Daftar Isi

Monday, April 8, 2013

Fatin dan Popularitas

Fatin Shidqia Lubis
Pesannya sederhana saja. Lewat surat yang dikirim ke Fatin Shidqia Lubis, peserta X Factor Indonesia,Kyai Cholil Ridwan meminta agar pelajar SMA 97 Jakarta itu tidak melepas jilbab demi apapun, termasuk untuk menaikan popularitas. Sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang seni dan budaya, Kyai Cholil berharap, hijab itulah yang jadi trademark Fatin, selain kualitas suaranya. Sejauh ini, Fatin menyambut positif permintaan pak kyai.

Tampilan Fatin sendiri, dari sisi intertain, terbilang unik. Ia seperti melawan pakem yang ada. Saat pertama kali naik panggung, ia bahkan masih berseragam SMA.  Baru belakangan, busananya sudah “disentuh” oleh tangan profesional. Tapi, tetap saja Fatin jadi pembeda, ditengah kostum panggung para penyanyi yang kerap terbuka dengan harga yang sering membuat dahi berkeryit. Masih ingat pengakuan seorang penyanyi wanita yang mengenakan busana pentas bermandi cahaya  dengan harga Rp 15 juta?

Saya memang tak menangkap kesan, Kyai Cholil buru-buru melempar harapan, karena mendapati fakta jarangnya penyanyi kondang kita mengenakan jilbab. Namun barangkali, batin Kyai Cholil tak beda jauh dengan saya sebagai penikmat budaya massa. Dengan hijab tetap membalut, Fatin terlihat lebih sederhana dan  membumi. Sebagai remaja yang masih ‘hijau’ dan baru masuk ke ingar bingar dunia hiburan, Fatin potensial untuk melepas identitas awal, dengan alasan mengikuti selera pasar atau mengerek popularitas. Inilah godaan terbesar yang kerap membuat para pelaku industri hiburan terhumbalang dan memilih untuk mengalah.

Banyak contoh terjadi. Banyak bukti menanti, jika selera pasar dan popularitas jadi “Tuhan” baru dunia hiburan Indonesia. Kondisi ini bahkan sudah sampai pada tahap memprihatinkan. Candu popularitas kadang membuat orang gelap mata. Jalan pintas lewat busana kontroversial, atau tingkah dan pernyataan sensasional, bukan lagi jadi hal baru. Dalam batas-batas tertentu, mereka bahkan sengaja menipu publik, dengan memanfaatkan media layar kaca dengan motif-motif terselubung. Saya tidak ingin menuduh mereka ingin tenar dengan melakukan segala cara. Tapi cobalah cermati kasus terbaru dan ambil kesimpulan sendiri.

Usai berhari-hari dikejar awak infotainment, pedangdut Lina Marlina akhirnya mengaku kalau ia tidak pernah menikah dengan Kiwil. Foto dirinya berbusana pengantin bareng Kiwil yang diunggah di jejaring sosial ternyata hanya settingan, dus isu yang berkembang adalah bohong belaka. Padahal saat foto itu beredar, Lina dan Kiwil seperti memainkan emosi massa. Lina dengan cekikikan menjawab enteng,”Hmmm…kasih tahu nggak ya?” saat ditanya kebenaran pernikahannya dengan sang pelawak. Tak ada jawaban tegas, ya atau tidak. Kiwil setali tiga uang.

Lina memang membantah isu yang berkembang, kalau ia membayar ratusan juta rupiah pada Kiwil, untuk membuat sensasi ini. Tapi orang yang lama berkecimpung di dunia hiburan bakal segera mafhum, selalu ada upaya transaksional, dibalik beredarnya berita-berita settingan dengan tujuan apapun. Ini hanya soal kejujuran sang pelaku.

Jika hendak diungkap, kasus-kasus seperti Kiwil dan Lina seperti deret ukur. Ujung-ujungnya sama, semua demi popularitas dan uang. Mereka yang tahu malu, melakukannya dengan halus dan samar-samar. Misalnya menikahi bintang terkenal yang sudah berstatus janda. Atau menunggang kasus pihak lain, yang sedang gencar diekspos, seperti kasus perselisihan Adi Bing Slamet dan Eyang Subur.  Konon perkelahian Jupe dan Depe pun, awalnya punya agenda setting. Namun karena manajemen konfliknya yang kurang oke, kasus ini akhirnya berujung ke pengadilan.

Berita-berita model begini, diyakini tak lepas dari buah kebebasan pers juga. Fatsoen dan sopan santun  sudah ditinggalkan. Bertengkar di depan layar kaca yang ditonton berjuta-juta pasang mata sudah biasa. Kondisi ini jauh dari bayangan kita, saat undang-undang Nomor 40 tahun 1999 sebagai tonggak kebebasan pers disahkan.

Kala itu, pers sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif, sengaja “dilepas” agar demokrasi bisa berkembang lebih baik. Namun dalam perjalanan waktu, semua terkaget-kaget, karena  revolusi kebebasan pers tak dibarengi dengan revolusi sikap dan kedewasaan berdemokrasi. Semua menjadi serba tidak sabar. Semua ingin mendapat hasil instan.

Pewarta infotainment ogah melewati prosedur baku, demi berita sensasional. Para artis gurem ingin cepat-cepat terkenal, apapun jalannya tanpa persiapan memadai. Padahal jika pun popularitas singkat di dapat lewat jalan kontes-kontes adu bakat, tetap saja harus ada kesiapan. Tidak ada keberuntungan. Keberuntungan adalah kombinasi kesempatan dan kesiapan. Jika tidak ada kesiapan, popularitas bakal jadi seperti gelembung sabun. Besar sesaat lantas meletus dan hilang, seperti kasus Norman Kamaru dan duo keong racun Shinta dan Jojo.

Jika Fatin tetap istiqomah berhijab, dan enggan melepasnya demi motif apapun, ada pelajaran penting bisa dipetik. Waktu nanti yang bakal mengujinya. Tapi yang jelas, trademark,teknik vocal, dan attitude yang baik tidak serta merta datang. Ada proses, dan ini yang sering dihindari para artis hasil berita settingan. Mereka tak sadar dampak buruk. Selain sang artis bakal terus dikenang sebagai pembuat sensasi murahan, berita-berita infotainment lambat laun bakal kehilangan kepercayaan publik. Jika sudah begini, siapa yang rugi?



No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!