Siapa yang tak kenal Idris
Sardi? Selama ini, rekam jejak Idris memang banyak ditorehkan lewat beragam
prestasi yang diraihnya. Langganan piala citra, senioritasnya sebagai musisi
dan pengabdiannya yang total pada alat musik biola, membuat Idris menjadi
panutan musisi-musisi muda sesudahnya. Idris adalah terbaik di bidangnya.
Magnet Idris inilah yang
menarik Fadli Zon untuk menulisnya dalam sebuah buku. Usai berkutat selama
hampir satu tahun, Selasa (23/10) malam di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, buku
bertajuk “Idris Sardi Perjalanan Maestro
Biola Indonesia” diluncurkan. Inilah buku yang mengulas tuntas sepak terjang
Idris di dunia hiburan Indonesia, dengan segala suka dan dukanya.
Sejak Usia 5 Tahun
Idris lahir pada Selasa, 7 Juni 1938, di rumah sakit
Budi Kemuliaan,Batavia (Jakarta). Ia
mewarisi darah seni dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Mas Sardi, adalah pemusik
yang bisa memainkan lagu klasik maupun jazz, serta menguasai berbagai alat musik,
antara lain saksofon, clarinet dan piano. Mas Sardi tercatat sebagai
illustrator musik pertama di Hindia Belanda tahun 1930-an. Sedangkan ibunya, Hadidjah,
adalah pemain film terkenal pada era 1936.
Persentuhan Idris Sardi dengan
biola berawal pada usia 5 tahun. Kala itu, Idris harus bangun pukul 05.00 untuk
mendengar dan menyaksikan ayahnya memberi contoh tangga nada dan nada panjang.
Pada usia 7 tahun, untuk mengenal nada-nada, Idris mendapat tambahan teori musik
dan piano. Di usia 9 tahun, barulah Idris secara resmi memainkan biola.
Mas Sardi memang membimbing
Idris berlatih dengan disiplin ilmu musik klasik dan disiplin waktu yang ketat. Bisa dibilang, masa kanak-kanak Idris Sardi jauh dari kata bahagia. Masa kecil
seperti di lumpur becek, begitulah Idris sering menjuluki sendiri fase masa
kecilnya yang berat. Aneh memang, keras dan tegasnya sang ayah hanya ditunjukan
padanya seorang, tidak pada adik-adiknya.
Pada usia 10 tahun, Idris
diterima sebagai mahasiswa luar biasa di Sekolah Musik Yogyakarta. Nikolai
Varfolomeyev (pimpinan sekolah musik) sudah jatuh cinta padanya. Perjalanan
Idris Sardi menimba ilmu di Yogyakarta terbentang dari akhir tahun 1949-1953.
Selama di Yogyakarta, Idris tinggal di kampung Musikanan, di sebelah kanan Siti
Hinggil, bagian dari halaman Keraton Yogyakarta.
Setiap hari Minggu pagi,
Idris membuka siaran RRI Yogyakarta. Ia juga bermain di Orkes Simfoni Sekolah
Musik Yogyakarta. Humoresque salah satu repertoar yang pernah ia mainkan di
sana. Hingga pada 23 Oktober 1953, ayahnya meninggal dunia.Sebagai anak sulung,
beban ekonomi keluarga berpindah ke pundaknya.
Sepeniggal sang ayah, jalan
hidup Idris segera berubah. Yogyakarta dan mimpi sekolah di Konservatorium
Eropa ditinggalkannya. Idris membuat lagu pertamanya Gundah Gulana yang
mengalir begitu saja untuk mengenang kematian gurunya itu.
Kiprah Idris terus
berlanjut. Pada usia 15 tahun, Idris menjadi concertmasters di Orkes Studio
Djakarta (OSD) pimpinan Saipul Bahri.”Ketika itu Idris bukan hanya
concertmaster termuda di Indonesia, melainkan juga di dunia,”kata Suka Hardjana pengamat musik. Dua kali dalam
seminggu, Idris ke Yayasan Pendidikan Musik (YPM) mendapatkan bimbingan dari Hendriek Tordasi.
Membentuk Grup
Usai malang melintang
sebagai pemain biola solo, pada 1962 Idris bersama Bing Slamet dan kawan-kawan
membentuk grup band Eka Sapta. Sebelumnya, Idris beralih dari memainkan musik
klasik ke musik khas Nusantara. Idris
juga beralih dari dunia musik biola serius Jascha Heifetz ke komersialisasi
Helmut Zacharias.
