Daftar Isi

Sunday, September 16, 2012

taman serua dan sindrom "penghuni komplek"

Syahdan, pada suatu malam, dengan mata masih terkantuk-kantuk, saya  membuka portal  pintu gerbang saat mobil seorang dokter hendak masuk ke dalam komplek. Waktu itu, sekitar  10 tahun silam, nama Taman Serua belum terlalu di kenal. Orang Serua dan Pondok Petir, lebih mengingatnya sebagai komplek Gus Dur. Maklumlah. Banyak orang dekat almarhum Gus Dur, yang tinggal di situ. Saat sang dokter lewat dan melihat saya sambil memegang sarung, beliau nyeletuk,”Waduh,kim…kim!”.

Sebagai orang yang baru merantau, dan harus menjaga portal saban malam, saya sedikit terusik. Bukan apa-apa. Tapi intonasi suaranya seolah memberi tafsir lain; jauh-jauh datang ke Jakarta ngapain kalau cuma jaga portal? Mungkin saya berburuk sangka. Tapi sejak itu saya sempat ingin pulang kampung, walau orang tua melarang dengan keras. Buat apa nganggur di Tegal dan hanya jadi gunjingan tetangga kiri dan kanan?Ini kata emak. Pekerjaan jaga portal akhirnya saya teruskan, sambil sesekali patroli ke bawah, yang saat itu masih rawa-rawa dan banyak hantunya.

Terjangkit Sindrom "Penghuni Komplek”
Karena alasan tertentu, saya memang akhirnya keluar dari Komplek Gus Dur. Tapi karena sudah merasa kerasan di Sawangan, saya putuskan untuk kost di depan komplek. Berbilang tahun kemudian,saban saya pulang kerja, papan nama Taman Serua sudah mulai terpasang.  Sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan, terus terang saya tak pernah bermimpi bisa tinggal di dalamnya.  Bertahun-tahun memori saya dicekoki fakta, jika yang bisa berdiam di situ hanyalah kaum berduit.

Selain pak dokter, rumah di depan kala itu semua garasinya terisi oleh mobil mengkilat. Banyak pengurus PBNU, orang-orang ring satu Gus Dur yang saat jadi presiden RI, ketiban sampur menduduki posisi penting dan terhormat. Pokoknya itu komplek disegani segala kalangan, sebelum semuanya meluntur, seiring lengser keprabonnya Gus Dur dari singgasana kekuasaan negara. “Rasanya nggak mungkin deh, saya bisa beli rumah di situ, meskipun kredit,”kata saya pada istri, suatu hari secara berseloroh.

Keajaiban itu akhirnya datang juga. Ide untuk tinggal di Taman Serua terbetik, ketika mertua datang ke Jakarta dan harus tidur di samping motor yang saya taruh di dalam kamar kontrakan. Jujur saja, pilihan Taman Serua sendiri bukanlah  karena faktor balas dendam, tersebab pernah “dihina” pak dokter. Bukan. Alasannya simpel saja, karena komplek lain tidak berhasil meyakinkan hati saya, jika mereka bisa membangun rumah tepat waktu.

Namun tinggal di komplekpun, ternyata tak seenak yang saya bayangkan.  Ada banyak iuran, begitu banyak gunjingan, dan sangat deras mimpi plus godaan datang.  Seminggu pertama di rumah baru, saya lihat rumah tetangga di tumbuhi pohon yang besar dan lebat.  Saya kesal. Tiap kali hujan turun, atau saat angin bertiup kencang, daunnya berserakan ke mana-mana. Istri saya sudah menyuruhnya untuk menebang. Tapi sang empunya pohon sepertinya keras kepala. Saking jengkelnya, istri saya bahkan sempat nyeletuk,”Rumah kecil mbok pohonnya jangan besar-besar,”. Kebetulan rumah tetangga saya itu tipe 33. Saya tak peduli, apakah tetangga saya tersinggung apa tidak dengan omongan saya.

Di hari lain, saya juga melihat tetangga beli rak buku besar. Saya berfikir, dengan uang yang saya punya, rak sejenis bisa mampir di rumah, dan menghiasi ruang tamu. Kebetulan istri saya juga berminat. Dia sempat melihat-lihat rak itu, dan bilang pada saya ingin membuatnya. Ini memang bukan pertama kali istri tak mau kalah dengan tetangga saya itu, karena sebelumnya ia juga minta pasang AC, ketika tetangga saya itu pasang AC. Padahal saya tahu, tetangga pasang AC karena anak bayinya tak bisa tidur dengan udara panas Kota Depok.

Lain waktu, saya mengintip dari jendela tetangga saya merenovasi rumah. Kembali hati saya panas. Mestinya saya jangan kalah. Bukankah tidak terlalu mahal untuk mendatangkan tukang dan menuruti apa kata hati, walau saya pikir ini belum terlalu mendesak. Tapi hidup di komplek, mau tak mau saya harus ikut arus. Kalau tidak, saya bakal dipandang sebelah mata.  Alhasil, dengan semangat 45, saya juga ikut merenovasi rumah, tak lama setelah sang tetangga kelar menuntaskan pekerjaannya. Saya merasa puas, bisa melakukan apa yang tetangga saya lakukan.

