Daftar Isi

Wednesday, March 20, 2013

Djoko Susilo, Jokondo-kondo, Jo Korupsi yo?

Djoko dan istri ketiga
Dengan tetap menghormati asas praduga tak bersalah, minggu-minggu ini otak bebal saya semakin konslet, membaca satu demi satu harta Irjen Djoko Susilo disita Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Okelah, seratus milyar, dari tempat tetirah puluhan hektar di Subang,Jawa Barat, hingga pompa bensin dan puluhan rumah bisa diterima akal sehat, kala diduga itulah hasil pencucian uang Jenderal Djoko. Namun yang membuat dahi saya berkeryit keras adalah, saat disebut Mahdiana, istri kedua Djoko, sering menyantuni anak yatim dalam peristiwa-peristiwa tertentu. Ulang tahun misalnya. Atau acara lain.

Menyantuni anak yatim adalah moment spiritual. Allah SWT menyuruhnya, dan itu salah satu amalan yang utama  bagi penganut Islam yang baik. Pokok persoalannya barangkali, jika perintah Allah saja dijalani lewat dana yang kita asumsikan tidak halal, bagaimana sesungguhnya software sang penyantun, dan apa sesungguhnya yang diharapkan dari lelaku tadi?Peristiwa ini seperti mengingatkan publik pada tingkah Muhtadi Asnun, Ketua Pengadilan Negeri Tangerang, yang berumroh dari uang suap Rp 50 juta dari Gayus Tambunan. Ada ironi, dan gugatan terbesar menyoal pada seberapa dalam mereka memaknai ajaran agamanya, termasuk seberapa kuat pengaruh role model yang jadi panutannya.

Mohon maaf, saya tak hendak nyinyir. Tak ada pula maksud membedah soal ini lewat kacamata teologis terlalu dalam. Saya bukan pendakwah. Sholat juga kadang bolong, kalau sedang terkena macet dan kehujanan di depan Komplek Pondok Indah, Jakarta Selatan (karena di situ tak ada mushola dan rumahnya gede-gede berpagar rapat). Namun ketika di lembar lain media massa saya membaca sedikit ulasan profil Paus Fransiskus yang baru saja dilantik sebagai pemimpin umat Katolik sedunia, saya spontan membatin,”Lha, kenapa justru paus yang bisa meneladani Baginda Nabi Muhammad?Bukan Mahdiana atau Asnun?”

Logika bodoh saya begini. Kristalisasi ajaran Yesus Kristus sepengetahuan saya lebih menonjolkan sikap welas asih pada sesama. Doktrin terkenalnya, jika engkau ditampar pipi kirimu, berikanlah juga pipi kananmu. Tapi, membaca sikap Paus Fransiskus menyiratkan bagaimana ia telah menjadi teladan yang jempolan bagi umatnya. Ia dilukiskan sebagai pribadi yang sederhana. Makan masak sendiri. Ke mana-mana naik bus kota. Paus juga menolak memakai mobil limousin kepausan. Dalam pidato pengukuhannya Paus Fransiskus bahkan menyeru agar umat Katolik  jangan terpedaya oleh kenikmatan dunia. Luar biasa…

Sebagai orang dengan keyakinan berbeda, saya terkesan dengan pilihan kesederhanaan Paus. Ini semakin menambah kecintaan saya terhadap pribadi Nabi Muhammad. Lho,kok? Bukan apa-apa. Sejak kecil, kala mengaji di mushola depan rumah, ustaz saya selalu menceritakan, betapa kanjeng nabi hidupnya amatlah sederhana. Tidur di atas kasur pelepah korma. Jika bangun, pipinya bergaris bekas bilur pelepah yang menekan kulit. Ketika Malaikat Jibril menawari gunung Uhud hendak dijadikan emas, agar kanjeng nabi tidak dihina kaum Quraish, beliau menolaknya. Kanjeng nabi memilih bertahta  dalam lautan keprihatinan, bahkan beliau bersumpah jika ada umatnya yang kelaparan, biar beliau yang pertama merasakannya. Seribu empat ratus tahun yang lalu, pesan itu telah jelas disampaikan.
Tanah Djoko Susilo di Bali
Sederhana tentu berbeda dengan miskin papa. Ini soal pilihan hidup. Sama  seperti yang dilakukan Ayatulah Khomeini,sebagai pemimpin tertinggi spiritual Iran, yang wafat hanya mewariskan rumah petak kecil. Jika mau hidup kaya, ia bisa. Di Indonesia pernah ada Jenderal Polisi Hoegeng, mantan Kapolri. Dalam level yang lebih global, ada Dr. Achyuta Samanta, asketis Hindu yang fenomenal. Saya coba ceritakan kembali, soal Samanta dari penuturan Prof. Syafii Maarif yang pernah diundang ke India menemuinya.