Dengan grup barunya, tak
hanya muncul di acara-acara swasta, Eka Sapta juga pernah berkerja sama dengan
Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan Korps Komando Angkatan Laut
(KKO). Program yang bertujuan untuk mendekatkan ABRI dengan rakyat itu dibungkus
dalam format Malam Eka Sapta Non Stop Revenue di berbagai kota di Sumatera dan
Jawa. Tak lupa Idris juga dikirim Presiden
Soekarno ke Irian Barat, menjalankan Misi Kesenian Trikora III selama satu
bulan.
Idris sempat menderita
penyakit maag kronis. Ia lantas tinggal bersama keluarga pejuang, Mr. Achmad
Soebardjo. Idris mendapatkan sentuhan kasih sayang. Idris kemudian menikah
dengan Zerlita. Mereka mempunyai tiga anak; Santi Sardi, Lukman Sardi dan Ajeng
Sardi.
Di dunia film, kiprah
Idris juga lumayan kinclong. Idris Sardi menggarap musik film bermula pada
1953. Ia ikut sebagai pemain musik untuk film produksi Perfini (Perusahaan Film
Nasional Indonesia) karya Usmar Ismail dengan illustrator musik Tjok Sisnu dan
Saiful Bahri. Film lain yang digarap diantaranyya Tamu Agung (1955) dan Tiga
Dara (1956).
Idris juga menjadi pemain
musik berbagai film produksi Persari
(Persatuan Artis Indonesia) pimpinan Djamaluddin Malik, dengan illustrator
Soepilin. Atas prestasi menggarap ilustrasi musik film –dari Pesta Musik La
Bana karya Misbach Yusa Biran (1960) hingga Kuberikan Segalanya (1992)- Idris
banyak meraih penghargaan.
Selepas dari New York
World’s Fair (1964), Idris menjadi konseptor, pemikir, arranger, sekaligus
kondukter pada Orkes Keroncong tetap Segar (Evergreen) asuhan Brigjen
Pringadie. Orkes ini melakukan pementasan di TVRI, pementasan umum, dan rekaman
piringan hitam (long play) untuk menumbuhkan apresiasi musik keroncong.
Perjalanan musik Idris kemudian berlanjut pada musik jazz, dengan bergabung di
group jazz Jazzanova.
Rumah Tangga Runtuh
Popularitasnya yang
tinggi, membuat Idris ditawari main film bisu berjudul Tiada Waktu Bicara. Pada 1976, Dirjen Radio
Televisi dan Film, Drs. Soemadi, juga memberi kepercayaan Idris Sardi sebagai
guest conductor di Orkes Simfoni Jakarta selama dua tahun. Sayang, dengan
perjalanan karirnya yang mulus, rumah tangga Idris diliputi kepedihan.
Tahun 1981 ia bercerai
dengan Zerlita. Idris kemudian menikah
dengan Marini tahun 1983. Mereka mendirikan Griya Artissa, sebuah wadah untuk
membantu para musisi muda yang sudah sering tampil di hotel-hotel atau
pagelaran lain untuk meningkatkan pengetahuan musik dan penampilan mereka.
Sebagai pemain biola
senior, Idris Sardi telah berkali-kali memainkan biola di hadapan presiden dan
wakil presiden RI. Idris pernah tampil di depan Presiden Soekarno, Wakil Presiden
Moehammad Hatta, Presiden Soeharto, Presiden Megawati, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, Wapres Jusuf Kalla, dan Wapres Boediono. Berbagai acara kenegaraan
penting juga pernah diisinya. Ia juga memainkan biola di hadapan
pemimpin-pemimpin negara asing.
Daftar konser yang pernah
dilakukannya tentu lumayan banyak. Idris,misalnya, pernah membuat konser untuk
mengenang pelukis Basoeki Abdullah (1994);konser perjalanan karir Idris Sardi
(1994) yang terkenal dengan konser pamit; konser mengenang Ismail Marzuki,
pencipta lagu-lagu perjuangan yang juga gurunya (1996); hingga konser
persembahan (2003).
