Daftar Isi

Sunday, April 28, 2013

UJE


Ustaz Jefry Al Buchori
Sesaat setelah badan helikopter mendekat, jenasah yang meninggal langsung diusung secara estafet di atas kepala kerumunan massa, untuk dievakuasi.Puluhan orang tewas tergencet, lainnya pingsan karena berdesak-desakan. Semua mendekat. Semua ingin menggapai kain kafan jenasah Ayatullah Khomeini (86). Sekitar sepuluh juta warga Teheran mengiringi pemakaman Pemimpin Tertinggi Spiritual Republik Islam Iran itu ke Behez El Zahra (Taman Az Zahra), usai dinyatakan meninggal dunia 3 Juni 1989 silam. Mereka tak perduli, walau akhirnya harus meregang nyawa karena terinjak-injak atau kehabisan oksigen.

Dahsyat, sungguh dahsyat!Dalam pandangan mata anak baru gede yang senang membaca majalah bekas, laporan pemakaman Ayatullah Khomeini itu hingga kini masih terus membekas. Saya tak tertarik mengupas ideologi Syiahnya. Saya juga tak hendak memastikan, Khomeini bakal masuk surga karena pemakamannya yang sedemikian spektakuler. Tapi satu yang saya tangkap, begitulah imbalan setimpal jika sosok besar dan menginspirasi banyak orang harus meninggal dunia. Kesan itu, seolah terulang saat melihat pemakaman Ustaz Jefry Al Buchori, Jum’at (27/4) lalu.

Tentu tak adil membandingkan kiprah Khomeini dan Uje –begitu Ustaz Jefry Al Buchori biasa disapa. Mereka hidup dalam dimensi yang berbeda. Khomeini sosok agamawan dan juga politisi. Uje murni pendakwah. Khomeini menginspirasi generasi sesudahnya, karena kesederhanaannya yang ekstrim. Seorang pemimpin tertinggi sebuah negeri kaya minyak yang hanya mewariskan satu rumah petak kecil dan sejumlah buku puisi saat meninggalnya. Uje mencerahkan generasi seangkatannya, yang sedang berada dalam masa “pancaroba”.

Jika Khomeini disanjung, Uje tak berbeda jauh. Tapi inilah adab yang memang harus dilakukan.  Meski dalam beberapa hal, ada yang terasa kurang pas. Saya tak hendak memvonis, soal beredarnya blackberry messenger (BBM) yang mengabarkan Habib Mahdi melihat Uje muncul bersama 7 kyai lain di TPU Karet Tengsin, Jakarta Pusat, dengan Uje menyaksikan jasadnya diturunkan ke liang lahat, sebagai sesuatu yang keliru. Termasuk kabar yang beredar disertai foto, jika awan membentuk posisi orang berdoa, saat pemakaman Uje berlangsung.

Sebagai anak bangsa yang juga menyaksikan sosok mantan Presiden Soeharto dan Gus Dur mangkat, saya mencoba memahami psikologis orang Indonesia yang melodramatis. Dalam beberapa hal, kondisi ini juga dipengaruhi oleh sifat masyarakat agraris, yang masih percaya pada hal-hal ghaib. Konon sebelum Soeharto wafat, liang lahatnya di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah meledak. Begitupun usai jenasah Gus Dur dimakamkan di komplek Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, hujan deras yang membuat makamnya ambles dimaknai sebagai pertanda lain soal kewaskitaan Gus Dur.

Dibanding Soeharto dan Gus Dur, Uje bukanlah sosok yang dekat dengan dunia metafisika. Tak heran, saat BBM itu beredar, sejumlah tanya muncul dibenak saya. Siapa tujuh kyai yang muncul bersama Uje di pemakaman, hingga kini Habib Mahdi juga belum merinci. Termasuk, bagaimana mengidentifikasi mereka dengan tepat, di tengah lautan manusia yang mayoritas berbusana koko dan berpenutup kepala warna putih. Lebih mengundang tanya lagi, saat BBM itu menyuruh sang penerima untuk meneruskannya ke pihak lain. Di jamin, katanya, dalam dua jam berikutnya akan mendapat kabar baik.  
foto lama yang ternyata diambil di Cilandak Town Square
Saat melihat foto awan yang mirip orang sedang berdo’a, yang ternyata foto lama, ingatan saya justru meluncur terhadap sikap Rasululloh Muhammad, kala kematian putranya yang bernama Ibrahim dibarengi dengan fenomena alam berupa gerhana bulan. Saat itu, banyak orang meyakini, terjadinya gerhana karena kematian putra nabi. Namun, nabi kemudian membantahnya dengan tegas. Intinya, fenomena alam yang terjadi berbarengan dengan kelahiran dan kematian seseorang, tidaklah ada sangkut pautnya. Itu murni tanda-tanda kekuasaan Allah.Begitu sabda nabi. Tidak ada tafsir lain.

