Daftar Isi

Sunday, October 28, 2012

Misteri Harta Karun di Tepi Situ Cileunca

Situ Cileunca di sore hari
Nama laki-laki itu Asep Jabog. Umurnya 56 tahun. Saat menyebut namanya, beliau mengusap janggut peraknya yang menjuntai lebat. Saya tak tahu apa arti jabog dalam Bahasa Sunda. Tapi dengan janggut dan mata kecil yang memancar tajam, sosok Asep Jabog terlihat sangat misterius, saat saya temui di tepian Situ (danau) Cileunca, Pangalengan, Bandung, awal Oktober 2012 lalu. Kala itu, hari sudah mulai menjelang senja.

Saya sendiri bertemu tak sengaja. Pak Asep terdengar sedang berbincang-bincang dengan seseorang, waktu saya mendatangi kebun strawberry-nya. Naluri jurnalis saya langsung terpantik, untuk bertanya lebih lanjut soal kebun yang banyak dikunjungi wisatawan Situ Cileunca.  Saya dekati beliau, dan mengalirlah cerita-cerita lain yang menarik, seputar kawasan Situ Cileunca.

Tak ada yang mengira, jika Pak Asep adalah juru kunci tempat itu. Pakaian lusuh dan kaki dekil, seolah tak menggambarkan wibawa seorang juru kunci tempat keramat, yang biasanya memakai busana rapi dan bersih. Dandanan Pak Asep lebih mewakili profesinya sebagai petani, bahkan parasnya lebih mirip dukun, yang biasa muncul di sinetron-sinetron misteri kita. Tapi mungkin ada baiknya kita dengar pengakuan Pak Asep.

“Kalau pagi sampai sore saya memang menunggui kebun. Tapi kalau malam, biasanya ada yang mau datang ke makam Mahesti. Jadi saya antar mereka ke makam. Jangan disebut juru kuncilah…sebut saja satpam,hehe,”kata Pak Asep merendah.

Cerita dari “dimensi lain” inilah yang kemudian menyita saya, Mia (anak Pos Kota) dan seorang lagi dari Gatra.com, untuk mengerubungi Pak Asep. Kata Pak Asep, tak jauh dari kebun miliknya, terbaring tenang jasad Mahesti, mandor yang juga orang sakti suruhan Belanda, saat Situ Cileunca mulai dibangun. Ketika Mahesti meninggal, jasadnya kemudian dimakamkan di sisi makam istrinya.

Laiknya makam orang sakti, banyak pihak lantas mendatanginya, dengan berbagai macam keperluan. Mereka berasal dari rakyat biasa, jenderal, sampai pernah Bung Karno yang sudah wafat pun muncul di makam Mahesti. Pak Asep membahasakannya sebagai mantan presiden. Saya bertanya karena penasaran.”Maksudnya Gus Dur gitu pak?”. Semua sudah mafhum, Gus Dur suka mendatangi makam-makam keramat.
Berdayung di tengah Situ

Bagi orang yang berfikir rasional, cerita Pak Asep soal Bung Karno tentu saja seperti mengada-ngada. Tapi namanya wilayah supranatural, saya yakin dan percaya saja. Sama seperti yakin dan percayanya, ketika melihat jarum jam dan paku bermunculan dari tubuh, atau kawat yang keluar dari perut, seperti banyak diberitakan media massa.

Tutur Pak Asep, Bung Karno bisa malih rupa. Ketika naik angkot, wajahnya terlihat seperti orang biasa. Tapi begitu sudah di makam Mahesti, wujudnya berubah menjadi Bung Karno. Dari Bung Karno inilah, terlontar informasi rahasia, jika di sekitar Situ Cileunca terkubur emas dalam peti dengan berat berton-ton. Begitu juga lembaran uang zaman Belanda, yang tak ternilai harganya.

“Tapi sampai sekarang belum ada yang bisa mengambil,”ujar Pak Asep.

Karena penasaran, saya dan Mia minta diantar ke makam. Pak Asep dengan senang hati mengantar. Anak Gatra memilih mundur, karena lebih tertarik melihat-lihat kebun strawberry. Kami melewati kebun tomat yang luas, di tengah udara senja yang mulai dingin. Lewat jalan kecil berliku, kami sampai di makam sederhana. Suasananya sepi dan ngelangut. Jauh dari pemukiman penduduk, dan tak ada suara apapun. Pesona mistis segera menyergap. Apalagi Pak Asep menyuruh kami membaca syahadat, sebelum masuk ke bangunan makam.

“Ashaduallahilahaillalloh…waashaduanamuhammadarosululloh,”saya berujar pelan.

Apa yang terlihat? Dua buah makam dengan nisan batu lancip dan plester sederhana. Pak Asep segera menyapu. Mia duduk bersimpuh sambil mulutnya komat-kamit. Setelah melihat-lihat, kami keluar dan diantar ke tepi Situ. Sepanjang jalan, Pak Asep kembali bercerita. Keberadaan harta karun itu tak banyak yang mengetahui. Peziarah yang datang mayoritas hanya ingin cita-citanya terkabul; entah jabatan tertentu, proyek-proyek pemerintah atau maju di arena pilkada.  Namun puluhan tahun menjadi juru kunci, Pak Asep tak pernah memasang tarif saat mengantar para penziarah berkunjung ke makam Mahesti.

“Syaratnya cuma satu, kalau sudah terkabul keinginannya, hendaknya jangan lupa pada sesama. Sedekah yang rajin. Itu saja. Nggak usah datang lagi ke sini. Saya dikasih kopi sama gula saja sudah cukup,”ujar Pak Asep.

Makam Mahesti
Uniknya, mereka yang punya hajat tak cukup hanya sehari menyambangi Makam Mahesti. Kadang bisa memakan waktu 6 bulan, sekedar untuk ngobrol di tepi Situ Cileunca. Tak ada kegiatan lain, hanya mengobrol, beribadah, dan duduk tenang di tepi Situ. Konon dengan cara demikian, pikiran yang gundah pun menjadi adem. Jangan pula kaget, jika tiba-tiba ada “orang” asing yang menemani kita ngobrol.

Soal harta karun, Pak Asep tak tahu akan sampai kapan itu terpendam. Sejauh ini, dirinya juga tak pernah memberitahu pada orang lain. “Suatu saat pasti ada yang bisa mengambil,”ujarnya, pelan.

Ketika matahari mulai masuk ke peraduan, saya dan teman-teman bergegas naik perahu, meninggalkan Pak Asep yang berdiri di sisi Situ Cileunca. Di atas perahu, banyak yang penasaran terhadap yang saya lakukan. Saya cerita apa adanya, soal makam Mahesti. Malamnya, sebelum berangkat tidur, pihak Trans TV yang mengundang para wartawan  termasuk saya mengundi doorprize. Percaya nggak percaya, yang dapat saya, Mia dan anak Gatra.

Saya dapat blackberry, Mia ponsel Samsung dan anak Gatra menggondol laptop Compaq 14 inci. Kenyataan ini kami obrolin menjelang sarapan pagi dan banyak teman yang buru-buru tertarik ingin ke makam Mahesti.Tapi, acara pagi itu sangat padat, diantaranya harus menjajal rafting dan paintball. Hingga sorenya, kami harus segera beranjak ke Jakarta. Meninggalkan Pak Asep, makam Mahesti, dan kecantikan Situ Cileunca, yang sempat dijuluki Swiss-nya Indonesia, karena panoramanya yang mempesona…

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!