Syahdan, pada suatu malam, dengan mata
masih terkantuk-kantuk, saya membuka
portal pintu gerbang saat mobil seorang
dokter hendak masuk ke dalam komplek. Waktu itu, sekitar 10 tahun silam, nama Taman Serua belum
terlalu di kenal. Orang Serua dan Pondok Petir, lebih mengingatnya sebagai
komplek Gus Dur. Maklumlah. Banyak orang dekat almarhum Gus Dur, yang tinggal
di situ. Saat sang dokter lewat dan melihat saya sambil memegang sarung, beliau
nyeletuk,”Waduh,kim…kim!”.
Sebagai orang yang baru merantau, dan
harus menjaga portal saban malam, saya sedikit terusik. Bukan apa-apa. Tapi
intonasi suaranya seolah memberi tafsir lain; jauh-jauh datang ke Jakarta
ngapain kalau cuma jaga portal? Mungkin saya berburuk sangka. Tapi sejak itu
saya sempat ingin pulang kampung, walau orang tua melarang dengan keras. Buat
apa nganggur di Tegal dan hanya jadi gunjingan tetangga kiri dan kanan?Ini kata
emak. Pekerjaan jaga portal akhirnya saya teruskan, sambil sesekali patroli ke
bawah, yang saat itu masih rawa-rawa dan banyak hantunya.
Terjangkit Sindrom "Penghuni Komplek”
Karena alasan tertentu, saya memang
akhirnya keluar dari Komplek Gus Dur. Tapi karena sudah merasa kerasan di
Sawangan, saya putuskan untuk kost di depan komplek. Berbilang tahun kemudian,saban
saya pulang kerja, papan nama Taman Serua sudah mulai terpasang. Sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan,
terus terang saya tak pernah bermimpi bisa tinggal di dalamnya. Bertahun-tahun memori saya dicekoki fakta,
jika yang bisa berdiam di situ hanyalah kaum berduit.
Selain pak dokter, rumah di depan kala
itu semua garasinya terisi oleh mobil mengkilat. Banyak pengurus PBNU,
orang-orang ring satu Gus Dur yang saat jadi presiden RI, ketiban sampur menduduki
posisi penting dan terhormat. Pokoknya itu komplek disegani segala kalangan,
sebelum semuanya meluntur, seiring lengser keprabonnya Gus Dur dari singgasana
kekuasaan negara. “Rasanya nggak mungkin deh, saya bisa beli rumah di situ,
meskipun kredit,”kata saya pada istri, suatu hari secara berseloroh.
Keajaiban itu akhirnya datang juga. Ide
untuk tinggal di Taman Serua terbetik, ketika mertua datang ke Jakarta dan
harus tidur di samping motor yang saya taruh di dalam kamar kontrakan. Jujur
saja, pilihan Taman Serua sendiri bukanlah karena faktor balas dendam, tersebab pernah
“dihina” pak dokter. Bukan. Alasannya simpel saja, karena komplek lain tidak
berhasil meyakinkan hati saya, jika mereka bisa membangun rumah tepat waktu.
Namun tinggal di komplekpun, ternyata
tak seenak yang saya bayangkan. Ada
banyak iuran, begitu banyak gunjingan, dan sangat deras mimpi plus godaan
datang. Seminggu pertama di rumah baru,
saya lihat rumah tetangga di tumbuhi pohon yang besar dan lebat. Saya kesal. Tiap kali hujan turun, atau saat
angin bertiup kencang, daunnya berserakan ke mana-mana. Istri saya sudah
menyuruhnya untuk menebang. Tapi sang empunya pohon sepertinya keras kepala.
Saking jengkelnya, istri saya bahkan sempat nyeletuk,”Rumah kecil mbok pohonnya
jangan besar-besar,”. Kebetulan rumah tetangga saya itu tipe 33. Saya tak
peduli, apakah tetangga saya tersinggung apa tidak dengan omongan saya.
Di hari lain, saya juga melihat tetangga
beli rak buku besar. Saya berfikir, dengan uang yang saya punya, rak sejenis bisa
mampir di rumah, dan menghiasi ruang tamu. Kebetulan istri saya juga berminat.
Dia sempat melihat-lihat rak itu, dan bilang pada saya ingin membuatnya. Ini
memang bukan pertama kali istri tak mau kalah dengan tetangga saya itu, karena
sebelumnya ia juga minta pasang AC, ketika tetangga saya itu pasang AC. Padahal
saya tahu, tetangga pasang AC karena anak bayinya tak bisa tidur dengan udara
panas Kota Depok.
Lain waktu, saya mengintip dari jendela
tetangga saya merenovasi rumah. Kembali hati saya panas. Mestinya saya jangan
kalah. Bukankah tidak terlalu mahal untuk mendatangkan tukang dan menuruti apa
kata hati, walau saya pikir ini belum terlalu mendesak. Tapi hidup di komplek,
mau tak mau saya harus ikut arus. Kalau tidak, saya bakal dipandang sebelah mata. Alhasil, dengan semangat 45, saya juga ikut
merenovasi rumah, tak lama setelah sang tetangga kelar menuntaskan
pekerjaannya. Saya merasa puas, bisa melakukan apa yang tetangga saya lakukan.
