Daftar Isi

Saturday, September 22, 2012

Andai Foke Kembali Terpilih...


Sabtu (15/9) sore, lima hari menjelang pilgub DKI Jakarta, rumah dinas Gubernur Fauzi Bowo nampak cukup ramai. Lewat sekretaris pribadi (sespri)-nya Hj. Tati, istri  Fauzi Bowo, saya disambut dan segera dibawa ke halaman belakang yang asri. Di situ ada lapangan kecil dengan rumput gajah yang rapi, saung tempat bersantai dan bangunan berlantai dua untuk tidur para staf gubernur. Tepat di belakang rumah, yang lokasinya lebih tinggi dari lapangan kecil, saya disuruh menunggu.

Hj. Tati muncul dan saya segera di panggil untuk menyambutnya. Sore itu, Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke tidak  ikut mendampingi, karena harus hadir di acara debat kandidat JakTV. Ini kali kedua saya gagal berbincang dengan Foke, walau sudah diundang secara resmi ke rumahnya. Tahun 2007 silam, saat Pilgub DKI Jakarta hendak digelar, yang keluar juga hanya Hj. Tati. Waktu itu saya tak tahu apa alasan Foke tidak menemui….

***
Hasil hitung cepat Foke-Nara dikalahkan Jokowi Ahok, saat pilgub 20 September 2012. Jika hitungan KPUD sesuai dengan quick count, tanggal 7 Oktober 2012 Foke dipastikan akan meninggalkan rumah dinas yang sudah dihuninya selama 5 tahun itu. Foke sudah mulai memindahkan barang-barang pribadinya, saat tulisan ini dibuat. Ke mana Foke akan tinggal. “Rumahnya banyak. Mau ke mana saja bisa,”kata KS, ketua tim media Foke-Nara.

Dari awal disuruh datang, sebetulnya saya sudah pesimis Foke mau menerima. Keyakinan itu semakin menguat, waktu  sespri Hj. Tati berbusa-busa menjelaskan sosok Foke yang kerap digambarkan suka marah-marah pada media. Kata beliau,”Bapak itu paling nggak suka kalau yang diajak ngomong nggak ngerti-ngerti,”. Maksudnya mungkin, saat Foke di tanya pers, terus menjelaskan, lantas pers kembali mencecar, Foke marah, itu karena beliau menganggap wartawan “nggak ngerti-ngerti”.

Informasi lain dari tim sukses Foke, pria berkumis lebat itu juga ogah diatur-atur oleh konsultan politik. Alasannya simple, dirinya bukan selebritis. “Bapak bilang saya ini pekerja. Bukan artis. Tidak butuh sorotan kamera ke wilayah pribadi,”. Cerocosan ini saya serap. Tidak saya bantah. Hanya saja, keyakinan tim sukses bahwa mereka akan memenangkan pertarungan dengan strategi yang sudah dipakai, saya ragukan hasilnya, dan terbukti.

Semua berkaca pada pilgub putaran pertama.Jarang terjadi kasus kandidat yang kalah di putaran pertama bakal memenangi pertarungan di putaran kedua. Kekalahan Foke di putaran pertama, juga memunculkan banyak pertanyaan, karena sebagai incumbent, ia punya banyak waktu untuk melakukan investasi sikap, investasi politik, sosial, dan ekonomi pada masyarakat Jakarta secara masif dan terstruktur. Foke bisa mulai kampanye 5 tahun silam, bahkan ketika nama Jokowi belum terdengar publik Jakarta!

***
Pikiran nakal saya menduga-duga, hubungan Foke dan media massa yang buruk, bisa jadi salah satu sebab ia terjungkal. Alasan jika ia tidak suka bicara dengan orang yang “nggak ngerti-ngerti”, menjadi amat naïf, ketika ia tahu bahwa tugas pers memang bertanya. Andai pun wartawan sudah tahu, ia akan terus bertanya, sekedar untuk memenuhi kaidah jurnalistik. Jika melihat kondisi ini, Foke sebagai pejabat publik mestinya bisa lebih sabar meladeni berondongan pertanyaan pers.

Foke seperti membuat menara gading birokrasi, yang susah untuk dirambah bahkan oleh media massa sekalipun. Di hari-hari terakhir kekuasannya, Foke memang berubah. Tapi sikap ramah dan terbuka terhadap pers setelah kalah di putaran pertama, menjadi tidak berguna, karena  waktu yang sudah mepet untuk kampanye. Selain itu, publik sudah terlanjur mencapnya sebagai sosok yang temperamental.

