Secara
etimologis, kata pers (Belanda), atau Press (Inggris), atau Presse (Perancis),
berasal dari Bahasa Latin, Perssare dari kata Premere,yang berarti “Tekan” atau
“Cetak”, definisi terminologisnya adalah “media massa cetak” atau “media
cetak”.
Media
massa, menurut Gamle & Gamle adalah bagian komunikasi antara manusia (human
communication). Artinya, media merupakan saluran atau sarana untuk mempeluas
dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antar manusia. Kondisi ini
sudah terlihat sejak pertama kali dunia persuratkabaran menggeliat di bumi
nusantara. Tak heran, pers Indonesia bisa dikategorikan dalam berbagai masa.
Pers
Zaman Hindia Belanda
Tidak
bisa dipungkiri, kehadiran pers di Indonesia dipelopori oleh bangsa Eropa,
khususnya Belanda, saat menjajah Indonesia.
Hal ini karena sebelum kehadiran mereka, tidak ada sumber resmi yang
menyebut ada media massa yang dibuat oleh orang pribumi. Awal mula dimulainya
dunia persuratkabaran di tanah air, menurut Dr. De Haan dalam bukunya “Oud
Batavia (G. Kolf Batavia 19230) mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17
di Batavia sudah terbit sejumlah media berkala dan surat kabar.
Tahun
1676 misalnya, di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht
Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari
Polandia, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris dan Denmark ini dicetak
di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula
Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744.
Menyusul kemudian Vendu Nieuws pada 23 Mei 1780. Sedangkan Bataviasche
Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia
tahun 1810.
Bisa
dibilang media massa kala itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau
pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negara kita. Kondisi itu amat
diperlukan oleh pemerintah pusat Nederland maupun di Nederlandsch serta
orang-orang Belanda pada umumnya. Dunia pers tanah air semakin menghangat
ketika terbit “Medan Prijaji” pada tahun 1903. Ini adalah surat kabar pertama
yang dikelola oleh orang pribumi.
Munculnya
surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun
dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche
Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya R.M. Tirtoadisuryo yang dijuluki
Nestor Jurnalistik.
Tirto
mengatakan, surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi
masyarakat. Tirto bisa dikata adalah orang pertama dari bangsa kita yang
memelopori kebebasan. Hadirnya
“Medan Prijaji” telah sambut hangat bangsa Indonesia, terutama kaum pergerakan
yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Buktinya
tak berapa lama kemudian Tjokroaminoto dari Syarikat Islam menerbitkan harian
“Oetoesan Melayu”. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang
namanya cukup revolusiaoner yakni,
Halilintar dan Nyala. Begitu pula
Suryadi Suryanigrat alias Ki Hajar Dewantara yang menerbitkan koran dengan nama
tak kalah galaknya, Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak.
Sementara
itu, di Padangsidempuan, Paarada Harahao membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada
tahun 1918 dan 1922. Begitu juga Bung Karno tak ketinggalan memimpin harian
Suara Rakiyat dan Harian Sinar Hindia. Surat kabar terakhir ini kemudian
berganti nama mnjadi Sinar Indonesia.
Pers
Masa Pendudukan Jepang
Era
ini berlangsung dari 1942-945. Orang-orang media massa Indonesa banyak yang
berjuang dengan tidak menggunakan ketajaman penanya, melainkan dengan jalan
lain seperti organisasi keagamaan, pendidikan dan politik.Hal ini menunjukan
bahwa di bawah pendudukan Jepang pers Indonesia ditekan.
Surat
kabar yang beredar pada zaman penjajahan Belanda di larang beredar. Memang, di
era pendudukan Jepang, pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis. Saat
itu mulai pula diberlakukan izin penerbitan pers. Surat kabar Indonesia yang
semula berusaha dan berdiri sendiri dipaksa bergabung menjadi satu. Segala
bidang usaha disesuaikan dengan rencana Jepang untuk memenangkan “Dai Toa
Senso” atau Perang Asia Timur Raya.
Bisa
dibilang, di zaman pendudukan Jepang pers menjadi alat kepentingan Jepang.
Kabar-kabar dan karangan-karangan yang dimuat hanyalah pro-Jepang semata.
Selain itu Jepang juga mendirikan Jawa Shinbun Kai dan kantor cabang berita
Domei dengan menggabungkan dua kantor berita yang ada di Indoneia yakni Aneta
dan Antara.
Selama
masa pendudukan Jepang, muncul beberapa media harian. Asia Raya di Jakarta, Sinar
Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya dan Tjahaya di Bandung. Dengan
munculnya ide beberapa surat kabar Sunda bersatu, hal serupa terjadi di Padang
dan Sumatera.
Bandung
menerbitkan surat kabar baru Tjahaja . Di Sumatera surat kabar dimatikan dan dibuat
Padang Nippo (Melayu) dan di Sumatera ada Sumatera Shimbun (Jepang-Kanji). Dalam
kegiatan penting soal pengelolaan negara sampai persiapan Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, sejumlah wartawan turut aktif terlibat di dalamnya. Di samping
Soekarno dan Hatta, tercatat antara lain Sukardjo Wirjopranoto, Iwa
Kusumasumantri, Ki Hajar Dewantoro, Otto Iskandar Dinata, Adam Malik, BM Diah,
Sutan Sjahrir dan lain-lain.
Pers
Masa Orde Lama
Sepuluh
hari setelah dekrit presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tekanan pers
terus berlangsung. Pembredelan terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik,
Pedoman, Berita Indonesia, dan Sin Po dilakukan penguasa perang Jakarta. Hal
ini tercermin dari pidato Menteri Muda Penerangan Maladi, saat menyambut HUT
Kemerdekaan RI ke-14.
