Daftar Isi

Thursday, September 6, 2012

sepotong jalan bernama Malioboro


Proyeknya mulai diluncurkan Minggu (12/8/2012). Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menyebut Malioboro akan memiliki wajah baru. Maksudnya, wajah lama yang dihadirkan kembali, untuk mengenang Jalan Malioboro yang sempat menjadi tempat kongkow nan resik, terbuka dan toleran bagi pengunjung. Wajah asli Malioboro yang bakal dihadirkan itu seperti tahun 1977 silam, saat bangunan-bangunan tua bergaya Hindis dan China masih jelas terpampang.


Tekad ini, setidaknya untuk mengembalikan Malioboro agar menjadi daya tarik utama para turis. Sultan Hamengkubuwono X sendiri menyambut baik rencana pak walikota. Bagaimanapun, sepotong jalan ini sudah lama menjadi icon kota Yogya. Perkembangan ekonomi dan semakin melimpahnya para pedagang, membuat Jalan Malioboro kadang terkesan padat, sumpek dan macet. Wajah Malioboro layaknya tahun 1977, diharapkan semakin membuat para pengunjung betah berlama-lama.

“Universitas” Malioboro
Cerita tentang jalan ini, memang tak ada habis-habisnya bila dikupas. Malioboro sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. Perkembangan Malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang Tionghoa, juga didukung oleh posisinya yang strategis dalam filosofi garis imajiner Kota Yogyakarta. Banyak hal terjadi di jalan ini, yang terekam oleh sejarah. Mulai dari penangkapan Soekarno saat agresi militer  ke-2 Belanda, saksi pertempuran 6 jam di Yogya, hingga menjadi pusat pemerintahan Kota Yogyakarta kini.

Dari panggung dunia seni dan hiburan, Malioboro tak kalah berkontribusi terhadap lahirnya seniman-seniman besar. Iwan Fals dan Ebiet G Ade diantara yang pernah menjadi pengamen di sini. Begitu pula budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sempat “berkuliah” di “Universitas” Malioboro. Kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, ketika Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya di Gedung Senisono. 

kemacetan malioboro

Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi,cucu raja Sumba, yang melahirkan murid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra seperti (alm) Linus Suryadi dan Korys Layun Rampan, hingga ratusan pemuja Umbu dalam lingkaran komunitas PSK (persada studi klub) . Cak Nun –panggilan akrab Emha- juga sempat lama ngangsu kawruh pada Umbu Landu Paranggi, sebelum akhirnya daya hidup seni jalanan ini mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.

Warisan para seniman ini di Malioboro adalah budaya lesehan, yang lalu menjadi daya jual khas warung-warung di Malioboro. Terinspirasi keindahan suasana lesehan, grup musik Kla Project mewujudkannya dalam sebuah lagu sendu, yang bertajuk “Yogyakarta”. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini, masih menjadi peninggalan yang mempesona mata, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.

Budayawan Universitas Gajah Mada (UGM), Sutaryo, bercerita sedikit tentang wajah lama Malioboro. Pada tahun 1970-an, Malioboro memang benar-benar mencerminkan khas Yogyakarta. Setiap malam, seniman Yogya akan berkumpul di emperan untuk berkreativitas. Waktu itu belum banyak bisnis berkembang. Jalanannya pun masih bersih dan belum ada kemacetan. Malioboro menjadi kawah candradimuka, tempat seniman dan sastrawan menempa diri untuk mencapai taraf “resi”, hingga menghasilkan karya-karya adiluhung.

Pusat Ekonomi
Jika dirunut dari sejarahnya, awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Kawasan ini dulu dihuni etnis Cina, sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat kapiten  bernama Tan Jin Sing pada tahun 1755. Sang kapiten bernama Jawa Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah Selatan lantas dikenal sebagai kawasan Pecinan, dengan ditandai rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kebutuhan masyarakat.

Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan lantas meluas ke Utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini, karena itu secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
toko mengepung malioboro

Saat perang kemerdekaan sedang bergolak, Malioboro menjadi satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi Belanda. Konon hal ini karena Sultan Hamengkubuwono ke-9 adalah teman sekolah Ratu Belanda. Malioboro menjadi kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa, yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagang Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadiyah. Saat perang Diponegoro berlangsung, Jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton, yang kemudian juga melibatkan tokoh-tokoh Tionghoa dan penguasa Belanda.