Segala atribut ini, ditambah persoalan Jakarta yang komplek, membuat sosok Foke menjadi antagonis, hingga bandul politik mengarah ke figur lain yang dianggap menjanjikan. Kerja keras konsultan politik untuk menutup kekurangan itu, tidak berhasil meyakinkan swing voters yang memang lebih pragmatis saat mengambil pilihan. Foke menyia-nyiakan waktu lima tahun, untuk berubah menjadi media darling, agar prestasinya selama memimpin Jakarta tersosialisasi dengan baik.

***
Sebagai jebolan universitas di Jerman, Foke mungkin lebih cocok menjadi ilmuwan, yang bekerja keras di tengah keheningan dan tidak peduli popularitas. Menjadi politisi, selain investasi sikap, citra baik yang ditanamkan ke publik juga memegang peranan vital.  Kombinasi citra baik dan investasi sikap yang panjang pada masyarakat pemilih inilah, yang membuat Sri Surya Widati terpilih menjadi Bupati Bantul, melanjutkan kiprah suaminya Idham Samawi yang tidak dibolehkan undang-undang kembali mencalonkan diri.

Contoh paling ekstrim terjadi pada Widya Kandi, Bupati Kendal. Meski Hendy Boedoro, suaminya, ditahan KPK karena terlibat korupsi, Widya masih tetap terpilih menggantikan Hendy, yang sudah mengambil start kampanye sejak pertama kali menjabat. Begitu pula Anna Sophanah, yang walau suaminya  Irianto Syafiudin diduga terlibat  korupsi pembebasan tanah pembangunan Proyek PLTU, Anna masih juga terpilih sebagai bupati Indramayu menggantikan  sang suami.

Jangan mengira pemunculan mobil ESEMKA Jokowi adalah murni untuk mendukung penggunaan karya anak negeri. Semuanya sudah diset secara sistematis, dengan timeline yang diatur, agar awareness masyarakat terhadap sosok Jokowi meningkat, seiring semakin dekatnya Pilkada DKI Jakarta kala itu.Sungkem terhadap ibunda, terjun ke perkampungan kumuh, dan menampilkan wajah polos dan apa adanya, juga bagian dari kampanye yang di atur secara cermat oleh Poll Mark, konsultan politik yang disewa timses Jokowi-Ahok.

Saya tak pernah melihat  kemesraan Foke dengan anak, istri dan cucu muncul di teve. Apa yang dilakukannya di waktu senggang, tak pernah kita tahu. Wajah yang tenang, santai, apalagi sambil lesehan dengan wartawan, berhahahihi, menjadi “benda” mahal. Foke terlihat elitis, birokratis, formal, walau kita akui kerja kerasnya membangun Jakarta bertujuan untuk kebaikan semua.

Tidak salah memang, karena itu pilihan. Tapi, ini era reformasi bung. Demokrasi kita sudah bertransformasi sedemikian rupa, hingga persepsi publik bisa diubah dalam sekejap oleh tayangan teve selama 30 menit. Bukankah politik adalah soal persepsi,  dan segala kemungkinan bisa terjadi asal tahu “seni”nya?

Kasus Foke, menjadi pelajaran penting politisi lain. Politisi, juga bisa belajar pada para artis. Walau mereka suka merokok, di depan moncong kamera, mereka tidak pernah mau  terlihat sedang merokok. Inilah pentingnya sebuah pencitraan, agar sosok mereka tetap disukai publik.  Foke telah merasakan hasil dari ketidakpeduliannya terhadap pencitraan dan berita positif media massa. Artinya, andai pun ia terpilih lagi jadi gubernur,  maka yang pertama “mati” adalah lembaga konsultan politik. Tapi, kenyataan berbicara lain….Jadi, hidup pencitraan!

Sunday, September 16, 2012

taman serua dan sindrom "penghuni komplek"

Syahdan, pada suatu malam, dengan mata masih terkantuk-kantuk, saya  membuka portal  pintu gerbang saat mobil seorang dokter hendak masuk ke dalam komplek. Waktu itu, sekitar  10 tahun silam, nama Taman Serua belum terlalu di kenal. Orang Serua dan Pondok Petir, lebih mengingatnya sebagai komplek Gus Dur. Maklumlah. Banyak orang dekat almarhum Gus Dur, yang tinggal di situ. Saat sang dokter lewat dan melihat saya sambil memegang sarung, beliau nyeletuk,”Waduh,kim…kim!”.