“Hak
kebebasan Individu disesuaikan dengan hak kolektif seluruh bangsa dalam
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hak berfikir, menyatakan pendapat, dan
memperoleh penghasilan sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 harus ada batasnya;
keamanan negara, kepentingan bangsa, moral dan kepribadian Indonesia, serta
tanggung jawab pada Tuhan Yang Maha Esa,”.
Awal
tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali dengan peringatan Menteri Muda
Maladi. “Langkah-langkah
tegas akan dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor
berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan
pers nasional”.
Tahun
1960 penguasa perang mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers semakin memburuk. Kementerian Penerangan dan
badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers. Perubahan yang ada tidak lebih
sekedar perubahan sumber wewnang, karena sensor tetap ketat dan dilakukan
secara sepihak.
Pers
Era Orde Baru
Pada
awal kekuasaan Orde Baru, pemerintah menjanjikan keterbukaan dan kebebasan
dalam berpendapat. Masyarakat bersuka cita menyambut pemerintahan Soeharto,
yang diharapkan bisa mengubah keterpurukan pemerintahan Orde Lama. Hubungan pers dan pemerintah juga diprediksi
bakal membaik. Undang-undang Pokok Pers Nomor II tahun 1966 menjamin tidak ada
sensor dan pembredelan. Setiap warga negara juga mempunya hak untuk menerbitkan
pers yang bersifat kolektif dan tidak diperlukan surat ijin terbit.
Namun
masa “bulan madu” pers dan pemerintah hanya berlangsung delapa tahun. Karena
sejak terjadinya ‘Peristiwa Malari” (peristiwa Lima Belas Januari 1974),
kebebasan pers mengalami set-back (kembali seperti Orde Lama). Pers kembali mendapat
berbagai tekanan dari pemerintah Orde
Baru.
Peristiwa
Malari 1974 menyebabkan beberapa surat kabar dilarang terbit. Tujuh surat kabar
di Jakarta (termasuk Kompas) diberangus untuk beberapa waktu. Mereka diberi izin kembali setelah pimpinan
redaksinya menandatangani surat permintaan maaf.
Pengusaha
lebih menggiatkan larangan-larangan melalui telepon supaya pers tidak
menyiarkan suatu berita, atau para wartawan lebih diingatkan untuk menaati kode
etik jurnalistik sebagai self-censership. Demikian juga pengawasan terhadap pers dan wartawan
diperketat menjelang sidang MPR 1978.
Pendek
kata, pers pasca peristiwa Malari merupakan pers yang cenderung mewakili
kepentingan penguasa, pemerintah atau negara. Tidak ada kebebasan dalam
menerbitkan berita-berita miring seputar pemerintah. Bila ada media massa yang
melakukannya, pasti akan mendapat ancaman. Segala penerbitan di media massa
berada dalam pengawasan pemerintah melalui departemen penerangan.
Pers
Pancasila
Pers
seperti dijadikan alat pemerintah untuk melanggengkan kekuasaannya. Pers tidak
menjalankan fungsi sesungguhnya yaitu sebagai pendukung dan pembela masyarakat.
Memang saat itu ada slogan, pers Indonesia disebut sebagai pers Pancasila.
Cirinya adalah bebas tapi bertanggung jawab. Namun kenyataannya, tak ada
kebebasan.Malah saat Orde Baru, marak dilakukan pembredelan.
Tanggal
21 Juni 1994, beberapa media massa seperti Tempo, deTIK, dan editor dicabut
surat izin penerbitannya. Mereka dibredel setelah menurunkan laporan
investigasi tentang berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah.
Pembredelan itu diumumkan langsung oleh Menteri Penerangan Harmoko.
Setelah
pembredelan, awak Tempo mendirikan Tempo Interaktif dan ISAI (Institut Studi
Arus Informasi) pada 1995. Tempo terbit lagi pada 6 oktober 1998 setelah
jatuhnya Orde Baru. Di masa reformasi, keran kebebasan pers benar-benar dibuka
lebar. Ratusan media massa muncul, walau akhirnya banyak yang mati karena tak
kuat bersaing.
Untuk
menaungi pers Indonesia, sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, Dewan Pers diberi
tugas untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers
nasional. Sebetulnya di masa Orde Baru, Dewan Pers sudah ada. Namun Dewan Pers
masa Orba hanya formalitas belaka. Terbukti, meski Dewan Pers menolak
pembredelan, tapi pembredelan tetap berlangsung.
Tumbangnya
rezim Orde Baru, jelas membawa berkah tersendiri bagi pers Indonesia. Di era ini, lahir Undang-undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999
tentang pers. Dalam undang-undang ini, dengan tegas dijamin adanya kemerdekaan
pers sebagai hak asasi warga negara. Sebagai konsekwensinya, tidak lagi
disinggung perlu tidaknya surat ijin terbit. Terhadap pers nasional juga tidak
dikenakan penyensoran,pembredelan, dan pelarangan penyiaran.
Dalam
mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak
tolak. Tujuannya agar wartawan dapat melindungi sumber informasi, dengan cara
menolak menyebutkan identitas sumber informasi. Hal ini digunakan jika wartawan
dimintai keterangan pejabat penyidik atau diminta menjadi saksi di pengadilan.
Pers Indonesia, lewat berbagai rintangan dan hambatan, kini telah menjelma
menjadi kekuatan kontrol yang layak diperhitungkan. Ariful Hakim/bbs