Ditata Vertikal dan Horisontal
Lantas, bagaimana rencana penataan Malioboro, agak tujuan menjadikannya tempat yang ngangeni segera terwujud? Pemerintah Kota Yogya akan menata Malioboro secara vertikal dan horizontal. Penataan vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya asli dengan membersihkan papan reklame melintang. Hal ini bertujuan untuk menampilkan kembali serta melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan China yang jumlahnya mencapai puluhan.

Penataan horizontal berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk memperluas pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat ini kecepatan kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam . Sementara itu, untuk penataan infrastruktur dilakukan dengan penghilangan pot-pot tanaman dengan tanaman kecil dan memperbanyak zebra cross untuk akses pejalan kaki.

Penataan ini, rencananya akan dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama dilakukan hingga Jl. Dagen. Untuk selanjutnya, seluruh pihak yang berkepentingan  harus melaksanakan komitmen bersama untuk mengembalikan wajah asli Malioboro. Sebagai contoh, pemilik toko di sepanjang Malioboro yang menempati bangunan lama secara sadar harus menurunkan reklamenya.

Istimewanya lagi, penataan wajah baru ini juga dibarengi dengan diresmikannya seragam khas Yogyakarta. Seragam khas ini merupakan perpaduan antara kain lurik dan batik. Seragam ini nantinya akan digunakan oleh semua stakeholder yang ada di Yogyakarta baik pelaku wisata maupun pejabat pemerintahan.

“Dengan penataan ini, mudah-mudahan Malioboro memiliki icon baru yakni ramah untuk pejalan kaki. Dengan demikian, kesempatan pengunjung untuk menikmati Malioboro lebih lama bisa terwadahi. Pengunjung tidak perlu lagi takut terhadap ancaman kemacetan,” kata Haryadi, seperti dikutip dari National Geographic edisi Agustus 2012.“Tidak bisa dipungkiri dengan berkembangnya zaman, Malioboro akan berubah. Meski perubahan itu ada, Malioboro tetap harus memperhatikan aspek sosio kultural,” katanya lagi.

Jalan Karangan Bunga
Bayangan kenyamanan itu, tentu terkait juga dengan fungsi Malioboro sebagai pusat festival dan upacara-upacara keraton Yogya. Tak heran, jalan ini dinamakan Malioboro yang dalam Bahasa Sanskerta berarti jalan “karangan bunga”. Hal ini karena pada zaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga.Misalnya, saat Keraton mengadakan hajatan, seperti waktu pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X , ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro.

Jalan yang membentang dari Utara ke Selatan  itu memang menjadi rute kirab sang putri menuju Bangsal Kepatihan. Seturut perguliran waktu, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.

Memang, beberapa karnaval dan acara yang berlangsung di Malioboro biasanya bersifat indidental dengan waktu pelaksanaan tidak menentu. Namun ada pula kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun, seperti Jogja Java Carnival (tiap bulan Oktober), Festival Kesenian Yogyakarta (bulan Juni-Juli), serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang diadakan berdekatan dengan perayaan Tahun Baru China (Imlek).

Di luar daya tarik sebagai pusat karnaval, sebagai urat nadi perdagangan, Malioboro telah berkembang pesat tak hanya sekedar tempat berderet toko-toko yang menawarkan barang-barang biasa. Di emperan toko juga menjamur lapak-lapak yang menawarkan berbagai cinderamata unik. Barang-barang seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua terhampar. Jika pandai menawar, barang-barang itu bisa ditebus dengan harga realatif murah.
jurusan surga dan neraka
Pendek kata, Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah lenyap oleh gilasan zaman. Eksotisme Malioboro terus berpedar hingga kini, dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia Umbu Landu Paranggi.”Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan”.

Kenangan dan kecintaan orang pada Malioboro, membuat jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu dan Gunung Merapi ini terus bertahan hingga kini, dan masa berikutnya. Di sisi inilah, gagasan penataan menjadi amat mendesak untuk dilaksanakan, jika tidak ingin Malioboro dilupakan karena menjadi sumber kemacetan.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!