Sambut
Musim Semi
Imlek
dikenal juga dengan Nong Li (baca: nung li), yang artinya “penanggalan petani”.
Hal ini bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang jaman dulu berprofesi
sebagai petani. Para petani tersebut mengandalkan kemampuan mereka membaca
alam, pergerakan bintang, rasi bintang, bulan dan benda angkasa yang lain untuk
bercocok tanam. Apalagi di China yang 4 musim, perhitungan tepat dan presisi
harus handal untuk mendapatkan pangan yang cukup.
Perayaan Chinese New Year sebenarnya
adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut dengan Chun Jie (baca: juen cie),
yang artinya “menyambut musim semi”. Musim semi disambut dengan sukacita karena
musim dingin akan segera berlalu dan tibalah saat para petani untuk menanam
lagi, terutama tanaman padi (China Selatan) dan gandum (China Utara) serta
tanaman pertanian lainnya. Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka,
menyambut datangnya musim semi merupakan keharusan yang dirayakan dengan
meriah.
Perayaan
ini mulai dikenal di jaman Dinasti Xia, sering ditulis Hsia juga ( 2205 – 1766
SM). Setelah dinasti Xia runtuh, penanggalan Imlek selalu berubah sesuai dengan
kemauan dinasti yang berkuasa. Biasa diambil adalah waktu berdirinya dinasti tersebut.
Baru pada masa Dinasti Han (206 SM – 220 M), penanggalan dari Dinasti Xia
diresmikan sampai sekarang dan tahun kelahiran Khonghucu ditetapkan sebagai
tahun pertama. Selain disebut Tahun Baru Imlek, banyak juga yang menyebutnya
dengan Sincia, yang juga berasal dari dialek Hokkian.
Beberapa
tradisi Imlek dipengaruhi oleh daerah setempat. Misal di kawasan Chinatown di kota San
Fransico, Amerika Serikat.Bunga, buah-buahan, dan permen merupakan hal yang menonjol
dalam perayaan Imlek. Pameran bunga, Flower Market Fair, diadakan di Pecinan
pada pertengahan Januari. Konser Musik
Simfoni San Fransisco dan Perayaan Komunitas Tahun Baru Imlek menyajikan
musik gabungan dan instrumental musik Timur dan Barat.
Kebun
binatang San Fransisco juga merayakan Tahun Baru Imlek pada dengan acara
akrobatik Tiongkok, tari tradisional singa dan tarian daerah, termasuk
ketrampilan bermain yoyo dan sebagainya. Pengunjung kebun binatang bisa
melakukan tur sendiri untuk mencari binatang-binatang sesuai dengan zodiak atau
shio yang terdapat di dalam almanak Tionghoa.
Kue
keranjang
Selain
persiapan di tempat-tempat ibadah,Imlek tentu belum lengkap tanpa jajanan dan
makanan kecil khas imlek misalnya kue keranjang. Makanan ini berperan saat
sembahyang dan silaturahim. Kue keranjang dengan resep turun temurun
mulai dari rasa cokelat atau frambozen pandan, aren, vanila, dan durian
dengan mudah dijumpai di pusat perbelanjaan.
Di
Jakarta sendiri jumlah masyarakat Tionghoa cukup banyak. Bisa dipastikan jika hari imlek tiba biasanya
makanan ini selalu dibagikan bukan hanya sesama masyarakat Tionghoa saja, namun
juga pada penduduk pribumi.
Terkait
tradisi santap kue keranjang, kue lapis, jeruk, dan ikan bandeng, sejumlah tokoh
Konghucu menilai hal ini hasil interaksi budaya China dengan masyarakat lokal.
Kue keranjang atau nian gao disebut-sebut berkaitan dengan harapan agar rezeki
selama satu tahun mendatang manis.
Nian
sendiri berarti tahun dan gao berarti kue yang juga terdengar seperti kata
tinggi. Oleh karena itu, kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat.
Makin ke atas, makin mengecil kue itu, memberikan makna peningkatan dalam hal
rezeki atau kemakmuran. Pada zaman dahulu, banyaknya atau tingginya kue
keranjang menandakan kemakmuran keluarga pemilik rumah.