Dr. Samanta adalah bekas dosen yang mengelola universitas dengan mahasiswa puluhan ribu orang. Tak ada yang menduga, jika melihat penampilannya, Samanta adalah pemegang proyek ratusan milyar rupiah. Puluhan ribu mahasiswa yang berkuliah di kampusnya berasal dari kaum miskin papa dan mereka digratiskan. Untuk menjalankan roda organisasi, bantuan datang dari mana-mana.  Filosofi hidup Samanta sederhana saja, yaitu ingin membuat orang lain bahagia. Samanta sudah piatu sejak umur 3 tahun, dan kemiskinan membuatnya bekerja keras hingga bisa kuliah di universitas.

Terminologi asketis di sini untuk menjelaskan tentang seseorang yang menjalani kehidupan ekstrim sederhana. Sehari-hari Samanta berbaju kemeja putih, celana jeans dan sandal lusuh. Kantornya dibawah pohon, dengan kursi-kursi plastik tempat ia menerima kunjungan menteri, gubernur, pemenang hadiah nobel dan presiden. Samanta dikenal sebagai “nabinya” orang-orang paling miskin di India. Seminggu dua kali ia puasa. Samanta hidup membujang, dan waktu luangnya dipakai lebih banyak untuk semedi. Prof. Maarif sampai tergetar, dan merasa tidak pantas diundang oleh seorang humanis besar abad ini.

Lepas dari apapun keyakinannya, saya selalu ternganga takjub saat mendengar kisah orang-orang hebat seperti ini. Paus Fransiskus, Ayatullah Khomeini dan Samanta seolah menjadi cermin nyata, tentang betapa ajaran itu sesungguhnya sudah dipraktikan oleh Baginda Nabi Muhammad ratusan tahun sebelumnya. Otak bebal saya kemudian menjadi tak habis mengerti, kenapa perilaku elok itu justru tak diadopsi oleh ustaz-ustaz zaman sekarang.

Kita dicekoki penceramah yang sibuk memamerkan rumah, mobil dan calon istri. Seorang ustaz yang terkenal dengan ceramah sedekahnya, justru dikenal oleh pegawainya sebagai orang yang “pelita hati”. Ada pula yang hartanya berlimpah, selalu ceramah soal pentingnya kesetiaan, lantas jatuh dalam pelukan janda  dan akhirnya memutuskan berpoligami. Baru-baru ini, pangeran Walled Al Talal protes pada majalah Forbes, karena namanya tidak masuk dalam daftar 10 besar orang terkaya sedunia (penting nggak sih?). Jangan bandingkan dengan aksi filantropis Warren Buffet atau Bill Gates, orang terkaya di dunia, yang menghibahkan triliunan kekayaannya untuk aktifitas sosial tanpa memandang SARA.  Pendek kata, rumah bagus, mobil lebih dari satu, dan hasrat berpoligami,menjadi stereotip lumrah ustaz  zaman kini. 

Tentu bukan ajarannya yang salah. Namun jika kesederhanaan sudah jauh dari para pemberi pencerahan, bagaimana sikap umat yang awam kala menghadapi godaan dunia yang sedemikian deras menerpa?Jujur saja, melihat ini, saya kerap rindu kehadiran sosok seperti Buya Hamka, KH. Agus Salim atau M. Natsir. Mereka adalah ulama yang berilmu tinggi, tapi berkehendak rendah pada kenikmatan duniawi. “Dalam panggung kehidupan manusia, penghormatan dan penghargaan jatuh kepada orang-orang yang menunjukkan sifat-sifat baiknya dalam tindakan,bukan dari banyaknya harta,”kata Aristoteles. Saya bersetuju.

Djoko Susilo, yang saat menikahi istri kedua dan ketiganya selalu berpesan jokondo-kondo (jangan bilang-bilang), nyatanya imun terhadap kampanye jo korupsi yo?(jangan korupsi ya?). Jangankan ingat ajaran kanjeng nabi yang didengungkan ustaz sambil bermobil mercy. Butir-butir Pancasila yang menyuruh kita untuk tidak bergaya hidup mewah saja terlewatkan, padahal pasti ini didapat saat mengikuti kursus-kursus lanjutan seorang calon jenderal.