Hal terakhir, dan ini yang saya anggap paling menyenangkan, saat tetangga beli mobil. Saya meyakini, tanpa mobil di garasi, kelas saya setingkat lebih rendah di bawah tetangga itu. Persoalan pertama memang ketidakpandaian saya menyopir mobil. Tapi ini masalah gampang.  Saya ambil kursus mengemudi, dan tak lama saya hubungi dealer mobil. Saya tersenyum senang, ketika mobil baru itu akhirnya bisa bertengger di garasi. Amboi, kini saya tak kalah dengan tetangga.  Jangan bicara skala prioritas, karena jika mikir itu, mobil bukanlah barang yang amat saya butuhkan. Ini persoalan prestis. Dan untuk inilah saya bekerja keras.

Pelajaran dari Senior
”Yah,bangun,bangun…ayo kerja. Tuh udah siang,”teriak istri saya, suatu pagi. Ah, ternyata semua kejadian di atas hanya mimpi belaka. Pohon besar, rak buku bagus, renovasi rumah dan beli mobil baru hanya gambaran yang datang saat saya sedang berada di pulau “kapuk”. Saya lihat di ruang tamu memang ada rak buku besar. Di depan rumah, juga ada pohon gede, yang sudah saya potong dahan-dahannya karena istri tak kuat disindir tiap minggu.  Hanya saja, saat berangkat istri berpesan hati-hati naik motor, dan segera saya tinggalkan rumah yang belum pernah saya renovasi sejak beli pertama kali.

Sepanjang jalan menuju kantor, saya sempat khawatir dengan kondisi kejiwaan saya. Jangan-jangan saya terkena sindrom "penghuni  komplek”. Memang kekhawatiran itu akhirnya lenyap, ketika saya bertemu dengan senior saya. Dia puluhan tahun jadi wartawan. Pernah jadi petinggi Tempo dan Republika, dan kini bergabung ke grup perusahaan saya, dengan gaji Rp 25 juta per bulan.  Satu hal yang unik dari penampilannya, ke mana-mana dia naik Honda Supra fit.  Sehari-hari, ia juga lebih senang memakai kaos dan celana jeans.

Istrinya yang dokter tak kalah nyleneh. “Istri saya tak pernah gengsi naik angkot.Itulah transportasi hariannya,”kata senior saya itu. Barangkali, jika orang selintas melihat sosoknya, dalam benaknya langsung tertanam dia bukanlah orang penting. Tapi hal itu tak merisaukannya. “ Buat apa?Hidup itu pilihan bro.Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, kita bisa memilih hidup sederhana, atau memaksakan diri biar terlihat kaya, atau benar-benar kaya dan kita pertontonkan pada khalayak. Saya pilih yang pertama,”sambungnya kalem.

Pilihan hidupnya, membuat saya malu dan terbanting.Buk!! Bagaimana mungkin karyawan kecil dengan gaji minim seperti saya justru bermimpi muluk-muluk? Senior saya bukan asal ngecap. Sikapnya memberi pencerahan lain, tentang bagaimana sesungguhnya ia bertindak sebagai seorang ayah. Anak pertamanya, setelah lulus SMA, ia berangkatkan kuliah ke Jerman, dengan biaya awal mencapai ratusan juta rupiah. “Anak-anak itu yang paling penting. Kita mah kalau bersikap baik sama tetangga, mereka juga akan menghargai. Karena saya pernah bertahun-tahun hidup di komplek, yang semua penghuninya punya mobil minimal satu. Cuma saya yang pakai sepeda motor,”kata sang senior.

Saya bersyukur, sifat iri dan panasan melihat tetangga hanya ada di dalam mimpi. Memang saya tak bisa menjamin, jika terlalu lama tinggal di Taman Serua, penyakit sindrom "penghuni komplek ” itu bakal  bisa terus saya tangkal. Saya belum cukup kuat iman, layaknya Almarhum Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual tertinggi Republik Islam Iran.  Saat beliau wafat,harta warisannya hanya sepetak rumah kecil, dengan beberapa kitab agama dan buku puisi. Semua gajinya sebagai pejabat tertinggi Iran dihibahkan ke baitul mal. Tak heran, saat beliau dimakamkan, 10 juta rakyat Iran mengantarnya ke Behez El Sahra (Taman Al Zahra), dengan puluhan orang meninggal karena berdesak-desakan ingin meraih kain kafannya. Luar biasa…

Belum lama mertua telepon, agar kami balik saja ke kampung di Kediri. Di sana mertua punya bisnis ayam yang cukup menjanjikan. Istri bisa berdagang, saya boleh jadi penulis lepas.  Mertua juga ingin dekat dengan cucu-cucunya, yang memang jarang pulang karena jarak yang begitu lebar.  Terhadap tawaran ini, saya amini, dan minta waktu tiga tahun. Saya pikir, waktu selama itu cukuplah untuk menulis novel dan buku. Ini keputusan penting, dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga.

Bukankah kampung lebih banyak mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan kebersihan nurani, dibanding harus hidup di Jakarta yang penuh dengan godaan dan gunjingan tetangga?  Bukankah di kampung tak pernah ada yang ngomel, ketika jalan di depan rumahnya kejatuhan daun dari pohon depan rumah kita misalnya? Di sisi lain, rasanya saya lebih pas melihat teladan Khomeini, daripada mendengar ustaz yang sering mendakwahkan pentingnya sedekah, tapi dia sendiri dikenal pelit oleh para karyawannya.  Dan,orang zuhud seperti Imam Khomeini seabrek jumlahnya di Jawa Timur. Namun tidak di Jakarta…..






No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!