Daftar Isi

Monday, April 15, 2013

Taman Rakyat Slawi Ayu


Monumen Kota Slawi
Seberapa seringkah ingatan masa lalu menggoda jiwa untuk kembali menelusur “jalan setapak” yang pernah kita lewati? Jika pertanyaan itu diajukan pada saya, jawabannya gampang saja; sering sekali. Maka saat ada kesempatan, hal itu tidak saya sia-siakan. Usai liputan sebentar di Cirebon, Rabu (10/4) lalu, saya sengaja nyelintis (bahasa Indonesianya apa ya?) ke kampung halaman. Jarak Cirebon-Tegal tidaklah jauh. Saya pamit tidak ikut bus panitia, untuk kembali ke Jakarta.

“Mau nengok orang tua bro. Mereka bilang lagi agak kurang sehat,”kata saya pada orang Djarum, usai berbasah-basahan memotret penghijauan kawasan Pantura. Saya sempat berfikir, ah, paling dua jam  juga sampai. Tapi ternyata keliru. Di terminal Cirebon, saya harus menunggu lama bus Coyo. Tarifnya Rp 20 ribu. Karena lapar, saya sempatkan juga mencicipi lontong empal.

Bus Coyo memang hanya sampai stasiun Tegal. Untuk ke Jembayat, Margasari, terpaksa saya naik bus ¾. Kala itu malam, hujan lebat baru saja turun. Bau tanah basah terasa menyeruak, membuat pori-pori hidungku kembali menyeret masa sekian puluh tahun lalu. 

Sekejap, saat melewati Kota Slawi, mata saya mulai berbinar-binar. Bukan apa-apa. Tapi sungguh, semua telah berubah. Semua telah bergerak maju, untuk tidak saya katakan berubah modern. Masjid Jami Slawi telah berdiri megah, dengan bunderan yang elok dan manglingi. Dulu sejak SD-SMP, saya tak henti-henti disodori kupon sumbangan. Katanya untuk mbangun Masjid Jami. Mungkin setelah berdiri megah, iuran itu sudah berhenti.

 Jika ada yang kurang, barangkali jalan-jalannya saja yang masih bergerunjal, seperti kurang perawatan.Tapi hal paling menyolok mata adalah berdirinya beberapa taman di sepanjang Kota Slawi hingga Adiwerna. Mataku sempat bersirobok dengan sebuah prasasti bertuliskan sesuatu, yang langsung menyita perhatian. Di situ tertulis,”Taman Rakyat Slawi Ayu”. 

Karena naik bus, saya memang tidak bisa menengok bagaimana keindahan sang taman. Begitu pula kondisi gelap tak membuat semua pemandangan taman bisa terakses dengan sempurna.
salah satu sudut kota Tegal

Tapi, sepanjang jalan pikiran saya sungguh tergelitik. Kenapa disebut “Taman Rakyat”?Kata “Rakyat” membuat imajiku bergerak liar. Saya jadi ingat pemuda rakyat, balai rakyat, tentara rakyat dan Republik Rakyat (Cina). Saya berbaik sangka, mungkin yang memberi nama ingin mengesankan, jika taman itu memang untuk rakyat. Tapi jika dilanjut,”Taman Rakyat Slawi Ayu”, saya yang orang Jembayat barangkali tak boleh masuk. Ini artinya, saat akan masuk bakal ditanyai, “Ente orang mana?Ada KTP?Ini khusus rakyat Slawi,”.Amboi….

Mungkin pula yang memberi nama ingin mengingatkan, jika Slawi dulu amat anti pada gerakan pemuda rakyat, organisasi underbouw PKI. Ada semacam penegasan heroik, atau spirit semacam itulah, yang membuat taman itu memang pantas di kasih embel-embel ‘rakyat’. Ini tentu beda dengan taman bunga di depan SMA 1 Slawi, almamater tercintaku. Tapi, pemberian nama itu, jika direnung lebih dalam, sesungguhnya menunjukan ketidakfahaman konteks sebuah kata, dengan makna kata yang diinginkan. Ini pendapat pribadi. Saya bisa saja salah.