Jangan pula kita berharap, perilaku Djoko tidak akan ditiru oleh birokrat lain, sepanjang para penyelenggara negara enggan meniru sedikit saja sikap askestis Samanta atau Ayatullah Khomeini. Apalagi meniru Baginda Nabi Muhammad. Sedikit saja. Jangan banyak-banyak. Karena inilah sebenarnya fondasi penting saat Muhammad menyebarkan ajaran-Nya,yang jika dikuak dari sisi filosofi ternyata  amat mencengangkan.  

Khalifah Abdulah Bin Abdul Aziz, Salahuddin Al Ayubi, dan yang terkini Presiden Iran Mahmood Ahmadinejad diantara yang takzim dan yakin, jika kesederhanaan adalah pintu pembuka dari segala keberanian dan kehormatan. Dalam kontes politik lokal, kesederhanaan mampu menyihir para pemilih memenangkan Joko Widodo memenangkan pilgub Jakarta. Sugih tanpa banda –begitu filsafat Jawa menerangkan keutamaan sederhana, yang bisa meningkatkan “rasa” kita terhadap sangkanparaning dumadi.

Kesederhanaan menjadi kunci keberhasilan Ayatullah Khomeini menggerakan puluhan juta kaum muda Iran menumbangkan rezim tiran Syah Reza Pahlevi. Kesederhanaan juga yang membuat donatur percaya pada Dr. Samanta, hingga mengalirkan dana puluhan juta dollar Amerika ke yayasannya. Dan, last but not least,kesederhanaan hidup yang membuat kematian Hugo Chaves, presiden Venezuela, diratapi jutaan rakyatnya. Kesederhanaan ternyata menumbuhkan kepercayaan, dan kepercayaan adalah modal terpenting dari seorang pemimpin, baik formal maupun informal. Lantas kenapa orang-orang seperti itu kini langka? Wallahua’lam bishawab.



Monday, March 4, 2013

Sorry, Mas Roy Suryo....

Bagaimana perasaan anda, ketika sebuah pesan singkat masuk, terus tak ada nama karena nomornya belum tersimpan di phone book? Barangkali reaksinya tak beda jauh dengan saya. Penasaran, dan kemudian mengirim pertanyaan balik  ke nomor itu. Inilah yang terjadi, tak berapa lama setelah Roy Suryo dilantik Presiden SBY sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga (menpora). Kalau tidak keliru, Mas Roy –begitu biasa saya memanggil Roy Suryo - diambil sumpahnya 15 Januari 2013.

“Maaf, dari siapa nih?”tulis saya, karena penasaran. SMS  saya itu tak mendapat jawaban.


Isi pesan singkat yang saya terima sebetulnya sederhana. Saya disuruh menghubungi staf Kemenpora, Ibu Yuli, jika tertarik mengangkat menpora  yang sedang beraksi melakukan Rappeling alias turun dari dinding gedung menggunakan tali. Saya berfikir, ini pasti dari stafnya Mas Roy. Namun, karena tak ada balasan, moment itu akhirnya saya biarkan berlalu. Buat apa ditulis kalau yang memberi info tak juga mau membuka jati diri,hehehe.

Saya sadar, sejak ponsel saya hilang, banyak nomor penting yang juga ikut lenyap. Tak heran, beberapa minggu kemudian, ketika saya butuh informasi lagi dari Mas Roy, saya minta nomornya pada seorang teman. Nomor itu saya simpan kembali. Aman. Malamnya saya kirim pesan pendek. Paginya, Mas Roy membalas.

“Maaf, telat balasnya Mas Arif. Silahkan hubungi bapak Bondan (nama samaran). Nanti dia yang ngurus ya.Terima kasih,”kata Mas Roy, eh, pak menteri.

Ini yang membuat saya salut. Setelah jadi menteri, sikap Mas Roy tak berubah. Ia tetap menyempatkan diri membalas SMS. Sikap ini jauh berbeda dengan Andi Mallarangeng,misalnya, koleganya yang juga bekas menpora. Kalau Andi lain ceritanya. Pernah saya begitu membutuhkan statemen dia. Tapi berkali-kali ditelepon, direject. Di SMS tak pernah dibalas. Ini bukan cuma sekali. Tapi seperti sudah jadi tradisi.