Mangkatnya Uje sudah pasti menjadi kehilangan kita bersama. Saat kematangan emosional dan intelektual konon mulai terwujud di usia 40 tahun, ia justru harus menemui Tuhannya. Ini takdir, dan sebagai makhluk yang beriman kita harus menerimanya dengan ikhlas.”Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati,”kata Allah (QS. 21:35). Namun jika syetan telah gagal membujuk orang-orang untuk ikut datang dan mendoakan Uje, jangan biarkan ia sukses dengan skenario berikutnya. Banyak cara, salah satunya lewat berita BBM yang tak jelas juntrungannya.

Siapa bisa menjamin setelah menyebarkan BBM itu dua jam kemudian bakal mendapat kabar bahagia? Derajat pesan ini tak lebih dari pesan-pesan lain yang bertebaran, dengan ancaman jika tidak disebarkan akan mendapat kabar duka. Celakanya, kondisi ini kerap dipercaya mayoritas masyarakat kita. Padahal Uje sendiri semasa hidup selalu berpesan agar terus menebar kebaikan, karena kita tidak tahu apa yg bakal terjadi 5 menit ke depan. Entah kabar bagus, atau justru kematian.

Penghargaan yang layak telah Uje dapatkan di akhir hidupnya. Bagaimanapun,di tengah kontroversi metode dakwahnya, ia telah memberikan pencerahan. Baik lewat isi ceramah maupun kisah hidupnya yang dramatis. Uje juga pendakwah yang getol memberantas takhayul di kalangan jemaahnya. Ia tak tergantikan. Jika Uje telah berbaring tenang di tengah doa-doa yang terus didaraskan orang-orang terkasihnya, tugas kita untuk tidak membiarkan ia “gelisah” melihat polah orang-orang yang ingin mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tidak ada tawaran lain. Tidak ada pilihan lain, agar hal-hal seperti itu tidak terjadi lagi! Yuk, kita tolak BBM ngaco itu…Wallahua’am bishowab.

Tuesday, April 23, 2013

TASRIPIN

Tasripin dan tiga adiknya
Umurnya sudah 47 tahun. Saat saya temui, sopir taksi itu sedang membawa kami –saya dan fotografer- menuju ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Pekan kemarin, kebetulan kami bertolak ke Jogjakarta. Ia bertutur runtut, soal profesi yang selama 7 tahun telah digeluti. Pria asal Cirebon, Jawa Barat ini mengaku bersyukur, bisa hidup dan menghidupi tiga anaknya dari pekerjaan sopir taksi. “Dulu hidup saya sangat sengsara. Sudah yatim piatu saat masih kecil. Kemudian ikut nenek yang tidak punya apa-apa,”katanya.

Pria berkulit hitam ini mengaku, dalam seminggu kadang bertemu nasi hanya tiga kali. Saking sulitnya kehidupan, ia sempat hampir mati, karena berhari-hari tak ada bantuan dari tetangga. Kini setelah roda nasib berputar lebih baik, trauma masa lalu itu terwujud dalam bentuk keengganan untuk makan sehari tiga kali. Padahal sebagai sopir ia bisa. Tapi saban kali hendak makan, bayangan masa lalu terus menghantui, hingga makanan sulit ditelan.

“Sampai sekarang saya makan sehari cuma sekali. Kalau mau makan enak, saya ingat anak-anak di rumah,”tambahnya.

Pak sopir bercerita bukan untuk menarik iba. Ia menanggapi ucapan saya, soal nasib Tasripin, yang baru-baru ini menyita perhatian publik. Si bapak seolah ingin menegaskan, kemiskinan sudah ada sejak zaman orde lama, orde baru, bahkan hingga kini, ketika globalisasi telah mengubah wajah Indonesia menjadi satu ukuran layar televisi. Tasripin mungkin beruntung terbantu dengan pemberitaan. Dari acara TV, nasibnya terendus wartawan, bahkan seorang Armand Maulana menyempatkan diri mengirim aduan soal Tasripin lewat twitter ke Presiden SBY.

