Proyeknya mulai diluncurkan Minggu
(12/8/2012). Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menyebut Malioboro akan
memiliki wajah baru. Maksudnya, wajah lama yang dihadirkan kembali, untuk
mengenang Jalan Malioboro yang sempat menjadi tempat kongkow nan resik, terbuka
dan toleran bagi pengunjung. Wajah asli Malioboro yang bakal dihadirkan itu
seperti tahun 1977 silam, saat bangunan-bangunan tua bergaya Hindis dan China
masih jelas terpampang.
Tekad ini, setidaknya untuk
mengembalikan Malioboro agar menjadi daya tarik utama para turis. Sultan
Hamengkubuwono X sendiri menyambut baik rencana pak walikota. Bagaimanapun,
sepotong jalan ini sudah lama menjadi icon kota Yogya. Perkembangan
ekonomi dan semakin melimpahnya para pedagang, membuat Jalan Malioboro kadang
terkesan padat, sumpek dan macet. Wajah Malioboro layaknya tahun 1977,
diharapkan semakin membuat para pengunjung betah berlama-lama.
“Universitas” Malioboro
Cerita tentang jalan ini, memang tak
ada habis-habisnya bila dikupas. Malioboro sebelum menjadi pusat niaga hanyalah
jalan luji kebon. Perkembangan Malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis
orang-orang Tionghoa, juga didukung oleh posisinya yang strategis dalam
filosofi garis imajiner Kota Yogyakarta. Banyak hal terjadi di jalan ini, yang
terekam oleh sejarah. Mulai dari penangkapan Soekarno saat agresi militer
ke-2 Belanda, saksi pertempuran 6 jam di Yogya, hingga menjadi pusat
pemerintahan Kota Yogyakarta kini.
Dari panggung dunia seni dan
hiburan, Malioboro tak kalah berkontribusi terhadap lahirnya seniman-seniman
besar. Iwan Fals dan Ebiet G Ade diantara yang pernah menjadi pengamen di sini.
Begitu pula budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sempat “berkuliah” di
“Universitas” Malioboro. Kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, ketika
Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi
‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya di Gedung Senisono.
kemacetan malioboro |
Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi,cucu raja Sumba, yang melahirkan murid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra seperti (alm) Linus Suryadi dan Korys Layun Rampan, hingga ratusan pemuja Umbu dalam lingkaran komunitas PSK (persada studi klub) . Cak Nun –panggilan akrab Emha- juga sempat lama ngangsu kawruh pada Umbu Landu Paranggi, sebelum akhirnya daya hidup seni jalanan ini mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.
Warisan para seniman ini
di Malioboro adalah budaya lesehan, yang lalu menjadi daya jual khas
warung-warung di Malioboro. Terinspirasi keindahan suasana lesehan, grup musik
Kla Project mewujudkannya dalam sebuah lagu sendu, yang bertajuk “Yogyakarta”.
Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Hindia Belanda, Jawa dan Cina
di kawasan ini, masih menjadi peninggalan yang mempesona mata, di tengah
munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.
Budayawan Universitas
Gajah Mada (UGM), Sutaryo, bercerita sedikit tentang wajah lama Malioboro. Pada
tahun 1970-an, Malioboro memang benar-benar mencerminkan khas Yogyakarta.
Setiap malam, seniman Yogya akan berkumpul di emperan untuk berkreativitas.
Waktu itu belum banyak bisnis berkembang. Jalanannya pun masih bersih dan belum
ada kemacetan. Malioboro menjadi kawah candradimuka, tempat seniman dan
sastrawan menempa diri untuk mencapai taraf “resi”, hingga menghasilkan
karya-karya adiluhung.
Pusat Ekonomi
Jika dirunut dari sejarahnya,
awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi.
Kawasan ini dulu dihuni etnis Cina, sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat
kapiten bernama Tan Jin Sing pada tahun 1755. Sang kapiten bernama Jawa
Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah
timur Kantor Pos Besar). Sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah Selatan
lantas dikenal sebagai kawasan Pecinan, dengan ditandai rumah-rumah toko yang
menjual barang-barang kebutuhan masyarakat.
Kawasan ini kian ramai
setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi
sejak 1926. Kawasan Pecinan lantas meluas ke Utara, sampai ke Stasiun Tugu
(dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda).
Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini
Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan
ini, karena itu secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur
dominan, yakni Jawa dan Cina.
Saat perang kemerdekaan
sedang bergolak, Malioboro menjadi satu-satunya wilayah yang bebas dari
intervensi Belanda. Konon hal ini karena Sultan Hamengkubuwono ke-9 adalah
teman sekolah Ratu Belanda. Malioboro menjadi kanal bisnis bagi kelompok
Tionghoa, yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan
kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.