Hal terakhir, dan ini yang saya anggap
paling menyenangkan, saat tetangga beli mobil. Saya meyakini, tanpa mobil di
garasi, kelas saya setingkat lebih rendah di bawah tetangga itu. Persoalan
pertama memang ketidakpandaian saya menyopir mobil. Tapi ini masalah
gampang. Saya ambil kursus mengemudi,
dan tak lama saya hubungi dealer mobil. Saya tersenyum senang, ketika mobil
baru itu akhirnya bisa bertengger di garasi. Amboi, kini saya tak kalah dengan
tetangga. Jangan bicara skala prioritas,
karena jika mikir itu, mobil bukanlah barang yang amat saya butuhkan. Ini persoalan
prestis. Dan untuk inilah saya bekerja keras.
Pelajaran dari Senior
”Yah,bangun,bangun…ayo kerja. Tuh udah
siang,”teriak istri saya, suatu pagi. Ah, ternyata semua kejadian di atas hanya
mimpi belaka. Pohon besar, rak buku bagus, renovasi rumah dan beli mobil baru
hanya gambaran yang datang saat saya sedang berada di pulau “kapuk”. Saya lihat
di ruang tamu memang ada rak buku besar. Di depan rumah, juga ada pohon gede,
yang sudah saya potong dahan-dahannya karena istri tak kuat disindir tiap
minggu. Hanya saja, saat berangkat istri
berpesan hati-hati naik motor, dan segera saya tinggalkan rumah yang belum
pernah saya renovasi sejak beli pertama kali.
Sepanjang jalan menuju kantor, saya
sempat khawatir dengan kondisi kejiwaan saya. Jangan-jangan saya terkena sindrom "penghuni komplek”. Memang kekhawatiran
itu akhirnya lenyap, ketika saya bertemu dengan senior saya. Dia puluhan tahun
jadi wartawan. Pernah jadi petinggi Tempo dan Republika, dan kini bergabung ke
grup perusahaan saya, dengan gaji Rp 25 juta per bulan. Satu hal yang unik dari penampilannya, ke
mana-mana dia naik Honda Supra fit.
Sehari-hari, ia juga lebih senang memakai kaos dan celana jeans.
Istrinya yang dokter tak kalah nyleneh. “Istri saya tak pernah gengsi
naik angkot.Itulah transportasi hariannya,”kata senior saya itu. Barangkali,
jika orang selintas melihat sosoknya, dalam benaknya langsung tertanam dia
bukanlah orang penting. Tapi hal itu tak merisaukannya. “ Buat apa?Hidup itu
pilihan bro.Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, kita bisa memilih hidup
sederhana, atau memaksakan diri biar terlihat kaya, atau benar-benar kaya dan
kita pertontonkan pada khalayak. Saya pilih yang pertama,”sambungnya kalem.
Pilihan hidupnya, membuat saya malu dan
terbanting.Buk!! Bagaimana mungkin karyawan kecil dengan gaji minim seperti saya
justru bermimpi muluk-muluk? Senior saya bukan asal ngecap. Sikapnya memberi
pencerahan lain, tentang bagaimana sesungguhnya ia bertindak sebagai seorang
ayah. Anak pertamanya, setelah lulus SMA, ia berangkatkan kuliah ke Jerman,
dengan biaya awal mencapai ratusan juta rupiah. “Anak-anak itu yang paling
penting. Kita mah kalau bersikap baik sama tetangga, mereka juga akan
menghargai. Karena saya pernah bertahun-tahun hidup di komplek, yang semua
penghuninya punya mobil minimal satu. Cuma saya yang pakai sepeda motor,”kata
sang senior.
Saya bersyukur, sifat iri dan panasan
melihat tetangga hanya ada di dalam mimpi. Memang saya tak bisa menjamin, jika
terlalu lama tinggal di Taman Serua, penyakit sindrom "penghuni komplek ” itu
bakal bisa terus saya tangkal. Saya
belum cukup kuat iman, layaknya Almarhum Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual
tertinggi Republik Islam Iran. Saat
beliau wafat,harta warisannya hanya sepetak rumah kecil, dengan beberapa kitab agama
dan buku puisi. Semua gajinya sebagai pejabat tertinggi Iran dihibahkan ke
baitul mal. Tak heran, saat beliau dimakamkan, 10 juta rakyat Iran mengantarnya
ke Behez El Sahra (Taman Al Zahra), dengan puluhan orang meninggal karena
berdesak-desakan ingin meraih kain kafannya. Luar biasa…
Belum lama mertua telepon, agar kami
balik saja ke kampung di Kediri. Di sana mertua punya bisnis ayam yang cukup
menjanjikan. Istri bisa berdagang, saya boleh jadi penulis lepas. Mertua juga ingin dekat dengan cucu-cucunya,
yang memang jarang pulang karena jarak yang begitu lebar. Terhadap tawaran ini, saya amini, dan minta
waktu tiga tahun. Saya pikir, waktu selama itu cukuplah untuk menulis novel dan
buku. Ini keputusan penting, dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga.
Bukankah kampung lebih banyak
mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan kebersihan nurani, dibanding harus
hidup di Jakarta yang penuh dengan godaan dan gunjingan tetangga? Bukankah di kampung tak pernah ada yang
ngomel, ketika jalan di depan rumahnya kejatuhan daun dari pohon depan rumah
kita misalnya? Di sisi lain, rasanya saya lebih pas melihat teladan Khomeini,
daripada mendengar ustaz yang sering mendakwahkan pentingnya sedekah, tapi dia
sendiri dikenal pelit oleh para karyawannya. Dan,orang zuhud seperti Imam Khomeini seabrek
jumlahnya di Jawa Timur. Namun tidak di Jakarta…..
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!