Belakangan SBY memang aktif memantau nasib Tasripin lewat jejaring sosial twitter, termasuk saat ia mengirim utusan menemui Tasripin.  Mungkin trio pendiri dan penemu twitter; Biz Stone, Evan Willliams, dan Jack Dorsey  tak pernah menyangka, inovasinya bakal mempermudah pucuk pimpinan negara seperti SBY menentukan nasib Tasripin yang berada nun jauh di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.

Tentu saja banyak Tasripin Tasripin lain yang belum terendus kecanggihan IT, karena jauhnya jarak dan sulitnya untuk menemui atau karena kurang beruntung. Saya katakan kurang beruntung, karena sesungguhnya didepan hidung gubernur Jakarta pun, sejak dulu banyak anak-anak bernasib seperti Tasripin. Iwan Fals pernah menyentilnya lewat tembang “Sore di Tugu Pancoran”.”Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu. Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu,”dendang Iwan.

Tasripin menjadi bukti, betapa perkembangan teknologi informasi telah  membuat dunia menjadi begitu telanjang. Semua terlihat, dan ini kerap memunculkan efek ganda. Ada kerugian, tapi juga banyak keuntungannya. Termasuk mungkin kita bertanya-tanya, kenapa gubernur Jawa Tengah tidak langsung turun ke lapangan, begitu isu Tasripin mampir ke twitter SBY.
Tasripin dan Letkol Helmi

Di sinilah salah satu “jahatnya” keterbukaan media –baik media sosial maupun media mainstream. Mungkin agar namanya tidak tercemar dan mengganggu pencalonan gubernur yang bakal berlangsung dalam waktu dekat, Pak Bibit  memilih cari aman. Tasripin dibiarkan diurus oleh Dandim 0701/ Banyumas, Letkol Helmi dan staf khusus Presiden  Bidang Pangan dan Energi, Haryoto. Namun niat baik itu pun, dalam banyak kesempatan juga menuai hujatan. Lewat mana lagi kalau bukan lewat media sosial.

Jika jujur, Tasripin sejatinya mewakili wajah masyarakat marginal kita dari masa ke masa. Jika media sosial sudah booming  saat sopir taksi yang saya naiki masih bergulat dengan kemiskinan, barangkali Orde Baru tak bakal membanggakan sistem ekonominya yang mengandalkan trickle down effect. Dengan kata lain, ini kesalahan semua, ini kekeliruan desain ekonomi yang dirancang oleh para pengambil kebijakan di “atas sana”, sejak ekonomi Orde Baru mulai digagas.

Dengan nada canda, orang-orang kerap mengklasifikasi kelas-kelas sosial masyarakat kita, akibat kesalahan desain ekonomi. Pertama, mereka yang bertanya hari ini bisa makan apa tidak. Kedua, orang-orang yang berbisik, hari ini kita makan apa?Ketiga, yaitu mereka yang tertawa sambil bertanya hari ini kita makan di mana?Kelompok tertinggi, adalah mereka yang berteriak-teriak, hari ini kita makan siapa?

Tasripin menyadarkan semua, untuk mencari cara terbaik, bagaimana kemiskinan bisa ditumpas habis. Ini penyakit non medis, yang dalam perspektif religi amat mengkhawatirkan, karena bisa membuat orang menjadi kufur. Kadal Faqru Ayakuna Kufran,kata Nabi Muhammad. Sahabat Ali Bin Abi Thalib sendiri sampai mengibaratkan, jika kemiskinan itu berujud orang, ia akan membunuhnya dengan pedangnya. Kegeraman Ali, bisalah disamakan dengan kegelisahan Armand Maulana, kala mendengar kisah Tasripin.

Islam sendiri sebetulnya sudah mengantisipasi munculnya Tasripin Tasripin lain, sejak 14 abad lalu. Dari 250 juta penduduk Indonesia, potensi zakat nasional yang bisa diraih mencapai 213,7 triliun pertahun. Dari jumlah itu, baru sekitar sepuluh persen yang bisa dikumpulkan. Celakanya, tak hanya kesadaran zakat yang rendah, yang sesungguhnya bisa digunakan untuk mengentaskan kemiskinan, dana-dana bantuan untuk orang miskin pun kadang hilang tak tentu rimbanya.

