Daftar Isi

Saturday, September 22, 2012

Andai Foke Kembali Terpilih...


Sabtu (15/9) sore, lima hari menjelang pilgub DKI Jakarta, rumah dinas Gubernur Fauzi Bowo nampak cukup ramai. Lewat sekretaris pribadi (sespri)-nya Hj. Tati, istri  Fauzi Bowo, saya disambut dan segera dibawa ke halaman belakang yang asri. Di situ ada lapangan kecil dengan rumput gajah yang rapi, saung tempat bersantai dan bangunan berlantai dua untuk tidur para staf gubernur. Tepat di belakang rumah, yang lokasinya lebih tinggi dari lapangan kecil, saya disuruh menunggu.

Hj. Tati muncul dan saya segera di panggil untuk menyambutnya. Sore itu, Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke tidak  ikut mendampingi, karena harus hadir di acara debat kandidat JakTV. Ini kali kedua saya gagal berbincang dengan Foke, walau sudah diundang secara resmi ke rumahnya. Tahun 2007 silam, saat Pilgub DKI Jakarta hendak digelar, yang keluar juga hanya Hj. Tati. Waktu itu saya tak tahu apa alasan Foke tidak menemui….

***
Hasil hitung cepat Foke-Nara dikalahkan Jokowi Ahok, saat pilgub 20 September 2012. Jika hitungan KPUD sesuai dengan quick count, tanggal 7 Oktober 2012 Foke dipastikan akan meninggalkan rumah dinas yang sudah dihuninya selama 5 tahun itu. Foke sudah mulai memindahkan barang-barang pribadinya, saat tulisan ini dibuat. Ke mana Foke akan tinggal. “Rumahnya banyak. Mau ke mana saja bisa,”kata KS, ketua tim media Foke-Nara.

Dari awal disuruh datang, sebetulnya saya sudah pesimis Foke mau menerima. Keyakinan itu semakin menguat, waktu  sespri Hj. Tati berbusa-busa menjelaskan sosok Foke yang kerap digambarkan suka marah-marah pada media. Kata beliau,”Bapak itu paling nggak suka kalau yang diajak ngomong nggak ngerti-ngerti,”. Maksudnya mungkin, saat Foke di tanya pers, terus menjelaskan, lantas pers kembali mencecar, Foke marah, itu karena beliau menganggap wartawan “nggak ngerti-ngerti”.

Informasi lain dari tim sukses Foke, pria berkumis lebat itu juga ogah diatur-atur oleh konsultan politik. Alasannya simple, dirinya bukan selebritis. “Bapak bilang saya ini pekerja. Bukan artis. Tidak butuh sorotan kamera ke wilayah pribadi,”. Cerocosan ini saya serap. Tidak saya bantah. Hanya saja, keyakinan tim sukses bahwa mereka akan memenangkan pertarungan dengan strategi yang sudah dipakai, saya ragukan hasilnya, dan terbukti.

Semua berkaca pada pilgub putaran pertama.Jarang terjadi kasus kandidat yang kalah di putaran pertama bakal memenangi pertarungan di putaran kedua. Kekalahan Foke di putaran pertama, juga memunculkan banyak pertanyaan, karena sebagai incumbent, ia punya banyak waktu untuk melakukan investasi sikap, investasi politik, sosial, dan ekonomi pada masyarakat Jakarta secara masif dan terstruktur. Foke bisa mulai kampanye 5 tahun silam, bahkan ketika nama Jokowi belum terdengar publik Jakarta!

***
Pikiran nakal saya menduga-duga, hubungan Foke dan media massa yang buruk, bisa jadi salah satu sebab ia terjungkal. Alasan jika ia tidak suka bicara dengan orang yang “nggak ngerti-ngerti”, menjadi amat naïf, ketika ia tahu bahwa tugas pers memang bertanya. Andai pun wartawan sudah tahu, ia akan terus bertanya, sekedar untuk memenuhi kaidah jurnalistik. Jika melihat kondisi ini, Foke sebagai pejabat publik mestinya bisa lebih sabar meladeni berondongan pertanyaan pers.