Sebagai orang yang baru merantau, dan harus menjaga portal saban malam, saya sedikit terusik. Bukan apa-apa. Tapi intonasi suaranya seolah memberi tafsir lain; jauh-jauh datang ke Jakarta ngapain kalau cuma jaga portal? Mungkin saya berburuk sangka. Tapi sejak itu saya sempat ingin pulang kampung, walau orang tua melarang dengan keras. Buat apa nganggur di Tegal dan hanya jadi gunjingan tetangga kiri dan kanan?Ini kata emak. Pekerjaan jaga portal akhirnya saya teruskan, sambil sesekali patroli ke bawah, yang saat itu masih rawa-rawa dan banyak hantunya.

Terjangkit Sindrom "Penghuni Komplek”
Karena alasan tertentu, saya memang akhirnya keluar dari Komplek Gus Dur. Tapi karena sudah merasa kerasan di Sawangan, saya putuskan untuk kost di depan komplek. Berbilang tahun kemudian,saban saya pulang kerja, papan nama Taman Serua sudah mulai terpasang.  Sebagai karyawan dengan penghasilan pas-pasan, terus terang saya tak pernah bermimpi bisa tinggal di dalamnya.  Bertahun-tahun memori saya dicekoki fakta, jika yang bisa berdiam di situ hanyalah kaum berduit.

Selain pak dokter, rumah di depan kala itu semua garasinya terisi oleh mobil mengkilat. Banyak pengurus PBNU, orang-orang ring satu Gus Dur yang saat jadi presiden RI, ketiban sampur menduduki posisi penting dan terhormat. Pokoknya itu komplek disegani segala kalangan, sebelum semuanya meluntur, seiring lengser keprabonnya Gus Dur dari singgasana kekuasaan negara. “Rasanya nggak mungkin deh, saya bisa beli rumah di situ, meskipun kredit,”kata saya pada istri, suatu hari secara berseloroh.

Keajaiban itu akhirnya datang juga. Ide untuk tinggal di Taman Serua terbetik, ketika mertua datang ke Jakarta dan harus tidur di samping motor yang saya taruh di dalam kamar kontrakan. Jujur saja, pilihan Taman Serua sendiri bukanlah  karena faktor balas dendam, tersebab pernah “dihina” pak dokter. Bukan. Alasannya simpel saja, karena komplek lain tidak berhasil meyakinkan hati saya, jika mereka bisa membangun rumah tepat waktu.

Namun tinggal di komplekpun, ternyata tak seenak yang saya bayangkan.  Ada banyak iuran, begitu banyak gunjingan, dan sangat deras mimpi plus godaan datang.  Seminggu pertama di rumah baru, saya lihat rumah tetangga di tumbuhi pohon yang besar dan lebat.  Saya kesal. Tiap kali hujan turun, atau saat angin bertiup kencang, daunnya berserakan ke mana-mana. Istri saya sudah menyuruhnya untuk menebang. Tapi sang empunya pohon sepertinya keras kepala. Saking jengkelnya, istri saya bahkan sempat nyeletuk,”Rumah kecil mbok pohonnya jangan besar-besar,”. Kebetulan rumah tetangga saya itu tipe 33. Saya tak peduli, apakah tetangga saya tersinggung apa tidak dengan omongan saya.

Di hari lain, saya juga melihat tetangga beli rak buku besar. Saya berfikir, dengan uang yang saya punya, rak sejenis bisa mampir di rumah, dan menghiasi ruang tamu. Kebetulan istri saya juga berminat. Dia sempat melihat-lihat rak itu, dan bilang pada saya ingin membuatnya. Ini memang bukan pertama kali istri tak mau kalah dengan tetangga saya itu, karena sebelumnya ia juga minta pasang AC, ketika tetangga saya itu pasang AC. Padahal saya tahu, tetangga pasang AC karena anak bayinya tak bisa tidur dengan udara panas Kota Depok.

Lain waktu, saya mengintip dari jendela tetangga saya merenovasi rumah. Kembali hati saya panas. Mestinya saya jangan kalah. Bukankah tidak terlalu mahal untuk mendatangkan tukang dan menuruti apa kata hati, walau saya pikir ini belum terlalu mendesak. Tapi hidup di komplek, mau tak mau saya harus ikut arus. Kalau tidak, saya bakal dipandang sebelah mata.  Alhasil, dengan semangat 45, saya juga ikut merenovasi rumah, tak lama setelah sang tetangga kelar menuntaskan pekerjaannya. Saya merasa puas, bisa melakukan apa yang tetangga saya lakukan.