Presiden SBY dan staf ahlinya, Letkol Helmi dan Armand Maulana, menjadi pencerah bahwa begitulah sesungguhnya kepekaan nurani dibangun, di tengah semakin runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan kita karena kabut tebal hedonisme. Tasripin dimunculkan Tuhan untuk “menggebuk” kita semua, yang selama ini banyak mengeluh ditengah nikmat yang kerap dipandang sepele. Lepas dari semua, drama ini akan menjadi berharga, ketika kita bisa menarik pelajaran, dan tidak sekedar mencela, mengumpat, menyalahkan, atau sikap-sikap negatif lain, apalagi hanya lewat sosial media. Tasripin tak butuh retorika. Ia butuh tindakan nyata.


Monday, April 15, 2013

Taman Rakyat Slawi Ayu


Monumen Kota Slawi
Seberapa seringkah ingatan masa lalu menggoda jiwa untuk kembali menelusur “jalan setapak” yang pernah kita lewati? Jika pertanyaan itu diajukan pada saya, jawabannya gampang saja; sering sekali. Maka saat ada kesempatan, hal itu tidak saya sia-siakan. Usai liputan sebentar di Cirebon, Rabu (10/4) lalu, saya sengaja nyelintis (bahasa Indonesianya apa ya?) ke kampung halaman. Jarak Cirebon-Tegal tidaklah jauh. Saya pamit tidak ikut bus panitia, untuk kembali ke Jakarta.

“Mau nengok orang tua bro. Mereka bilang lagi agak kurang sehat,”kata saya pada orang Djarum, usai berbasah-basahan memotret penghijauan kawasan Pantura. Saya sempat berfikir, ah, paling dua jam  juga sampai. Tapi ternyata keliru. Di terminal Cirebon, saya harus menunggu lama bus Coyo. Tarifnya Rp 20 ribu. Karena lapar, saya sempatkan juga mencicipi lontong empal.

Bus Coyo memang hanya sampai stasiun Tegal. Untuk ke Jembayat, Margasari, terpaksa saya naik bus ¾. Kala itu malam, hujan lebat baru saja turun. Bau tanah basah terasa menyeruak, membuat pori-pori hidungku kembali menyeret masa sekian puluh tahun lalu. 

Sekejap, saat melewati Kota Slawi, mata saya mulai berbinar-binar. Bukan apa-apa. Tapi sungguh, semua telah berubah. Semua telah bergerak maju, untuk tidak saya katakan berubah modern. Masjid Jami Slawi telah berdiri megah, dengan bunderan yang elok dan manglingi. Dulu sejak SD-SMP, saya tak henti-henti disodori kupon sumbangan. Katanya untuk mbangun Masjid Jami. Mungkin setelah berdiri megah, iuran itu sudah berhenti.

 Jika ada yang kurang, barangkali jalan-jalannya saja yang masih bergerunjal, seperti kurang perawatan.Tapi hal paling menyolok mata adalah berdirinya beberapa taman di sepanjang Kota Slawi hingga Adiwerna. Mataku sempat bersirobok dengan sebuah prasasti bertuliskan sesuatu, yang langsung menyita perhatian. Di situ tertulis,”Taman Rakyat Slawi Ayu”. 

Karena naik bus, saya memang tidak bisa menengok bagaimana keindahan sang taman. Begitu pula kondisi gelap tak membuat semua pemandangan taman bisa terakses dengan sempurna.
salah satu sudut kota Tegal

Tapi, sepanjang jalan pikiran saya sungguh tergelitik. Kenapa disebut “Taman Rakyat”?Kata “Rakyat” membuat imajiku bergerak liar. Saya jadi ingat pemuda rakyat, balai rakyat, tentara rakyat dan Republik Rakyat (Cina). Saya berbaik sangka, mungkin yang memberi nama ingin mengesankan, jika taman itu memang untuk rakyat. Tapi jika dilanjut,”Taman Rakyat Slawi Ayu”, saya yang orang Jembayat barangkali tak boleh masuk. Ini artinya, saat akan masuk bakal ditanyai, “Ente orang mana?Ada KTP?Ini khusus rakyat Slawi,”.Amboi….

Mungkin pula yang memberi nama ingin mengingatkan, jika Slawi dulu amat anti pada gerakan pemuda rakyat, organisasi underbouw PKI. Ada semacam penegasan heroik, atau spirit semacam itulah, yang membuat taman itu memang pantas di kasih embel-embel ‘rakyat’. Ini tentu beda dengan taman bunga di depan SMA 1 Slawi, almamater tercintaku. Tapi, pemberian nama itu, jika direnung lebih dalam, sesungguhnya menunjukan ketidakfahaman konteks sebuah kata, dengan makna kata yang diinginkan. Ini pendapat pribadi. Saya bisa saja salah.