Di Kotagede, kaum
Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena sudah ada mayoritas pebisnis
pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagang Muslim yang melingkar
pada organisasi Muhammadiyah. Saat perang Diponegoro berlangsung, Jalan
Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton, yang kemudian juga melibatkan
tokoh-tokoh Tionghoa dan penguasa Belanda.
Ditata Vertikal dan
Horisontal
Lantas, bagaimana rencana penataan
Malioboro, agak tujuan menjadikannya tempat yang ngangeni segera
terwujud? Pemerintah Kota Yogya akan menata Malioboro secara vertikal dan
horizontal. Penataan vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya
asli dengan membersihkan papan reklame melintang. Hal ini bertujuan untuk
menampilkan kembali serta melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan
China yang jumlahnya mencapai puluhan.
Penataan horizontal
berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk memperluas
pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat ini kecepatan
kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam . Sementara itu,
untuk penataan infrastruktur dilakukan dengan penghilangan pot-pot tanaman
dengan tanaman kecil dan memperbanyak zebra cross untuk akses pejalan
kaki.
Penataan ini, rencananya
akan dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama dilakukan hingga Jl. Dagen.
Untuk selanjutnya, seluruh pihak yang berkepentingan harus
melaksanakan komitmen bersama untuk mengembalikan wajah asli Malioboro. Sebagai
contoh, pemilik toko di sepanjang Malioboro yang menempati bangunan lama secara
sadar harus menurunkan reklamenya.
Istimewanya lagi,
penataan wajah baru ini juga dibarengi dengan diresmikannya seragam khas
Yogyakarta. Seragam khas ini merupakan perpaduan antara kain lurik dan batik.
Seragam ini nantinya akan digunakan oleh semua stakeholder yang ada di
Yogyakarta baik pelaku wisata maupun pejabat pemerintahan.
“Dengan penataan ini,
mudah-mudahan Malioboro memiliki icon baru yakni ramah untuk pejalan
kaki. Dengan demikian, kesempatan pengunjung untuk menikmati Malioboro lebih
lama bisa terwadahi. Pengunjung tidak perlu lagi takut terhadap ancaman
kemacetan,” kata Haryadi, seperti dikutip dari National Geographic edisi
Agustus 2012.“Tidak bisa dipungkiri dengan berkembangnya zaman, Malioboro akan
berubah. Meski perubahan itu ada, Malioboro tetap harus memperhatikan aspek
sosio kultural,” katanya lagi.
Jalan Karangan Bunga
Bayangan kenyamanan itu, tentu
terkait juga dengan fungsi Malioboro sebagai pusat festival dan upacara-upacara
keraton Yogya. Tak heran, jalan ini dinamakan Malioboro yang dalam Bahasa
Sanskerta berarti jalan “karangan bunga”. Hal ini karena pada zaman dulu ketika
keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan
bunga.Misalnya, saat Keraton mengadakan hajatan, seperti waktu pawiwahan
ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X , ribuan orang berjejalan
memenuhi Jalan Malioboro.
Jalan yang membentang dari Utara ke
Selatan itu memang menjadi rute kirab sang putri menuju Bangsal
Kepatihan. Seturut perguliran waktu, posisi Malioboro sebagai jalan utama
tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga
saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat
dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan
Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih
banyak lainnya.
Memang, beberapa karnaval dan acara
yang berlangsung di Malioboro biasanya bersifat indidental dengan waktu
pelaksanaan tidak menentu. Namun ada pula kegiatan yang rutin diadakan setiap
tahun, seperti Jogja Java Carnival (tiap bulan Oktober), Festival Kesenian
Yogyakarta (bulan Juni-Juli), serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang diadakan
berdekatan dengan perayaan Tahun Baru China (Imlek).
Di luar daya tarik sebagai pusat
karnaval, sebagai urat nadi perdagangan, Malioboro telah berkembang pesat tak
hanya sekedar tempat berderet toko-toko yang menawarkan barang-barang biasa. Di
emperan toko juga menjamur lapak-lapak yang menawarkan berbagai cinderamata
unik. Barang-barang seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang
kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan
kunci semua terhampar. Jika pandai menawar, barang-barang itu bisa ditebus
dengan harga realatif murah.
Pendek kata, Malioboro adalah
rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di benak orang
yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah lenyap oleh gilasan
zaman. Eksotisme Malioboro terus berpedar hingga kini, dan menginspirasi banyak
orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali. Seperti kalimat awal yang ada
dalam sajak Melodia Umbu Landu Paranggi.”Cintalah yang membuat diriku betah
sesekali bertahan”.
Kenangan dan kecintaan orang pada
Malioboro, membuat jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang
menghubungkan Pantai Parangtritis, Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu dan Gunung
Merapi ini terus bertahan hingga kini, dan masa berikutnya. Di sisi inilah,
gagasan penataan menjadi amat mendesak untuk dilaksanakan, jika tidak ingin
Malioboro dilupakan karena menjadi sumber kemacetan.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!