Hal terakhir, dan ini yang saya anggap paling menyenangkan, saat tetangga beli mobil. Saya meyakini, tanpa mobil di garasi, kelas saya setingkat lebih rendah di bawah tetangga itu. Persoalan pertama memang ketidakpandaian saya menyopir mobil. Tapi ini masalah gampang.  Saya ambil kursus mengemudi, dan tak lama saya hubungi dealer mobil. Saya tersenyum senang, ketika mobil baru itu akhirnya bisa bertengger di garasi. Amboi, kini saya tak kalah dengan tetangga.  Jangan bicara skala prioritas, karena jika mikir itu, mobil bukanlah barang yang amat saya butuhkan. Ini persoalan prestis. Dan untuk inilah saya bekerja keras.

Pelajaran dari Senior
”Yah,bangun,bangun…ayo kerja. Tuh udah siang,”teriak istri saya, suatu pagi. Ah, ternyata semua kejadian di atas hanya mimpi belaka. Pohon besar, rak buku bagus, renovasi rumah dan beli mobil baru hanya gambaran yang datang saat saya sedang berada di pulau “kapuk”. Saya lihat di ruang tamu memang ada rak buku besar. Di depan rumah, juga ada pohon gede, yang sudah saya potong dahan-dahannya karena istri tak kuat disindir tiap minggu.  Hanya saja, saat berangkat istri berpesan hati-hati naik motor, dan segera saya tinggalkan rumah yang belum pernah saya renovasi sejak beli pertama kali.

Sepanjang jalan menuju kantor, saya sempat khawatir dengan kondisi kejiwaan saya. Jangan-jangan saya terkena sindrom "penghuni  komplek”. Memang kekhawatiran itu akhirnya lenyap, ketika saya bertemu dengan senior saya. Dia puluhan tahun jadi wartawan. Pernah jadi petinggi Tempo dan Republika, dan kini bergabung ke grup perusahaan saya, dengan gaji Rp 25 juta per bulan.  Satu hal yang unik dari penampilannya, ke mana-mana dia naik Honda Supra fit.  Sehari-hari, ia juga lebih senang memakai kaos dan celana jeans.

Istrinya yang dokter tak kalah nyleneh. “Istri saya tak pernah gengsi naik angkot.Itulah transportasi hariannya,”kata senior saya itu. Barangkali, jika orang selintas melihat sosoknya, dalam benaknya langsung tertanam dia bukanlah orang penting. Tapi hal itu tak merisaukannya. “ Buat apa?Hidup itu pilihan bro.Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, kita bisa memilih hidup sederhana, atau memaksakan diri biar terlihat kaya, atau benar-benar kaya dan kita pertontonkan pada khalayak. Saya pilih yang pertama,”sambungnya kalem.

Pilihan hidupnya, membuat saya malu dan terbanting.Buk!! Bagaimana mungkin karyawan kecil dengan gaji minim seperti saya justru bermimpi muluk-muluk? Senior saya bukan asal ngecap. Sikapnya memberi pencerahan lain, tentang bagaimana sesungguhnya ia bertindak sebagai seorang ayah. Anak pertamanya, setelah lulus SMA, ia berangkatkan kuliah ke Jerman, dengan biaya awal mencapai ratusan juta rupiah. “Anak-anak itu yang paling penting. Kita mah kalau bersikap baik sama tetangga, mereka juga akan menghargai. Karena saya pernah bertahun-tahun hidup di komplek, yang semua penghuninya punya mobil minimal satu. Cuma saya yang pakai sepeda motor,”kata sang senior.

Saya bersyukur, sifat iri dan panasan melihat tetangga hanya ada di dalam mimpi. Memang saya tak bisa menjamin, jika terlalu lama tinggal di Taman Serua, penyakit sindrom "penghuni komplek ” itu bakal  bisa terus saya tangkal. Saya belum cukup kuat iman, layaknya Almarhum Ayatullah Khomeini, pemimpin spiritual tertinggi Republik Islam Iran.  Saat beliau wafat,harta warisannya hanya sepetak rumah kecil, dengan beberapa kitab agama dan buku puisi. Semua gajinya sebagai pejabat tertinggi Iran dihibahkan ke baitul mal. Tak heran, saat beliau dimakamkan, 10 juta rakyat Iran mengantarnya ke Behez El Sahra (Taman Al Zahra), dengan puluhan orang meninggal karena berdesak-desakan ingin meraih kain kafannya. Luar biasa…

Belum lama mertua telepon, agar kami balik saja ke kampung di Kediri. Di sana mertua punya bisnis ayam yang cukup menjanjikan. Istri bisa berdagang, saya boleh jadi penulis lepas.  Mertua juga ingin dekat dengan cucu-cucunya, yang memang jarang pulang karena jarak yang begitu lebar.  Terhadap tawaran ini, saya amini, dan minta waktu tiga tahun. Saya pikir, waktu selama itu cukuplah untuk menulis novel dan buku. Ini keputusan penting, dan akan saya perjuangkan sekuat tenaga.

