Cap
Go Meh sendiri adalah penutup dari rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Di
tempat asalnya, rangkaian penutup ini tidak disebut dengan Cap Go Meh. Tapi
lazim disebut Yuan Xiao Jie (baca; yuen siau cie). Yuan Xiao Jie adalah bulan
purnama pertama Tahun Baru Imlek. Perayaan Yuan Xiao Jie selalu ditandai dengan
pemasangan lampion, makan ronde,main tebak-tebakan, keluar rumah untuk melihat
bulan dan makan bersama seluruh anggota keluarga.
Sejak
2000 Tahun Lalu
Perayaan
Yuan Xiao Jie sudah dilaksanakan di Tiongkok sejak 2000 tahun yang lalu.
Bagaimana asal usul perayaan Yuan Xiao Jie? Ada beberapa versi. Versi pertama pada masa pemerintahan Raja
Mingdi yang saat itu mulai tertarik dengan ajarab Budha. Raja mendengar bahwa
dalam agama Budha setiap malam bulan purnama adalah malam penghormatan terhadap
sang Budha. Salah satu cara untuk
menghormati Sang Budha adalah dengan memasang lampion. Maka sang raja memerintahkan setiap keluarga
untuk memasang lampion di rumah masing-masig setiap bulan purnama.
Pada
masa pemerintahan Raja Hanwen, ditetapkan bahwa pemasangan lampion cukup
dilakukan di malam purnama di bulan pertama saja. Karena malam purnama pertama
di tahun baru ini sebagai suatu lambang keoptimisan, menyongsong hari depan
yang lebih baik.
Versi
kedua, tradisi pemasangan lampion ini berasal dari Taoism, yaitu ajaran tentang 3 unsur utama. Tiga unsur utama itu meliputi malam purnama di bulan
pertama merupakan bulan naik yang melambangkan unsur ketuhanan. Purnama di
bulan ke-7 yaitu bulan pertengahan yang melambangkan unsur bumi. Juga purnama
dibulan ke-10 merupakan bulan turun yang mewakili unsur kemanusiaan. Oleh sebab
itu, disetiap purnama di tiga waktu itu harus memasang lampion. Maksudnya untuk
menghormati ketiga unsur penting itu.
Seiring
perkembangan zaman, Yuan Xiao Jie mengalami perubahan. Pada masa Dinasti Han,
cukup menggantung lampion selama 1 hari. Masa Dinasti Tang diperpanjang menjadi
3 hari. Kemudian pada masa dinasti Song
menjadi 5 hari. Sampai masuk dinasti Ming pemasangan lampion dimulai sejak hari
ke-8 sampai hari ke-17 (10 hari).
Beragam
bentuk lampion digantung di setiap sudut kota maupun rumah-rumah penduduk.
Tidak hanya lampion, berbagai kegiatan lainpun diselenggarakan. Bahkan
pada Dinasti Qing ditambah dengan tarian
naga, Barongsai dan lain-lain. Jadilah hari raya ini semakin meriah.
Hal
yang paling ditunggu-tunggu muda-mudi adalah acara tebak-tebakan. Setiap orang
membawa satu lampion dan di lampion itu sudah ditempel dengan kertas yang
berisi teka-teki (biasanya 4 huruf). Si wanita memberikan tebakan pada si pria
dan sebaliknya. Kalau masing-masing bisa menebak dengan benar, acara bisa
dilanjut dengan kencan bareng. Tebak-tebakan dimaksudkan untuk mencari pasangan
yang tingkat kepintarannya seperti yang diinginkan si pemilik teka-teki.
Mengenai
tradisi makan ronde, hal itu dimaksudkan untuk mengumpulkan seluruh anggota keluarga. Pada perayaan Yuan Xiao Jie semua berkumpul di rumah saudara
tertua untuk makan ronde yang disebut tangtuan. Tang artinya soup sedangkan
tuan artinya berkumpul. Jadi Yuan Xiao Jie juga sangat penting, karena dengan
adanya hari besar ini, meski berada jauh dari sanak keluarga, diusahakan untuk
pulang berkumpul bersama.