Selain taman rakyat Slawi Ayu, di kiri kanan jalan bertebaran pula spanduk-spanduk pilkada. Jago dari masing-masing parpol memasang jargon-jargon menarik. Ora korupsi lan ngapusi, misalnya. Ada juga yang menulis,ngajeni lan ngayemi. Pikiran bodoh saya lantas bertanya, sejak kapan orang Tegal mengadopsi kata “lan” menjadi penyambung antar kalimat?Mungkin ada intervensi dari orang Semarang, yang notabene sedang punya hajat. Tapi mengingat itu, saya tersenyum sendiri, sambil menikmati jalanan mulus Lebaksiu. Di sinilah, di sebuah tikungan, saya masih menjumpai beberapa deret warung sate, yang mengusung nama unik dan nyleneh.

plang sate Tegal
Apa hayo?Jika diamati, semua warung sate dari Tegal hingga Lebaksiu, selalu diawali kata “ibu” tapi dibelakangnya nama sang suami. Ada “Ibu Hadi”, “Ibu Toto”, atau “Ibu Ratno”. Jarang sekali yang percaya diri memakai nama warung sate “Ibu Maya”,  “Ibu Ayu” atau “Ibu Ariani”. Kenapa? Apakah karena dengan mencantumkan nama suami, kesannya lebih menghormati sang kepala keluarga, meski yang ngipasi tetap saja sang istri? 

Saya berfikir, mungkin ini hanya trik pemasaran saja. Semacam keyakinan, jika nama suami disebut bakal membuat awareness pengunjung bisa lebih cepat nyangkut. Alhasil, warung sate “Ibu Ayu” barangkali terdengar janggal.

Tegal kota, dan kabupaten Tegal, tentu memiliki segudang unggulan. Sate salah satu diantaranya.  Karena keunggulan ini, saya sempat ketemu Saipul Jamil syuting sinetron Haji Medit, dan dia memerankan orang Tegal yang membuka warung sate bernama warung sate “Rika”. Ini bukan nama orang. Tapi “Rika” terjemahan dari kamu, ente, elo atau kowen. Saya sedikit banyak bangga, karena sate dan dialek Tegal laku dijual. Yah, meski masih sebatas untuk lucu-lucuan,komedi-komedian, walau sesungguhnya bisa dipakai untuk lebih serius.

Memang ada hal yang cukup mengecewakan. Tegal yang terkenal dengan warung Tegal-nya, ternyata lebih suka membangun monumen poci di berbagai sudut kota. Sepanjang saya berkeliling Indonesia, tak ada yang tidak mengenal warteg. Tapi teh poci?Mungkin dikenal, tapi sebatas dikota Tegal dan Slawi saja. Anehnya, tak ada monumen warteg, sebagai penanda itulah yang selama ini telah menghidupi ribuan warga Tegal, telah mengangkat derajat dan menyekolahkan anak-anak Tegal, hingga menjadi dosen, tentara, bahkan menteri. 

Sampai di rumah, ada lagi satu yang tertinggal, soal laporan pandangan mata. Spanduk panjang seorang dalang membentang, meminta bantuan dan doa restu karena ia hendak mencalonkan diri sebagai calon bupati (cabup). Belum lama berselang, saya juga membaca berita, seorang pesulap yang tak pernah bicara tertarik untuk maju sebagai cabup Tegal.

Ah, demokrasi kadang mengorbankan kualitasnya sendiri. Secara pribadi, saya bermimpi Tegal bakal di pimpin oleh orang-orang dengan kemampuan mumpuni. Punya wawasan global, dengan citarasa lokal. Tapi, saya tak mau terlibat terlalu dalam soal ini. Pro dan kontra bakal muncul. Mending lihat saja, dan siapapun yang terpilih, itu pilihan wong Tegal.

Saat balik ke Jakarta, dan melewati Cirebon, semua lenyap begitu pengamen cantik mendendangkan tembang “Bandul Satenong” dan “Nambang Dawa”.” “Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Begitu mereka berteriak liris, dengan nada mendayu-dayu, cengkok menggoda, meski tanpa goyang pinggul dan geser dada.

