Djoko dan istri ketiga |
Menyantuni
anak yatim adalah moment spiritual. Allah SWT menyuruhnya, dan itu salah satu
amalan yang utama bagi penganut Islam
yang baik. Pokok persoalannya barangkali, jika perintah Allah saja dijalani
lewat dana yang kita asumsikan tidak halal, bagaimana sesungguhnya software sang penyantun, dan apa sesungguhnya
yang diharapkan dari lelaku tadi?Peristiwa ini seperti mengingatkan publik pada
tingkah Muhtadi Asnun, Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, yang berumroh dari uang suap Rp 50
juta dari Gayus Tambunan. Ada ironi, dan gugatan terbesar menyoal pada seberapa
dalam mereka memaknai ajaran agamanya, termasuk seberapa kuat pengaruh role model yang jadi panutannya.
Mohon
maaf, saya tak hendak nyinyir. Tak ada pula maksud membedah soal ini lewat
kacamata teologis terlalu dalam. Saya bukan pendakwah. Sholat juga kadang
bolong, kalau sedang terkena macet dan kehujanan di depan Komplek Pondok Indah,
Jakarta Selatan (karena di situ tak ada mushola dan rumahnya gede-gede berpagar
rapat). Namun ketika di lembar lain media massa saya membaca sedikit ulasan profil
Paus Fransiskus yang baru saja dilantik sebagai pemimpin umat Katolik sedunia,
saya spontan membatin,”Lha, kenapa justru paus yang bisa meneladani Baginda
Nabi Muhammad?Bukan Mahdiana atau Asnun?”
Logika
bodoh saya begini. Kristalisasi ajaran Yesus Kristus sepengetahuan saya lebih
menonjolkan sikap welas asih pada sesama. Doktrin terkenalnya, jika engkau
ditampar pipi kirimu, berikanlah juga pipi kananmu. Tapi, membaca sikap Paus
Fransiskus menyiratkan bagaimana ia telah menjadi teladan yang jempolan bagi
umatnya. Ia dilukiskan sebagai pribadi yang sederhana. Makan masak sendiri. Ke
mana-mana naik bus kota. Paus juga menolak memakai mobil limousin kepausan. Dalam
pidato pengukuhannya Paus Fransiskus bahkan menyeru agar umat Katolik jangan terpedaya oleh kenikmatan dunia. Luar
biasa…
Sebagai
orang dengan keyakinan berbeda, saya terkesan dengan pilihan kesederhanaan
Paus. Ini semakin menambah kecintaan saya terhadap pribadi Nabi Muhammad. Lho,kok?
Bukan apa-apa. Sejak kecil, kala mengaji di mushola depan rumah, ustaz saya
selalu menceritakan, betapa kanjeng nabi hidupnya amatlah sederhana. Tidur di
atas kasur pelepah korma. Jika bangun, pipinya bergaris bekas bilur pelepah
yang menekan kulit. Ketika Malaikat Jibril menawari gunung Uhud hendak dijadikan
emas, agar kanjeng nabi tidak dihina kaum Quraish, beliau menolaknya. Kanjeng nabi memilih
bertahta dalam lautan keprihatinan,
bahkan beliau bersumpah jika ada umatnya yang kelaparan, biar beliau yang
pertama merasakannya. Seribu empat ratus tahun yang lalu, pesan itu telah jelas
disampaikan.
Sederhana
tentu berbeda dengan miskin papa. Ini soal pilihan hidup. Sama seperti yang dilakukan Ayatulah
Khomeini,sebagai pemimpin tertinggi spiritual Iran, yang wafat hanya mewariskan
rumah petak kecil. Jika mau hidup kaya, ia bisa. Di Indonesia pernah ada
Jenderal Polisi Hoegeng, mantan Kapolri. Dalam level yang lebih global, ada Dr.
Achyuta Samanta, asketis Hindu yang fenomenal. Saya coba ceritakan kembali,
soal Samanta dari penuturan Prof. Syafii Maarif yang pernah diundang ke India
menemuinya.
Dr.
Samanta adalah bekas dosen yang mengelola universitas dengan mahasiswa puluhan ribu
orang. Tak ada yang menduga, jika melihat penampilannya, Samanta adalah
pemegang proyek ratusan milyar rupiah. Puluhan ribu mahasiswa yang berkuliah di
kampusnya berasal dari kaum miskin papa dan mereka digratiskan. Untuk
menjalankan roda organisasi, bantuan datang dari mana-mana. Filosofi hidup Samanta sederhana saja, yaitu
ingin membuat orang lain bahagia. Samanta sudah piatu sejak umur 3 tahun, dan kemiskinan membuatnya bekerja keras hingga bisa kuliah di universitas.
Terminologi
asketis di sini untuk menjelaskan tentang seseorang yang menjalani kehidupan ekstrim
sederhana. Sehari-hari Samanta berbaju kemeja putih, celana jeans dan sandal
lusuh. Kantornya dibawah pohon, dengan kursi-kursi plastik tempat ia menerima
kunjungan menteri, gubernur, pemenang hadiah nobel dan presiden. Samanta
dikenal sebagai “nabinya” orang-orang paling miskin di India. Seminggu dua kali
ia puasa. Samanta hidup membujang, dan waktu luangnya dipakai lebih banyak untuk semedi. Prof.
Maarif sampai tergetar, dan merasa tidak pantas diundang oleh seorang humanis besar
abad ini.
