Ada artis yang tetap setia dengan seragam kaos sebelumnya. Tapi beberapa terlihat berganti kaos, karena mendapat tawaran yang lebih menarik dari partai sang pemilik kaos. Mirip seperti pemain bola profesional, yang jika tak betah akan segera hengkang untuk mengenakan jersey baru. Kaos menjadi identitas baru, sekaligus sumber kebanggaan karena berhasil masuk dalam komunitas tertentu. Tak cuma sebagai anggota dewan,”kaos” dalam hal jabatan yang lebih tinggi juga menarik untuk jadi rebutan.

Saat Rieke Dyah Pitaloka ada isu hendak mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Jawa Barat, saya sempat menanyakannya kenapa harus “mengkhianati” konstituen yang telah mengantarkannya ke Gedung Dewan.  Saat itu, Rieke mencoba meyakinkan jika niatnya untuk maju “nyagub” baru sebatas wacana. Kebetulan belum lama Rano Karno meninggalkan kursi Wakil Bupati Tangerang, untuk memburu jabatan lebih tinggi sebagai Wakil Gubernur Banten. Langkah Rano itu sempat membuat saya berdebat kecil dengan Si Oneng, soal banyaknya politisi yang lebih bernafsu memburu kekuasaan, daripada merampungkan amanah yang dibebankan masyarakat hingga tuntas.
kaos partai siap dijual
Posisi sebagai selebritas, dalam banyak hal memang menguntungkan artis saat hendak terjun di dunia politik praktis. Pramono Anung dalam risetnya bahkan menyebut, artis sebagai figur yang paling kecil mengeluarkan ongkos politiknya, karena nama mereka yang sudah dikenal. Dalam posisi seperti itu pun, mereka masih kerap diberi keistimewaan, dengan ditanggung seluruh biaya kampanyenya. Ini sungguh-sungguh terjadi dan bukan isapan jempol belaka. Partai politik tak peduli dengan latar belakang si artis. Entah tak tamat SMA atau populer hanya karena gosip-gosipnya semata.

Apresiasi tentu pantas disematkan pada artis yang mau belajar, dan akhirnya mereka jadi melek politik. Tapi gugatan juga harus dilayangkan, pada artis yang selama lima tahun jadi anggota DPR tapi tak pernah sekalipun ngomong politik di depan media. Giliran ngomong, malah soal rencana cerainya. ”Kaos” yang mereka pakai, seolah hanya formalitas agar tak di cap pengangguran terselubung, karena berkurangnya job di dunia hiburan. Lebih mengenaskan lagi, jika semua itu dilakukan karena memang kapasitas mereka yang tidak memadai sebagai anggota dewan.

Sistem pemilihan langsung telah menjungkirbalikan akal sehat kita, sampai-sampai ada kekhawatiran akan muncul oilgarki-oligarki baru. Jabatan publik dikuasai oleh keluarga dan golongan tertentu, karena kekuatan uang dan pengaruh. Masyarakat pun dinilai semakin pragmatis. Tak peduli misi dan visi, jika sudah menyumbang pembangunan mushola, maka pilihan gampang dijatuhkan. Kondisi ini, telah menutup rapat figur cerdas dan punya idealisme tinggi untuk berkiprah di dunia politik, karena asupan “gizi”nya yang seret.

Laiknya semangat sepak bola, korps artis memang paling sedikit menonjolkan “kaos”nya setelah kompetisi berakhir. Ini positif. Mereka masih merasa senasib sepenanggungan, walau berada dalam partai berbeda. Jarang terjadi saling serang, atau sikap bermusuhan sekalipun itu di depan layar gelas. Keadaan ini berbeda pada politisi yang berangkat dari background lain, terutama para pengusaha lebih-lebih aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Tentu saja undang-undang memberi jaminan dan hak yang sama pada tiap warga negara, apapun profesinya untuk berkiprah di dunia politik. Jika segala kemudahan didapatkan kelompok artis, itu adalah berkah Tuhan yang harus disyukuri. Namun berkah itu rasanya terlalu dikesankan aji mumpung, jika mereka berangkat dengan bekal minim dan kemampuan seadanya.  

Saat para artis itu telah berhasil mentransfer nilai-nilai sportivitas usai kompetisi 2009 lalu, akan lebih elegan lagi jika mereka juga meniru persiapan matang seorang pemain bola dengan latihan kerasnya, agar level permainannya bisa meningkat lebih tinggi lagi. Tantangan zaman berubah. Persoalan bangsa terus menjadi-jadi. Dengan kemampuan mumpuni, yah, selain agar tidak malu-maluin, siapa tahu “kaos” yang mereka pakai benar-benar menjadi jersey kebanggaan. Bukan sekedar alat kamuflase karena di dunia hiburan nama mereka sudah mulai redup.Tabik...