Bertahun-tahun ngasab di ibukota, Tegal memang terasa jauh dari pelupuk mata. Tapi bukan berarti saya tak boleh urun rembuk dan suara,  demi menghindar kasus sang bupati harus masuk penjara, karena kita salah pilih seorang punggawa bukan? Jika akhirnya yang "kotor" yang dipilih, jangan salahkan para seniman tarling kalau mereka lebih suka berdendang liris juga,”Wis aja di tangisi.Wis aja digetuni. Bathi lara ning ati. Ora penak ning awak,”.Mau bagaimana lagi?Tapi mudah-mudahan prediksi saya meleset,hehehehe.

Monday, April 8, 2013

Fatin dan Popularitas

Fatin Shidqia Lubis
Pesannya sederhana saja. Lewat surat yang dikirim ke Fatin Shidqia Lubis, peserta X Factor Indonesia,Kyai Cholil Ridwan meminta agar pelajar SMA 97 Jakarta itu tidak melepas jilbab demi apapun, termasuk untuk menaikan popularitas. Sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang seni dan budaya, Kyai Cholil berharap, hijab itulah yang jadi trademark Fatin, selain kualitas suaranya. Sejauh ini, Fatin menyambut positif permintaan pak kyai.

Tampilan Fatin sendiri, dari sisi intertain, terbilang unik. Ia seperti melawan pakem yang ada. Saat pertama kali naik panggung, ia bahkan masih berseragam SMA.  Baru belakangan, busananya sudah “disentuh” oleh tangan profesional. Tapi, tetap saja Fatin jadi pembeda, ditengah kostum panggung para penyanyi yang kerap terbuka dengan harga yang sering membuat dahi berkeryit. Masih ingat pengakuan seorang penyanyi wanita yang mengenakan busana pentas bermandi cahaya  dengan harga Rp 15 juta?

Saya memang tak menangkap kesan, Kyai Cholil buru-buru melempar harapan, karena mendapati fakta jarangnya penyanyi kondang kita mengenakan jilbab. Namun barangkali, batin Kyai Cholil tak beda jauh dengan saya sebagai penikmat budaya massa. Dengan hijab tetap membalut, Fatin terlihat lebih sederhana dan  membumi. Sebagai remaja yang masih ‘hijau’ dan baru masuk ke ingar bingar dunia hiburan, Fatin potensial untuk melepas identitas awal, dengan alasan mengikuti selera pasar atau mengerek popularitas. Inilah godaan terbesar yang kerap membuat para pelaku industri hiburan terhumbalang dan memilih untuk mengalah.

Banyak contoh terjadi. Banyak bukti menanti, jika selera pasar dan popularitas jadi “Tuhan” baru dunia hiburan Indonesia. Kondisi ini bahkan sudah sampai pada tahap memprihatinkan. Candu popularitas kadang membuat orang gelap mata. Jalan pintas lewat busana kontroversial, atau tingkah dan pernyataan sensasional, bukan lagi jadi hal baru. Dalam batas-batas tertentu, mereka bahkan sengaja menipu publik, dengan memanfaatkan media layar kaca dengan motif-motif terselubung. Saya tidak ingin menuduh mereka ingin tenar dengan melakukan segala cara. Tapi cobalah cermati kasus terbaru dan ambil kesimpulan sendiri.

Usai berhari-hari dikejar awak infotainment, pedangdut Lina Marlina akhirnya mengaku kalau ia tidak pernah menikah dengan Kiwil. Foto dirinya berbusana pengantin bareng Kiwil yang diunggah di jejaring sosial ternyata hanya settingan, dus isu yang berkembang adalah bohong belaka. Padahal saat foto itu beredar, Lina dan Kiwil seperti memainkan emosi massa. Lina dengan cekikikan menjawab enteng,”Hmmm…kasih tahu nggak ya?” saat ditanya kebenaran pernikahannya dengan sang pelawak. Tak ada jawaban tegas, ya atau tidak. Kiwil setali tiga uang.

Lina memang membantah isu yang berkembang, kalau ia membayar ratusan juta rupiah pada Kiwil, untuk membuat sensasi ini. Tapi orang yang lama berkecimpung di dunia hiburan bakal segera mafhum, selalu ada upaya transaksional, dibalik beredarnya berita-berita settingan dengan tujuan apapun. Ini hanya soal kejujuran sang pelaku.

Jika hendak diungkap, kasus-kasus seperti Kiwil dan Lina seperti deret ukur. Ujung-ujungnya sama, semua demi popularitas dan uang. Mereka yang tahu malu, melakukannya dengan halus dan samar-samar. Misalnya menikahi bintang terkenal yang sudah berstatus janda. Atau menunggang kasus pihak lain, yang sedang gencar diekspos, seperti kasus perselisihan Adi Bing Slamet dan Eyang Subur.  Konon perkelahian Jupe dan Depe pun, awalnya punya agenda setting. Namun karena manajemen konfliknya yang kurang oke, kasus ini akhirnya berujung ke pengadilan.

