Situ Cileunca di sore hari |
Nama laki-laki itu Asep Jabog. Umurnya
56 tahun. Saat menyebut namanya, beliau mengusap janggut peraknya yang
menjuntai lebat. Saya tak tahu apa arti jabog dalam Bahasa Sunda. Tapi dengan
janggut dan mata kecil yang memancar tajam, sosok Asep Jabog terlihat sangat
misterius, saat saya temui di tepian Situ (danau) Cileunca, Pangalengan,
Bandung, awal Oktober 2012 lalu. Kala itu, hari sudah mulai menjelang senja.
Saya sendiri bertemu tak sengaja. Pak
Asep terdengar sedang berbincang-bincang dengan seseorang, waktu saya
mendatangi kebun strawberry-nya. Naluri jurnalis saya langsung terpantik, untuk
bertanya lebih lanjut soal kebun yang banyak dikunjungi wisatawan Situ
Cileunca. Saya dekati beliau, dan
mengalirlah cerita-cerita lain yang menarik, seputar kawasan Situ Cileunca.
Tak ada yang mengira, jika Pak Asep
adalah juru kunci tempat itu. Pakaian lusuh dan kaki dekil, seolah tak
menggambarkan wibawa seorang juru kunci tempat keramat, yang biasanya memakai
busana rapi dan bersih. Dandanan Pak Asep lebih mewakili profesinya sebagai
petani, bahkan parasnya lebih mirip dukun, yang biasa muncul di
sinetron-sinetron misteri kita. Tapi mungkin ada baiknya kita dengar pengakuan
Pak Asep.
“Kalau pagi sampai sore saya memang
menunggui kebun. Tapi kalau malam, biasanya ada yang mau datang ke makam
Mahesti. Jadi saya antar mereka ke makam. Jangan disebut juru kuncilah…sebut
saja satpam,hehe,”kata Pak Asep merendah.
Cerita dari “dimensi lain” inilah yang
kemudian menyita saya, Mia (anak Pos Kota) dan seorang lagi dari Gatra.com,
untuk mengerubungi Pak Asep. Kata Pak Asep, tak jauh dari kebun miliknya,
terbaring tenang jasad Mahesti, mandor yang juga orang sakti suruhan Belanda,
saat Situ Cileunca mulai dibangun. Ketika Mahesti meninggal, jasadnya kemudian
dimakamkan di sisi makam istrinya.
Laiknya makam orang sakti, banyak pihak
lantas mendatanginya, dengan berbagai macam keperluan. Mereka berasal dari
rakyat biasa, jenderal, sampai pernah Bung Karno yang sudah wafat pun muncul di
makam Mahesti. Pak Asep membahasakannya sebagai mantan presiden. Saya bertanya
karena penasaran.”Maksudnya Gus Dur gitu pak?”. Semua sudah mafhum, Gus Dur
suka mendatangi makam-makam keramat.
Berdayung di tengah Situ |
Bagi orang yang berfikir rasional, cerita Pak Asep soal Bung Karno tentu saja seperti mengada-ngada. Tapi namanya wilayah supranatural, saya yakin dan percaya saja. Sama seperti yakin dan percayanya, ketika melihat jarum jam dan paku bermunculan dari tubuh, atau kawat yang keluar dari perut, seperti banyak diberitakan media massa.
Tutur Pak Asep, Bung Karno bisa malih
rupa. Ketika naik angkot, wajahnya terlihat seperti orang biasa. Tapi begitu
sudah di makam Mahesti, wujudnya berubah menjadi Bung Karno. Dari Bung Karno
inilah, terlontar informasi rahasia, jika di sekitar Situ Cileunca terkubur
emas dalam peti dengan berat berton-ton. Begitu juga lembaran uang zaman
Belanda, yang tak ternilai harganya.
“Tapi sampai sekarang belum ada yang
bisa mengambil,”ujar Pak Asep.
Karena penasaran, saya dan Mia minta
diantar ke makam. Pak Asep dengan senang hati mengantar. Anak Gatra memilih
mundur, karena lebih tertarik melihat-lihat kebun strawberry. Kami melewati
kebun tomat yang luas, di tengah udara senja yang mulai dingin. Lewat jalan
kecil berliku, kami sampai di makam sederhana. Suasananya sepi dan ngelangut.
Jauh dari pemukiman penduduk, dan tak ada suara apapun. Pesona mistis segera
menyergap. Apalagi Pak Asep menyuruh kami membaca syahadat, sebelum masuk ke bangunan
makam.
“Ashaduallahilahaillalloh…waashaduanamuhammadarosululloh,”saya
berujar pelan.
Apa yang terlihat? Dua buah makam dengan
nisan batu lancip dan plester sederhana. Pak Asep segera menyapu. Mia duduk
bersimpuh sambil mulutnya komat-kamit. Setelah melihat-lihat, kami keluar dan
diantar ke tepi Situ. Sepanjang jalan, Pak Asep kembali bercerita. Keberadaan
harta karun itu tak banyak yang mengetahui. Peziarah yang datang mayoritas hanya
ingin cita-citanya terkabul; entah jabatan tertentu, proyek-proyek pemerintah atau
maju di arena pilkada. Namun puluhan
tahun menjadi juru kunci, Pak Asep tak pernah memasang tarif saat mengantar
para penziarah berkunjung ke makam Mahesti.
“Syaratnya cuma satu, kalau sudah
terkabul keinginannya, hendaknya jangan lupa pada sesama. Sedekah yang rajin.
Itu saja. Nggak usah datang lagi ke sini. Saya dikasih kopi sama gula saja
sudah cukup,”ujar Pak Asep.
Makam Mahesti |
Uniknya, mereka yang punya hajat tak
cukup hanya sehari menyambangi Makam Mahesti. Kadang bisa memakan waktu 6
bulan, sekedar untuk ngobrol di tepi Situ Cileunca. Tak ada kegiatan lain,
hanya mengobrol, beribadah, dan duduk tenang di tepi Situ. Konon dengan cara
demikian, pikiran yang gundah pun menjadi adem. Jangan pula kaget, jika
tiba-tiba ada “orang” asing yang menemani kita ngobrol.
Soal harta karun, Pak Asep tak tahu akan
sampai kapan itu terpendam. Sejauh ini, dirinya juga tak pernah memberitahu
pada orang lain. “Suatu saat pasti ada yang bisa mengambil,”ujarnya, pelan.
Ketika matahari mulai masuk ke peraduan,
saya dan teman-teman bergegas naik perahu, meninggalkan Pak Asep yang berdiri
di sisi Situ Cileunca. Di atas perahu, banyak yang penasaran terhadap yang saya
lakukan. Saya cerita apa adanya, soal makam Mahesti. Malamnya, sebelum berangkat
tidur, pihak Trans TV yang mengundang para wartawan termasuk saya mengundi doorprize. Percaya nggak percaya, yang dapat saya, Mia dan anak
Gatra.
Saya dapat blackberry, Mia ponsel Samsung dan anak Gatra menggondol laptop Compaq
14 inci. Kenyataan ini kami obrolin menjelang sarapan pagi dan banyak teman yang
buru-buru tertarik ingin ke makam Mahesti.Tapi, acara pagi itu sangat padat,
diantaranya harus menjajal rafting
dan paintball. Hingga sorenya, kami
harus segera beranjak ke Jakarta. Meninggalkan Pak Asep, makam Mahesti, dan
kecantikan Situ Cileunca, yang sempat dijuluki Swiss-nya Indonesia, karena
panoramanya yang mempesona…
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!