Fatin Shidqia Lubis |
Tampilan Fatin
sendiri, dari sisi intertain, terbilang unik. Ia seperti melawan pakem
yang ada. Saat pertama kali naik panggung, ia bahkan masih berseragam
SMA. Baru belakangan, busananya sudah “disentuh” oleh tangan profesional.
Tapi, tetap saja Fatin jadi pembeda, ditengah kostum panggung para penyanyi
yang kerap terbuka dengan harga yang sering membuat dahi berkeryit. Masih ingat
pengakuan seorang penyanyi wanita yang mengenakan busana pentas bermandi
cahaya dengan harga Rp 15 juta?
Saya memang
tak menangkap kesan, Kyai Cholil buru-buru melempar harapan, karena mendapati
fakta jarangnya penyanyi kondang kita mengenakan jilbab. Namun barangkali,
batin Kyai Cholil tak beda jauh dengan saya sebagai penikmat budaya massa.
Dengan hijab tetap membalut, Fatin terlihat lebih sederhana dan membumi.
Sebagai remaja yang masih ‘hijau’ dan baru masuk ke ingar bingar dunia hiburan,
Fatin potensial untuk melepas identitas awal, dengan alasan mengikuti selera
pasar atau mengerek popularitas. Inilah godaan terbesar yang kerap membuat para
pelaku industri hiburan terhumbalang dan memilih untuk mengalah.
Banyak contoh
terjadi. Banyak bukti menanti, jika selera pasar dan popularitas jadi “Tuhan”
baru dunia hiburan Indonesia. Kondisi ini bahkan sudah sampai pada tahap
memprihatinkan. Candu popularitas kadang membuat orang gelap mata. Jalan pintas
lewat busana kontroversial, atau tingkah dan pernyataan sensasional, bukan lagi
jadi hal baru. Dalam batas-batas tertentu, mereka bahkan sengaja menipu publik,
dengan memanfaatkan media layar kaca dengan motif-motif terselubung. Saya tidak
ingin menuduh mereka ingin tenar dengan melakukan segala cara. Tapi cobalah
cermati kasus terbaru dan ambil kesimpulan sendiri.
Usai
berhari-hari dikejar awak infotainment, pedangdut Lina Marlina akhirnya
mengaku kalau ia tidak pernah menikah dengan Kiwil. Foto dirinya berbusana
pengantin bareng Kiwil yang diunggah di jejaring sosial ternyata hanya settingan,
dus isu yang berkembang adalah bohong belaka. Padahal saat foto itu
beredar, Lina dan Kiwil seperti memainkan emosi massa. Lina dengan cekikikan
menjawab enteng,”Hmmm…kasih tahu nggak ya?” saat ditanya kebenaran
pernikahannya dengan sang pelawak. Tak ada jawaban tegas, ya atau tidak. Kiwil
setali tiga uang.
Lina memang
membantah isu yang berkembang, kalau ia membayar ratusan juta rupiah pada
Kiwil, untuk membuat sensasi ini. Tapi orang yang lama berkecimpung di dunia
hiburan bakal segera mafhum, selalu ada upaya transaksional, dibalik beredarnya
berita-berita settingan dengan tujuan apapun. Ini hanya soal kejujuran
sang pelaku.
Jika hendak
diungkap, kasus-kasus seperti Kiwil dan Lina seperti deret ukur. Ujung-ujungnya
sama, semua demi popularitas dan uang. Mereka yang tahu malu, melakukannya
dengan halus dan samar-samar. Misalnya menikahi bintang terkenal yang sudah
berstatus janda. Atau menunggang kasus pihak lain, yang sedang gencar diekspos,
seperti kasus perselisihan Adi Bing Slamet dan Eyang Subur. Konon
perkelahian Jupe dan Depe pun, awalnya punya agenda setting. Namun
karena manajemen konfliknya yang kurang oke, kasus ini akhirnya berujung
ke pengadilan.
Berita-berita
model begini, diyakini tak lepas dari buah kebebasan pers juga. Fatsoen
dan sopan santun sudah ditinggalkan. Bertengkar di depan layar kaca yang
ditonton berjuta-juta pasang mata sudah biasa. Kondisi ini jauh dari bayangan
kita, saat undang-undang Nomor 40 tahun 1999 sebagai tonggak kebebasan pers
disahkan.
Kala itu, pers
sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif,legislatif dan
yudikatif, sengaja “dilepas” agar demokrasi bisa berkembang lebih baik. Namun
dalam perjalanan waktu, semua terkaget-kaget, karena revolusi kebebasan
pers tak dibarengi dengan revolusi sikap dan kedewasaan berdemokrasi. Semua
menjadi serba tidak sabar. Semua ingin mendapat hasil instan.
Pewarta infotainment
ogah melewati prosedur baku, demi berita sensasional. Para artis gurem ingin
cepat-cepat terkenal, apapun jalannya tanpa persiapan memadai. Padahal jika pun
popularitas singkat di dapat lewat jalan kontes-kontes adu bakat, tetap saja
harus ada kesiapan. Tidak ada keberuntungan. Keberuntungan adalah kombinasi
kesempatan dan kesiapan. Jika tidak ada kesiapan, popularitas bakal jadi
seperti gelembung sabun. Besar sesaat lantas meletus dan hilang, seperti kasus
Norman Kamaru dan duo keong racun Shinta dan Jojo.
Jika Fatin
tetap istiqomah berhijab, dan enggan melepasnya demi motif apapun, ada
pelajaran penting bisa dipetik. Waktu nanti yang bakal mengujinya. Tapi yang
jelas, trademark,teknik vocal, dan attitude yang baik tidak serta
merta datang. Ada proses, dan ini yang sering dihindari para artis hasil berita
settingan. Mereka tak sadar dampak buruk. Selain sang artis bakal terus
dikenang sebagai pembuat sensasi murahan, berita-berita infotainment lambat laun bakal kehilangan kepercayaan publik. Jika sudah begini, siapa yang
rugi?
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!