Cap
Go Meh di Indonesia
Selain
berbagai versi asli tradisi perayaan hari ke-15 setelah tahun baru Imlek, di
Indonesia hal itu malah dikenal dengan sebutan Cap Go Meh. Belakangan selain
Indonesia, sebutan Cap Go Meh juga dikenal
di Malaysia dan Singapura.
Padahal Cap Go Meh sendiri sebenarnya penamaan yang salah kaprah. Tapi karena sudah berumur ratusan tahun
akhirnya dianggap benar dan menjadi tradisi.
Cap
Go Meh artinya adalah “malam ke-15”. Yaitu tanggal 15 di bulan pertama yang
disebut dalam dialek Hokkian “cia gwe cap go”. Di Indonesia sendiri, sejak dulu
orang lebih kenal dengan sebutan Cap Go Meh daripada sebutan lain, termasuk
sesuai versi aslinya.
Perayaan
Cap Go Meh sempat mandek saat era Orde Baru. Tapi setelah reformasi, perayaan
ini kembali marak di kota-kota Indonesia. Kondisi ini seolah mengulang masa
sebelumnya. Perayaan Cap Go Meh pernah mencapai masa keemasan yang dirayakan
segenap lapisan masyarakat, suku dan agama di tahun 1950-1960. Di Semarang
misalnya. Perayaan Cap Go Meh masa itu selalu dinanti oleh masyarakat. Arak-arakan
dari berbagai Klenteng di daerah Pecinan akan memenuhi jalanan. Biasanya
diiringi dengan kemeriahan suara mercon, tabuhan khas atraksi Barongsai dan
naga.
Masing-masing
kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh.
Di Jawa misalnya, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong Cap Go Meh.
Sementara di Kalimantan, ada acara besar-besaran termasuk atraksi Tatung. Di
Medan lain lagi. Sembahyang di Klenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh.
Atraksi
Tatung di Singkawang, Kalimantan Barat , menjadi atraksi tahunan yang banyak
menarik minat wisatawan. Tatung adalah orang yang dimasuki roh dewa atau
leluhur. Tubuh orang tersebut dijadikan perantara komunikasi dengan roh
leluhur. Arak-arakan Tatung sudah menjadi tradisi lebih dari 200 tahun. Para
Tatung berasal dari Klenteng yang tersebar di berbagai Singkawang.
Tatung
diarak dengan menggunakan tandu pedang atau paku tajam. Ada juga yang naik
tangga. Seluruh Tatung yang ikut dalam ritual disantuni panitia. Jumlah
santunan bervariasi. Untuk Tatung yang menggunakan tandu Rp 3 juta, tandu
miniatur Rp 1,8 juta, dan jailangkung dengan tandu Rp 750 ribu.
Sedangkan
Tatung tanpa tandu di beri santunan Rp
300 ribu dan jailangkung tanpa tandu Rp 450 ribu. Sementara untuk grup naga Rp
750 ribu dan grup Barongsai Rp 450 ribu. Tahun ini, perayaan arak-arakan Tatung
di Singkawang berhasil menyedot 747 Tatung.
Mereka berasal dari berbagai wilayah di Kalimantan Barat. Sebelum pawai Tatung,
warga Singkawang biasanya menikmati pawai lampion dulu.
Budaya
Lokal
Selain
di Singkawang, perayaan Cap Go Meh di Menado juga sangat meriah. Hal ini karena
seluruh umat Tridharma berkumpul di klenteng dengan pakaian dan ornament khas
mereka. Tontonan utamanya adalah orang kebal yang dipercaya sebagai perwujudan
dewa, Thang sin yang berpindah pindah dari Kio (usungan) turun meramaikan
kirab.
Menariknya
proses Cap Go Meh diisi pula dengan berbagai atraksi budaya orang Minahasa,
seperti pagelaran musik bambu dan musik clarinet. Ikut pula meramaikan pasukan
berkuda dan penari Kabasaran, sebuah tarian perang orang Minahasa.
Salah
satu yang menyebot perhatian pengunjung adalah
atraksi naga yang panjangnya mencapai ratusan meter serta Barongsai. Cap Go Meh
tanpa Barongsai dan liong (naga) rasanya
tidak komplit. Nama Barongsai sendiri adalah gabungan dari kata “barong” dalam
bahasa Jawa dan “Sai” alias Singa dalam bahasa dialek Hokkian.