Selain taman rakyat Slawi Ayu, di kiri kanan jalan bertebaran pula spanduk-spanduk pilkada. Jago dari masing-masing parpol memasang jargon-jargon menarik. Ora korupsi lan ngapusi, misalnya. Ada juga yang menulis,ngajeni lan ngayemi. Pikiran bodoh saya lantas bertanya, sejak kapan orang Tegal mengadopsi kata “lan” menjadi penyambung antar kalimat?Mungkin ada intervensi dari orang Semarang, yang notabene sedang punya hajat. Tapi mengingat itu, saya tersenyum sendiri, sambil menikmati jalanan mulus Lebaksiu. Di sinilah, di sebuah tikungan, saya masih menjumpai beberapa deret warung sate, yang mengusung nama unik dan nyleneh.

plang sate Tegal
Apa hayo?Jika diamati, semua warung sate dari Tegal hingga Lebaksiu, selalu diawali kata “ibu” tapi dibelakangnya nama sang suami. Ada “Ibu Hadi”, “Ibu Toto”, atau “Ibu Ratno”. Jarang sekali yang percaya diri memakai nama warung sate “Ibu Maya”,  “Ibu Ayu” atau “Ibu Ariani”. Kenapa? Apakah karena dengan mencantumkan nama suami, kesannya lebih menghormati sang kepala keluarga, meski yang ngipasi tetap saja sang istri? 

Saya berfikir, mungkin ini hanya trik pemasaran saja. Semacam keyakinan, jika nama suami disebut bakal membuat awareness pengunjung bisa lebih cepat nyangkut. Alhasil, warung sate “Ibu Ayu” barangkali terdengar janggal.

Tegal kota, dan kabupaten Tegal, tentu memiliki segudang unggulan. Sate salah satu diantaranya.  Karena keunggulan ini, saya sempat ketemu Saipul Jamil syuting sinetron Haji Medit, dan dia memerankan orang Tegal yang membuka warung sate bernama warung sate “Rika”. Ini bukan nama orang. Tapi “Rika” terjemahan dari kamu, ente, elo atau kowen. Saya sedikit banyak bangga, karena sate dan dialek Tegal laku dijual. Yah, meski masih sebatas untuk lucu-lucuan,komedi-komedian, walau sesungguhnya bisa dipakai untuk lebih serius.

Memang ada hal yang cukup mengecewakan. Tegal yang terkenal dengan warung Tegal-nya, ternyata lebih suka membangun monumen poci di berbagai sudut kota. Sepanjang saya berkeliling Indonesia, tak ada yang tidak mengenal warteg. Tapi teh poci?Mungkin dikenal, tapi sebatas dikota Tegal dan Slawi saja. Anehnya, tak ada monumen warteg, sebagai penanda itulah yang selama ini telah menghidupi ribuan warga Tegal, telah mengangkat derajat dan menyekolahkan anak-anak Tegal, hingga menjadi dosen, tentara, bahkan menteri. 

Sampai di rumah, ada lagi satu yang tertinggal, soal laporan pandangan mata. Spanduk panjang seorang dalang membentang, meminta bantuan dan doa restu karena ia hendak mencalonkan diri sebagai calon bupati (cabup). Belum lama berselang, saya juga membaca berita, seorang pesulap yang tak pernah bicara tertarik untuk maju sebagai cabup Tegal.

Ah, demokrasi kadang mengorbankan kualitasnya sendiri. Secara pribadi, saya bermimpi Tegal bakal di pimpin oleh orang-orang dengan kemampuan mumpuni. Punya wawasan global, dengan citarasa lokal. Tapi, saya tak mau terlibat terlalu dalam soal ini. Pro dan kontra bakal muncul. Mending lihat saja, dan siapapun yang terpilih, itu pilihan wong Tegal.

Saat balik ke Jakarta, dan melewati Cirebon, semua lenyap begitu pengamen cantik mendendangkan tembang “Bandul Satenong” dan “Nambang Dawa”.” “Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Begitu mereka berteriak liris, dengan nada mendayu-dayu, cengkok menggoda, meski tanpa goyang pinggul dan geser dada.

Bertahun-tahun ngasab di ibukota, Tegal memang terasa jauh dari pelupuk mata. Tapi bukan berarti saya tak boleh urun rembuk dan suara,  demi menghindar kasus sang bupati harus masuk penjara, karena kita salah pilih seorang punggawa bukan? Jika akhirnya yang "kotor" yang dipilih, jangan salahkan para seniman tarling kalau mereka lebih suka berdendang liris juga,”Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Mau bagaimana lagi?Tapi mudah-mudahan prediksi saya meleset,hehehehe.

2 comments:

  1. mikire ora kadohan kuwe boss, mengenai taman rakwat slawi ayu, mung sekedar aran ta ora papa ndeyan o......anyway, mdh2an Tegal makin berkembang ke arah yg lbh baik

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehehe,biasa boss...arane seniman ya suka mengkhayal oh,qiqiqiqi

      Delete

Terima kasih atas kunjungan anda!