Kue
keranjang itu artinya agar tiap tahun mencapai prestasi yang bertambah tinggi,
setiap tahun ada peningkatan. Ini biasanya bagi mereka yang memiliki bisnis. Adapun
ikan bandeng dihubungkan sebagai perlambang rezeki karena dalam logat Mandarin,
kata 'ikan' sama bunyinya dengan kata 'yu' yang berarti rezeki.
Buah-buahan
yang wajib ada adalah pisang raja atau pisang emas yang melambangkan emas atau
kemakmuran atau keuntungan yang besar. Begitu juga dengan jeruk kuning dan
diusahakan yang ada daunnya. Ini juga melambangkan kemakmuran yang akan selalu
tumbuh terus. Hal ini juga supaya ada keuntungan yang besar dan terus-menerus.
Bagi-bagi
Angpau
Selain
kue keranjang, tradisi Imlek yang erat kaitannya dengan budaya adalah memberikan
Angpao. Dengan memberikan angpao masyarakat Tionghoa percaya bahwa akan
menambah rezeki yang lebih banyak lagi. Pemberian angpao biasanya diberikan
pada orang dewasa kepada anak kecil. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian
angpao ini biasanya berisi uang kertas bukan uang logam.
Secara
harafiah, ang pao berarti amplop yang berwarna merah. Ang pao telah menjadi
salah satu simbol Tahun Baru Imlek. Pada hari raya ini, ada tradisi bahwa
seseorang yang telah menikah memberikan ang pao yang berisi uang kepada orang
yang lebih muda dan belum menikah. Soal jumlah, hal ini tergantung pada
kemampuan dan kerelaan dari sang pemberi.
Lantas,
apa makna ang pao? Ang pao memiliki
makna filosofi transfer kesejahteraan atau energi. Transfer
kesejahteraan dari orang mampu ke tidak mampu, dari orangtua ke anak-anak, dari
anak-anak yang sudah menikah ke orangtua. Tradisi memberi ang pao telah
berlangsung sejak lama. Tradisi ini diturunkan dari satu generasi ke generasi
lainnya tanpa putus. Tradisi Tionghoa juga mengenal pemberian ang pao yang
diberikan tujuh hari menjelang Imlek. Tradisi ini biasa disebut sebagai Hari
Persaudaraan.
Sembahyang
Leluhur
Pemberian
ang pao bukan satu-satunya tradisi yang dilakukan ketika Imlek. Tradisi lainnya
yang menonjol adalah sembahyang leluhur. Sebelum Imlek, para warga Tionghoa
umumnya bahu-membahu membersihkan makam para leluhurnya. Tak hanya itu, pada
hari pertama Imlek, para warga Tionghoa melakukan sembahyang untuk para
leluhur.
Pada
ritual sembahyang, mereka menyajikan makanan, minuman, dan buah di altar
almarhum dan almarhumah. Sembahyang leluhur ini bukanlah tradisi tanpa makna.
Ini menunjukkan bakti kepada orangtua, yang tidak hanya merawat dan menjaganya
hingga meninggal, tetapi juga setelah meninggal. Ini mengingatkan bahwa kita
berada di dunia ini tidak semata-mata karena Tuhan, tetapi juga karena orangtua.
Makna
Hujan Imlek
Imlek
pun sangat identik dengan hujan. Bagi sebagian masyarakat kita, hujan mungkin membuat malas untuk beraktifitas. Namun
berbeda untuk masyarakat Tionghoa dikala Imlek. Hujan sepanjang perayaan
imlek dikaitkan sebagai sumber rezeki. Dengan turunnya hujan maka banyak rezeki
yang berdatangan di muka bumi.
Sehari
menjelang Imlek biasanya orang Tionghoa menyapu rumah hingga
bersih. Hal ini dimaksudkan agar membuang semua kesialan.
Namun ada juga beberapa benda yang perlu dihindari yakni sikat dan sapu. Nah,
khusus di hari imlek kegiatan menyapu atau membersihkan
rumah dilarang dilakukan karena dipercaya akan menyapu semua keberuntungan yang
berdatangan.