Berita-berita model begini, diyakini tak lepas dari buah kebebasan pers juga. Fatsoen dan sopan santun  sudah ditinggalkan. Bertengkar di depan layar kaca yang ditonton berjuta-juta pasang mata sudah biasa. Kondisi ini jauh dari bayangan kita, saat undang-undang Nomor 40 tahun 1999 sebagai tonggak kebebasan pers disahkan.

Kala itu, pers sebagai pilar ke-4 demokrasi setelah lembaga eksekutif,legislatif dan yudikatif, sengaja “dilepas” agar demokrasi bisa berkembang lebih baik. Namun dalam perjalanan waktu, semua terkaget-kaget, karena  revolusi kebebasan pers tak dibarengi dengan revolusi sikap dan kedewasaan berdemokrasi. Semua menjadi serba tidak sabar. Semua ingin mendapat hasil instan.

Pewarta infotainment ogah melewati prosedur baku, demi berita sensasional. Para artis gurem ingin cepat-cepat terkenal, apapun jalannya tanpa persiapan memadai. Padahal jika pun popularitas singkat di dapat lewat jalan kontes-kontes adu bakat, tetap saja harus ada kesiapan. Tidak ada keberuntungan. Keberuntungan adalah kombinasi kesempatan dan kesiapan. Jika tidak ada kesiapan, popularitas bakal jadi seperti gelembung sabun. Besar sesaat lantas meletus dan hilang, seperti kasus Norman Kamaru dan duo keong racun Shinta dan Jojo.

Jika Fatin tetap istiqomah berhijab, dan enggan melepasnya demi motif apapun, ada pelajaran penting bisa dipetik. Waktu nanti yang bakal mengujinya. Tapi yang jelas, trademark,teknik vocal, dan attitude yang baik tidak serta merta datang. Ada proses, dan ini yang sering dihindari para artis hasil berita settingan. Mereka tak sadar dampak buruk. Selain sang artis bakal terus dikenang sebagai pembuat sensasi murahan, berita-berita infotainment lambat laun bakal kehilangan kepercayaan publik. Jika sudah begini, siapa yang rugi?



Monday, April 1, 2013

Klenik dan Selebriti Kita

Baiklah, mungkin perlu sedikit diungkap fakta ini. Usai pidato kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) ,Jakarta,  6 April 1977, wartawan dan budayawan Mochtar Lubis banyak menuai tanggapan publik. Secara lugas, ia memang menyebut banyak ciri-ciri negatif orang Indonesia. Salah satunya; percaya klenik dan benda-benda keramat. Pro kontra sempat muncul dengan keras. Namun, hingga Mochtar meninggal, ia tetap bersikukuh dengan asumsinya.

Sebagai generasi yang lahir belakangan, saya tak tahu persis bagaimana kondisi psiko-sosial masyarakat kala itu. Mungkin pengarang handal itu punya data valid. Terbukti dalam perjalanan waktu, “tudingan” Mochtar itu menemui kebenaran. Film-film klenik kini laris manis di pasaran. Bahkan saat reformasi menghempas dinding penyekat pucuk kekuasaan, publik dengan gamblang melihat, negara ini selama 30 tahun lebih dikelola dengan melibatkan begitu banyak penasihat spiritual di sisi presiden.

Orang pintar, paranormal, cenayang, atau apapun sebutannya, memang tak hanya ada di dekat penguasa orde baru. Saat orde lama, hal itu juga bukan sesuatu yang tabu. Ini seperti mengulang kisah-kisah silam. Bagaimana Kaisar Persia Darius selalu melibatkan ahli nujum saat mengambil keputusan, walau akhirnya ia tumbang ditangan Alexander Yang Agung penguasa Macedonia.

Dalam kitab suci Al Qur’an pun disebut, Fir’aun berupaya mengalahkan Musa dengan bantuan ahli sihir.  Di zaman modern, sosok yang paling terkenal adalah Rasputin, dukun sakti  yang punya pengaruh kuat terhadap Tsar Nicholas II dari Rusia, sebelum revolusi Bolshevik menumbangkannya. Mungkin karena keberadaannya yang kerap dibutuhkan, dari zaman ke zaman, dari waktu ke waktu, eksistensi paranormal tak tergoyahkan, bahkan ketika banyak pihak menuduh mereka sebagai irasional dan “sesat”.