Saya bahkan sudah sampai pada tahap malas, kalau harus berurusan dengan Andi Mallarangeng. Rasanya penyebutan nama dan media tak mempan. Saking kesalnya, saya berharap Andi jangan jadi presiden. Sama dengan harapan saya, ketika ditipu seorang penyanyi terkenal supaya segera surut karirnya (maaf, kasar banget ya?). Tak lama, penyanyi itu kena stroke dan meninggal dunia.

Apakah benar do’a orang teraniaya itu makbul?Wallahualam bisshowab. Tapi sekali lagi saya sangat respek dengan Mas Roy. Tawa dan gayanya juga tak berubah jaim, setelah jadi menteri. Saya lihat di televisi, dia masih tetap dengan tawanya yang khas. Panjang berderai, tidak mesam mesem seperti Rhoma Irama. Tawa itulah yang selalu terdengar, jika kita bertemu di lapangan, dan menggodanya. Mas Roy tak pernah terlihat mriyayini, walau ia punya darah biru sebagai kerabat keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sikapnya yang ngewongke orang, juga terlihat jelas manakala ia banyak dihujat dan caci maki, waktu terpilih jadi menpora. Dibilang tidak pantaslah. Tak punya skill. Cocoknya jadi tukang intip film bugil, dan lain-lain yang sangat menyakitkan. Apa tanggapan Mas Roy?”Semua hujatan itu saya baca dan saya terima. Jujur, saya memang tidak kompeten dibidang ini. Tapi saya akan belajar dan bekerja keras mengurus Kemenpora,”ujarnya. Luar biasa. Jawaban yang menunjukan sikap andap asor-nya yang elegan.
Roy Suryo usai dilantik


Usai Mas Roy mengirim jawaban SMS saya, besoknya stafnya menelepon. Dia bilang masih di Solo, Jawa Tengah, karena saat itu hari Minggu. Saya akan segera dikirim foto dan rilis hari Senen, setelah berada di Jakarta. Saya sendiri akhirnya tidak jadi mengejar janji itu, karena ternyata ada keputusan mendadak. Tulisan tentang Mas Roy tidak bisa dimuat. Secara kebetulan, stafnya tidak mengirim rilis dan foto ke email saya. Alhamdulilah…

Yang jelas, nomor Mas Roy dan stafnya saya simpan di ponsel Samsung. Selain Blackberry, kebetulan ada juga ponsel Nokia, yang saya pakai untuk menyimpan nomor penting. Nah, di Nokia itulah SMS tanpa nama yang pernah menghampiri masih saya simpan. Iseng-iseng, nomor Mas Roy di ponsel Samsung saya coba simpan juga di ponsel Nokia, untuk jaga-jaga. Siapa tahu salah satunya hilang.

Hal mengejutkan terjadi, kala saya mengecek SMS di ponsel Nokia, setelah nama Mas Roy saya masukan. Di situ tertulis, pengirim pesan informasi ada aksi menpora Rappelling di gedung Kemenpora adalah Mas Roy sendiri. Busyet. Berarti ketika saya balas,”Maaf, dari siapa nih?” ternyata itu  SMS dari nomor Mas Roy ya? Waduh, betapa kurang ajarnya diriku.

Saya sempat merasa bersalah. Tapi sudahlah. Toh itu karena ketidaktahuan saya. Apalagi saya juga minta maaf pada Mas Roy. Seperti biasa, beliau menanggapi santai. Saya berharap Mas Roy tetap menjadi Mas Roy. Tidak seperti Andi Mallarangeng, atau pejabat-pejabat lain yang jadi sok dan tinggi hati setelah jadi pejabat, laiknya peribahasa kere munggah bale.  

Banyak harapan tergantung dipundaknya, dalam posisinya sebagai menpora.   Lebih dari segalanya, karakter dan sikap pribadi itulah yang bakal terus dikenang, karena pangkat hanya sampiran, harta cuma titipan. Kalau sudah jadi tersangka, nyatanya semua hartanya langsung diblokir KPK. Atau jika meninggal, minimal ada seorang yang tidak nampak berduka, karena pernah disakiti. Sukses Mas Roy, semoga tetap berpijak di bumi, selamat dengan khusnul khotimah mengemban amanah…