Konser persembahan jadi
titik balik perjalanan spiritual Sang Maestro. Biolis yang pada tahun itu
berusia genap 65 tahun memutuskan untuk menggantung jas dan dasi. Ia memilih
bersarung ke manapun pergi. Hingga kini Idris Sardi terus melakukan pagelaran,
konser dan pertunjukan diberbagai tempat, dalam dan luar negeri. Ia juga selalu
bersarung hampir 10 tahun ini. Sebuah pernyataan kecintaan pada identitas
Indonesia.
Kiprah Sebagai Tentara
Banyak orang tak tahu
kiprah Idris Sardi di dunia militer. Ia tak lahir dari keluarga militer, bukan
pula berkarir sebagai tentara. Tapi nasib membawanya memimpin kesatuan militer.
Biola telah mengantar Idris Sardi menjadi seorang perwira TNI dengan pangkat
Letkol CAJ. Tituler.
Tanpa pamrih, ia
menggembleng ratusan prajurit di berbagai kesatuan dan kodam. Ia bekerjasama
dengan sejumlah jenderal antara lain Wismoyo Arismunandar, R. Hartono,
Hendropriyono, Prabowo Subianto, Luhut Panjaitan, Sutiyoso, Sjafrie
Sjamsoeddin, Tanribali Lamo, dan tokoh-tokoh pada era 1990-an.
Memang kiprah Letkol CAJ.
Tit. Idris Sardi didunia militer terhenti pada 1988, karena ia menderita kanker
pankreas. Saat itu Idris merasa akan segera dipanggil Tuhan. Akhinya Idris
mengambil langkah masuk ke pesantren di Tangerang. Ketika kembali pulang ke
rumah,Idris mengalami cobaan lain.
Pernikahannya selama 15
tahun dengan Marini tidak terselamatkan. Saat sedang gundah, Idris ditampung di
rumah keluarga Letjen ZA Maulani, kepala BAKIN.
Idris sempat tak punya niat menikah lagi. Tapi jodoh rupanya di tangan
Tuhan. Idris menikah lagi dengan Ratih Putri dan tetap bersama hingga kini.
Idris awalnya hanya
berteman. Ratih adalah seorang perempuan mandiri, yang bekerja dan menghidupi
dirinya di Jakarta. Usai berkenalan, Ratih mengaku menyukai karya-karya Idris.
Hubungan pertemanan itu meningkat menjadi serius dan Ratih setuju saat Idris
mengajaknya menikah.
Idris memang luar biasa.
Ia berkolaborasi dengan banyak penyanyi solo, grup band, penyair, tokoh agama,
hingga tentara. Setidaknya ia telah mengiringi 70 penyanyi dari masa ke
masa.Idris juga menggarap ilustrasi musik untuk 189 film, dengan total
ilustrasi musik film sekitar 2000 karya ilustrasi musik.
Idris berguru musik pada
banyak orang. Ia belajar piano, biola, harmoni, latihan pendengaran, teori
musik, serta tetek bengek musik sebagai santapan sehari-hari. Nikolai
Varfolomeyev (Rusia), Gerald Kenney (Inggris), Botmer (Jerman), Hendriek
Tordasi (Hongaria), Reneta Vanos (Perancis), Henkte Strake (Belanda) dan Dr.
Wheller Boeket (Amerika serikat) adalah nama-nama yang menggembleng karakter
musik Idris Sardi.
Atas dedikasi dan
kepiawaiannya menggesek biola, Idris mendapat penghargaan tinggi dari Keraton Yogyakarta. Penghargaan itu
berbentuk miniatur mahkota warna emas. Mahkota diberikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono
X. Idris juga diberi gelar Kanjeng Pangeran Kalonagoro oleh Sinuhun Pakubuwono
XIII Tedjowulan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
Selain gelar dari keraton,
gelar tak formal juga kerap diberikan pada Idris. Mulai dari bocah ajaib,
musikus gila, biola maut, setan biola, anak jenius, Helmut Zacharias Indonesia,
dan Sang maestro. Begitu pula berbagai penghargaan internasional berhasil di
raihnya. Semua berawal dari kecintaannya
pada biola. Idris Sardi adalah
Mozart-nya Indonesia. Ariful Hakim (diringkas
dari buku Idris Sardi, perjalanan Maestro Biola Indonesia)
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!