Atraksi barongsai
Atraksi
barongsai juga turut menyemarakkan Imlek. Atraksi barongsai konon terinspirasi
dari Kilin, makhluk suci bagi umat Konghucu. Rupanya menyerupai naga, memiliki
kulit bersisik, dan bertanduk satu. Kilin muncul ketika Nabi Konghucu lahir dan
wafat.
Menurut
cerita-cerita rakyat yang populer di China, atraksi barongsai ini bertujuan
untuk mengusir roh jahat yang datang di awal tahun. Imlek juga tak lengkap
tanpa kehadiran bunga sedap malam di altar leluhur. Hal ini bertujuan untuk
mengingatkan kita agar terus tertekad berlaku baik dan harum bak bunga sedap
malam.
Menggantung lentera merah
Tradisi
ini berkaitan dengan masa Dinasti Ming. Pada saat itu, Li Zicheng, seorang
pemimpin pemberontak mempersiapkan diri untuk menguasai Kota Kaifeng. Agar
penyerangan tidak mengganggu rakyat jelata, Li memerintahkan rakyat untuk
menggantung lentera merah di pintu rumahnya sebagai tanda, bahwa mereka tidak
layak untuk diserang.
Namun
malangnya, saat itu terjadi banjir. Penduduk lari ke atap rumah untuk
menyelamatkan diri sambil membawa lentera merah. Dari kejauhan, Li melihat
rakyatnya karena cahaya lentera merah tersebut dan memerintahkan prajuritnya
untuk menolong mereka. Sejak itulah, untuk memperingati kebaikan hati Li,
bangsa Tionghoa selalu menggantung lentera merah pada setiap perayaan penting.
Salah satunya Tahun Baru Imlek.
Membunyikan petasan
Menurut legenda Tionghoa kuno, zaman dahulu di atas rumpun pohon bambu
hidup mahluk aneh dinamakan Mahluk Gunung. Mahluk aneh ini pendek, hanya
memiliki satu kaki, dan dikenal suka mengganggu penduduk desa.
Suatu
hari, karena kedinginan, penduduk desa membakar bambu dalam perapian. Mahluk
gunung pun muncul tiba-tiba dan menyerang mereka. Namun saat kekacauan terjadi,
potongan bambu yang berada di perapian meletus dan menakut-nakuti para mahluk
gunung ini. Sejak itulah, tradisi membunyikan petasan dilakukan, terutama saat
malam Tahun Baru Imlek.
Menyembunyikan sapu
Menurut
legenda, pada zaman dahulu ada seorang pedagang bernama Ou Ming yang selalu
bepergian menggunakan perahu. Suatu hari, saat ia sedang berlayar tiba-tiba
badai menghadang. Ia terdampar di sebuah pulau dan perahunya rusak berat
sehingga tidak dapat dipakai.
Ou
kemudian ditolong oleh Qing Hongjun, penghuni pulau tersebut. Qing menjamu Ou
dengan hangat, kemudian berniat memberikan kenang-kenangan kepada Ou. Ou
kemudian meminta Ru Yuan, pelayan cantik yang bekerja di rumah Qing. Qing
awalnya ragu, namun akhirnya ia memberikan Ru Yuan beserta satu peti permata.
Namun
Ou ternyata berniat jahat.Ia berniat memiliki semua permata itu sendiri. Ia
merayu Ru Yuan agar memberikan kunci peti permata itu. Akhirnya, kunci itu
diberikan. Sejak saat itu perlakuan Ou terhadap Ru Yuan semakin kasar. Tidak
tahan, ia pun lari namun hampir berhasil tertangkap Ou.
Ru
Yuan melihat sebuah sapu bersandar di pohon, kemudian ia memutuskan untuk
menghilang ke dalam sapu. Saat ia menghilang, semua harta yang di rumah Ou pun
turut hilang. Karena itulah, saat menyambut tahun baru Imlek, orang Tionghoa
akan membersihkan rumahnya kemudian menyembunyikan sapu, dengan harapan semua
hal yang tidak diinginkan hilang tersapu.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!