Menariknya, tak hanya lekat dengan politisi papan atas, praktik paranormal juga sudah lama merambah pada para pelaku dunia hiburan. Boleh jadi selama ini hanya sebatas bisik-bisik. Ketika Adi Bing Slamet mengungkap fakta begitu banyak selebritis kita yang “berurusan” dengan orang pintar, terutama untuk memastikan kelancaran urusan mereka, kita seperti ternganga. Padahal keluh kesah Adi hanya peristiwa kecil, ibarat fenomena gunung es. Terlihat sedikit di atas, tapi di bawahnya tertutup lautan luas.

Selama ini semuanya tersaji dengan gamblang. Acara-acara infotainment tak ragu menjadikan mereka sebagai nara sumber. Media cetak hiburan senang memberi kapling soal ramalan masa depan artis,situasi tahun baru dan soal tebak menebak kasus yang melilit bintang tenar. Tak jarang, sang paranormal bahkan ditarik untuk kuyup dan terlibat dalam pentas-pentas hiburan, yang amat jauh dari kompetensi mereka. Semua seperti menjadi biasa. 

Ada yang bilang, ini buah dari sistem politik ekonomi kapitalis liberal. Karakter dan moral populis dan sosialis telah berubah menjadi materialis dan individualis. Persaingan mendapatkan job sesama penghibur begitu ketat. Bintang baru silih berganti muncul.  Dalam kondisi tak menentu seperti ini, merujuk pada tudingan Mochtar Lubis, jimat dan mantera bisa menjadi alat sugesti jika keamanan finansial dan kesehatan kita tetap terjaga. Agar terlihat lebih agamis, tak jarang praktik itu dibalut dengan kutipan ayat-ayat suci, termasuk penyebutan sang paranormal yang dibingkai sebagai penasihat spiritual.

Tentu tidak semuanya salah. Banyak pula selebritis kita, yang karena terlalu sibuk bergelut dengan urusan dunia, menjadi tertolong dengan kehadiran ahli spiritual. Ada pencerahan, ada asupan rohani yang membuat jiwa mereka yang kerontang menjadi segar dan kembali percaya diri.  Inilah modal terpenting dari geliat kreatifitas seorang penghibur, yang dituntut untuk selalu prima di depan layar kaca.

Sebab, jika direnung-renung, tak hanya soal rejeki para pesohor   tak percaya diri, jika semuanya sudah diatur Tuhan. Untuk soal kemampuan badan pun, mereka tak percaya jika Yang di Atas sudah menyetelnya dengan sempurna. Banyak artis yang sengaja “memacu” metabolisme tubuh dengan obat-obat penguat, ketika tawaran pekerjaan deras menerpa.  Padahal ketika badan kita sakit, setelah kelelahan bekerja keras tanpa dopping, sebetulnya itulah saat Tuhan menyalakan “alarm” agar metabolisme tubuh kita diistirahatkan. Diri kitalah yang tahu, kapan bekerja, kapan berhenti bergerak.

Kompleksitas masalah Adi Bing Slamet dan Eyang Subur,
pasti hanya mereka berdua yang tahu. Mungkin Adi sedang mengambil posisi amar makruf nahi mungkar –menyeru pada kebaikan dan mencegah pada kemungkaran.  Jika niat ini yang diambil, Adi bisa dikatakan sedang berjihad, karena ia sedang mengungkap kedustaan dan kebatilan. Tentu dengan syarat, Adi bisa membuktikannya. Karena hingga kini, publik sendiri masih bingung, mendapati berbagai pembelaan dari pesohor lain, yang mengatakan tuduhan Adi tidak valid.

Terlepas dari semuanya, perspektif teologis mungkin bisa sedikit membantu memberi pencerahan. Quran surat An-Naml ayat 65 jelas-jelas menyebut, tidak ada satu pihak pun yang tahu perkara ghaib, kecuali Tuhan. Termasuk keamanan dan rejeki kita. Firman Tuhan ini dikhususkan lagi “juklak”nya oleh baginda Nabi Muhammad. Ia dengan tegas bersabda, jika ada yang datang dan bertanya pada orang “pintar”, meski kita tidak percaya, pahala shalatnya selama 40 hari akan terhapus. Jika bertanya dan tak percaya jawaban sang dukun saja sudah begitu berat hukumannya, apalagi percaya dan bahkan jadi pengikutnya.Astaghfirullahaladzim.