Lepas
dari apapun keyakinannya, saya selalu ternganga takjub saat mendengar kisah
orang-orang hebat seperti ini. Paus Fransiskus, Ayatullah Khomeini dan Samanta
seolah menjadi cermin nyata, tentang betapa ajaran itu sesungguhnya sudah
dipraktikan oleh Baginda Nabi Muhammad ratusan tahun sebelumnya. Otak bebal
saya kemudian menjadi tak habis mengerti, kenapa perilaku elok itu justru tak
diadopsi oleh ustaz-ustaz zaman sekarang.
Kita
dicekoki penceramah yang sibuk memamerkan rumah, mobil dan calon istri. Seorang
ustaz yang terkenal dengan ceramah sedekahnya, justru dikenal oleh pegawainya
sebagai orang yang “pelita hati”. Ada pula yang hartanya berlimpah, selalu
ceramah soal pentingnya kesetiaan, lantas jatuh dalam pelukan janda dan akhirnya memutuskan berpoligami. Baru-baru
ini, pangeran Walled Al Talal protes pada majalah Forbes, karena namanya tidak
masuk dalam daftar 10 besar orang terkaya sedunia (penting nggak sih?). Jangan bandingkan dengan aksi filantropis Warren Buffet atau Bill Gates, orang terkaya di dunia, yang menghibahkan triliunan kekayaannya untuk aktifitas sosial tanpa memandang SARA. Pendek kata, rumah
bagus, mobil lebih dari satu, dan hasrat berpoligami,menjadi stereotip lumrah
ustaz zaman kini.
Tentu bukan ajarannya yang salah. Namun jika kesederhanaan sudah jauh dari para pemberi pencerahan, bagaimana sikap umat yang awam kala menghadapi godaan dunia yang sedemikian deras menerpa?Jujur saja, melihat ini, saya kerap rindu kehadiran sosok seperti Buya Hamka, KH. Agus Salim atau M. Natsir. Mereka adalah ulama yang berilmu tinggi, tapi berkehendak rendah pada kenikmatan duniawi. “Dalam panggung kehidupan manusia, penghormatan dan penghargaan jatuh kepada orang-orang yang menunjukkan sifat-sifat baiknya dalam tindakan,bukan dari banyaknya harta,”kata Aristoteles. Saya bersetuju.
Tentu bukan ajarannya yang salah. Namun jika kesederhanaan sudah jauh dari para pemberi pencerahan, bagaimana sikap umat yang awam kala menghadapi godaan dunia yang sedemikian deras menerpa?Jujur saja, melihat ini, saya kerap rindu kehadiran sosok seperti Buya Hamka, KH. Agus Salim atau M. Natsir. Mereka adalah ulama yang berilmu tinggi, tapi berkehendak rendah pada kenikmatan duniawi. “Dalam panggung kehidupan manusia, penghormatan dan penghargaan jatuh kepada orang-orang yang menunjukkan sifat-sifat baiknya dalam tindakan,bukan dari banyaknya harta,”kata Aristoteles. Saya bersetuju.
Djoko Susilo, yang saat menikahi istri kedua dan ketiganya selalu
berpesan jokondo-kondo (jangan
bilang-bilang), nyatanya imun terhadap kampanye jo korupsi yo?(jangan korupsi ya?). Jangankan ingat ajaran kanjeng nabi
yang didengungkan ustaz sambil bermobil mercy. Butir-butir Pancasila yang
menyuruh kita untuk tidak bergaya hidup mewah saja terlewatkan, padahal pasti
ini didapat saat mengikuti kursus-kursus lanjutan seorang calon jenderal.
Jangan pula kita berharap, perilaku Djoko tidak akan ditiru oleh
birokrat lain, sepanjang para penyelenggara negara enggan meniru sedikit saja
sikap askestis Samanta atau Ayatullah Khomeini. Apalagi meniru Baginda Nabi
Muhammad. Sedikit saja. Jangan banyak-banyak. Karena inilah sebenarnya fondasi
penting saat Muhammad menyebarkan ajaran-Nya,yang jika dikuak dari sisi
filosofi ternyata amat mencengangkan.
Khalifah Abdulah Bin Abdul Aziz, Salahuddin Al Ayubi, dan yang
terkini Presiden Iran Mahmood Ahmadinejad diantara yang takzim dan yakin, jika
kesederhanaan adalah pintu pembuka dari segala keberanian dan kehormatan. Dalam kontes politik
lokal, kesederhanaan mampu menyihir para pemilih memenangkan Joko Widodo
memenangkan pilgub Jakarta. Sugih tanpa
banda –begitu filsafat Jawa menerangkan keutamaan sederhana, yang bisa
meningkatkan “rasa” kita terhadap sangkanparaning
dumadi.
Kesederhanaan
menjadi kunci keberhasilan Ayatullah Khomeini menggerakan puluhan juta kaum
muda Iran menumbangkan rezim tiran Syah Reza Pahlevi. Kesederhanaan juga yang membuat
donatur percaya pada Dr. Samanta, hingga mengalirkan dana puluhan juta dollar Amerika
ke yayasannya. Dan, last but not least,kesederhanaan
hidup yang membuat kematian Hugo Chaves, presiden Venezuela, diratapi jutaan
rakyatnya. Kesederhanaan ternyata menumbuhkan kepercayaan, dan kepercayaan
adalah modal terpenting dari seorang pemimpin, baik formal maupun informal. Lantas kenapa orang-orang seperti itu kini langka? Wallahua’lam bishawab.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!