Singa
menurut orang Tionghoa melambangkan kebahagiaan dan kegembiraan. Ada dua macam jenis tarian Barongsai. Yaitu
singa utara yang penampilannya lebih natural sebab tanpa tanduk. Sedangkan
singa selatan memiliki tanduk dan sisik jadi mirip dengan binatang Qilin (kuda
naga yang bertanduk).
Seperti
laiknya binatang lain, maka Barongsai juga diberi makan berupa Angpau yang
ditempeli sayuran selada air. Lontong Cap Go Meh sendiri kemungkinan disajikan
untuk mengganti sajian resmi di negeri asalnya yaitu yuan xiao alias ronde.
Lontong ini melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, yang juga
melambangkan kebulatan dan kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan
dari bahannya.
Di
Indonesia, tradisi Cap Go Meh tak lepas dari petualangan Laksamana Cheng Ho,
yang pernah datang 1400- an Masehi di Nusantara. Laksamana Cheng Ho yang membawa
pasukan perdamaian menurut sejarah singgah diberbagai kota di Indonesia
sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah sampai yang fiksi sejarah seperti karya Remy Sylado; Sam Po
Kong, menunjukan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan
dengan mulus tanpa adanya paksaan, maupun tekanan politik.
Perayaan
Imlek mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang
benar-benar baru, aneh dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat.
Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya,
pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain. Berikut beberapa makanan yang biasa
muncul saat perayaan Cap Go Meh.
Opor
ayam
Sebenarnya
opor di Jawa terdiri dari 2 macam, opor putih dan opor kuning. Opor putih di sini lebih banyak diminati oleh
kalangan emak-emak, yaitu para wanita Tionghoa yang sudah membaur dengan
kebiasaan setempat. Mereka biasanya mengenakan baju kurung (bukan kebaya) dan
sarung selayaknya penduduk setempat.
Sedangkan
opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan
alasan luwih ayu (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatan badan karena
kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui fungsi kunyit sangat baik
untuk kesehatan tubuh. Makna warna kuning diasosiakan dengan emas, yang
berkonotasi kemakmuran.
Sambal
Goreng Ati Ampela
Warna
merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan warna wajib
perayaan imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang Tionghoa warna keberuntungan,
kebaikan dll. Masakan ini jelas dari hasil asimilasi budaya. Karena di China
tidak ada masakan seperti ini dan mayoritas masyarakatnya tidak menyukai pedas.
Apalagi
masakan dengan banyak rempah dan aroma yang tajam seperti sambel goreng. Kecuali
beberapa wilayah di China yang memang suka pedas, seperti Sichuan, tapi itu pun
tidak menggunakan santan dan rempah seperti masakan khas ini.
Telor
Pindang
Telor
di manapun melambangkan rejeki, kemakmuran, harapan baik dan segala sesuatu
yang baik. Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia. Lebih spesifik lagi
di Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor yang nikmat.
Pembuatan telor pindang dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia
berbeda-beda, masing-masing dengan versi dan bumbunya sendiri.
Lodeh
Terong atau Labu
Ini
pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau terong sebagai
sayurnya, melambangkan harapan baik juga. Warna putih yang menyiratkan lembaran
baru di tahun baru.Perbedaan terong atau labu hanya perbedaan daerah saja. Di
Semarang, lebih suka labu atau Jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.
Ayam
Ibing dan Kelapa Sangrai
Ini
sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang. Ada juga yang menyebutnya sate
Abing. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang menggambarkan warna merah yang
sangat merah. Warna merah dalam bahasa Jawa disebut Abang, dan sangat merah
disebut Abing. Pembuatannya lebih rumit dari opor biasa. Karena harus menggunakan
kelapa parut yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling
sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan.
Cairan
kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak opor merah
ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor (minus kunyit,
supaya warna merah tua terjaga). Rasanya bagaimana?Hanya orang Semarang yang
mungkin bisa menggambarkannya.
Sesuai
namanya yang sangat menyimbolkan makna yang sama dengan sambel goreng ati.
Warna khas perayaan imlek dan masakan ini merupakan kemewahan tersendiri di
saat merayakan tahun baru Imlek. Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa
membuat ayam Abing dengan benar dan menghasilkan masakan yang sedap.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!