Foke seperti membuat menara gading birokrasi, yang susah untuk dirambah bahkan oleh media massa sekalipun. Di hari-hari terakhir kekuasannya, Foke memang berubah. Tapi sikap ramah dan terbuka terhadap pers setelah kalah di putaran pertama, menjadi tidak berguna, karena  waktu yang sudah mepet untuk kampanye. Selain itu, publik sudah terlanjur mencapnya sebagai sosok yang temperamental.

Segala atribut ini, ditambah persoalan Jakarta yang komplek, membuat sosok Foke menjadi antagonis, hingga bandul politik mengarah ke figur lain yang dianggap menjanjikan. Kerja keras konsultan politik untuk menutup kekurangan itu, tidak berhasil meyakinkan swing voters yang memang lebih pragmatis saat mengambil pilihan. Foke menyia-nyiakan waktu lima tahun, untuk berubah menjadi media darling, agar prestasinya selama memimpin Jakarta tersosialisasi dengan baik.

***
Sebagai jebolan universitas di Jerman, Foke mungkin lebih cocok menjadi ilmuwan, yang bekerja keras di tengah keheningan dan tidak peduli popularitas. Menjadi politisi, selain investasi sikap, citra baik yang ditanamkan ke publik juga memegang peranan vital.  Kombinasi citra baik dan investasi sikap yang panjang pada masyarakat pemilih inilah, yang membuat Sri Surya Widati terpilih menjadi Bupati Bantul, melanjutkan kiprah suaminya Idham Samawi yang tidak dibolehkan undang-undang kembali mencalonkan diri.

Contoh paling ekstrim terjadi pada Widya Kandi, Bupati Kendal. Meski Hendy Boedoro, suaminya, ditahan KPK karena terlibat korupsi, Widya masih tetap terpilih menggantikan Hendy, yang sudah mengambil start kampanye sejak pertama kali menjabat. Begitu pula Anna Sophanah, yang walau suaminya  Irianto Syafiudin diduga terlibat  korupsi pembebasan tanah pembangunan Proyek PLTU, Anna masih juga terpilih sebagai bupati Indramayu menggantikan  sang suami.

Jangan mengira pemunculan mobil ESEMKA Jokowi adalah murni untuk mendukung penggunaan karya anak negeri. Semuanya sudah diset secara sistematis, dengan timeline yang diatur, agar awareness masyarakat terhadap sosok Jokowi meningkat, seiring semakin dekatnya Pilkada DKI Jakarta kala itu.Sungkem terhadap ibunda, terjun ke perkampungan kumuh, dan menampilkan wajah polos dan apa adanya, juga bagian dari kampanye yang di atur secara cermat oleh Poll Mark, konsultan politik yang disewa timses Jokowi-Ahok.

Saya tak pernah melihat  kemesraan Foke dengan anak, istri dan cucu muncul di teve. Apa yang dilakukannya di waktu senggang, tak pernah kita tahu. Wajah yang tenang, santai, apalagi sambil lesehan dengan wartawan, berhahahihi, menjadi “benda” mahal. Foke terlihat elitis, birokratis, formal, walau kita akui kerja kerasnya membangun Jakarta bertujuan untuk kebaikan semua.

Tidak salah memang, karena itu pilihan. Tapi, ini era reformasi bung. Demokrasi kita sudah bertransformasi sedemikian rupa, hingga persepsi publik bisa diubah dalam sekejap oleh tayangan teve selama 30 menit. Bukankah politik adalah soal persepsi,  dan segala kemungkinan bisa terjadi asal tahu “seni”nya?

Kasus Foke, menjadi pelajaran penting politisi lain. Politisi, juga bisa belajar pada para artis. Walau mereka suka merokok, di depan moncong kamera, mereka tidak pernah mau  terlihat sedang merokok. Inilah pentingnya sebuah pencitraan, agar sosok mereka tetap disukai publik.  Foke telah merasakan hasil dari ketidakpeduliannya terhadap pencitraan dan berita positif media massa. Artinya, andai pun ia terpilih lagi jadi gubernur,  maka yang pertama “mati” adalah lembaga konsultan politik. Tapi, kenyataan berbicara lain….Jadi, hidup pencitraan!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!