Bukankah kampung lebih banyak mengajarkan nilai-nilai kesederhanaan dan kebersihan nurani, dibanding harus hidup di Jakarta yang penuh dengan godaan dan gunjingan tetangga?  Bukankah di kampung tak pernah ada yang ngomel, ketika jalan di depan rumahnya kejatuhan daun dari pohon depan rumah kita misalnya? Di sisi lain, rasanya saya lebih pas melihat teladan Khomeini, daripada mendengar ustaz yang sering mendakwahkan pentingnya sedekah, tapi dia sendiri dikenal pelit oleh para karyawannya.  Dan,orang zuhud seperti Imam Khomeini seabrek jumlahnya di Jawa Timur. Namun tidak di Jakarta…..






Saturday, September 15, 2012

Laskar Pelangi from Jembayat

Saban kali memegang kamera Canon EOS digital,ingatan saya langsung berlesatan di sekitar pertengahan 1989 silam. Kala itu, dengan mata yang sedikit saya sipit-sipitkan, berbagai objek di atas panggung perpisahan SMP Negeri 1 Margasari saya bidik. Tak banyak yang saya bisa memang. Maklumlah. Itu bukan kamera milik pribadi. Sang empunya “Kodak”, Pak Supadio, bahkan harus mengajari saya memakai “makhluk” itu dengan telaten.”Dibikin fokus dulu ya obyeknya. Baru dijepret,”kata Pak Padio, sambil memutar-mutar lensa kamera yang masih manual.

Saya tak tahu kenapa ditunjuk oleh panitia jadi seksi dokumentasi. Tapi toh, segala aktivitas untuk “mengawetkan” aksi teman-teman itu, tak banyak membantu untuk mengingat-ingat kembali segala peristiwa saat saya menuntut ilmu di sana. Banyak kenangan tergerus lintasan zaman. Banyak memori membeku, tersaput keterbatasan kecerdasan yang saya miliki. Maka, saat satu demi satu nama teman-teman mulai disebut di situs jejaring sosial, sedikit demi sedikit, dengan sangat perlahan-lahan,  bayangan wajah mereka mulai tergambar.

Sudah pasti kondisinya telah jauh berbeda. Ada yang nampak sudah seperti Surya Paloh –dulu parasnya khas oriental, dengan gaya bicara yang cepat dan bersemangat. Beberapa bahkan harus saya ingat-ingat lagi, di mana ciri khas yang bisa membuat saya ngeh, bahwa ini adalah teman  sekelas. Begitulah. Segala proses untuk coba kembali memutar jarum jam kehidupan ini, saya nikmati seperti sebuah permainan puzzle yang mengasyikan.

Cah Ndeso Masuk Kuto
Jauh sebelum saya masuk SMP Negeri 1 Margasari, tiap kali peringatan 17 Agustus, memang saya kerap mendengar nama SMP N 1 disebut. Sesekali, saya bertandang untuk berlomba. Beberapa kali saya juara baca puisi, dan sekali ikut lomba mengarang.  Tentu tak ada pikiran, jika saya akhirnya harus terdampar di situ, yang menurut para guru saya itu adalah sekolah terbaik di kota kecamatan Margasari. Yang jelas, di awal-awal saya masuk, segala hal baru dan menakjubkan segera saya lihat dan rasakan.

Pengalaman tak terlupakan barangkali soal jaraknya yang lumayan jauh. Ini terkait alat transportasi yang mesti saya gunakan. Kebetulan usai lulus  dari SD Negeri Jembayat 4, almarhum bapak menghadiahi sebuah sepeda berwarna merah menyala. Dengan sepeda itulah, tiap hari saya mengukur jalan, menuju kota kecamatan. Saya, Ais Zakiyudin, Ma’mun dan sesekali Fahruri, harus menggenjot pedal, berangkat sendiri-sendiri dan pulang bersama-sama. Kami tak bisa berangkat bareng, karena rumah kami berjauhan untuk bisa janjian.

Jalanan Jembayat-Margasari waktu itu masih sepi. Di kiri kanannya lebat oleh tanaman jati. Saya bahkan   pernah mendengar suara monyet bersahut-sahutan, di tempat yang dikenal dengan nama kandang iwak. Jika pulang hujan, kami semua basah kuyup, karena tak ada tempat berteduh.  Pernah  saking tebalnya kabut hujan, saya nabrak Ais, dan kami hanya tertawa-tawa setelah jatuh. Peristiwa paling mengenaskan barangkali saat saya menabrak becak di dekat pasar Margasari. Sepeda rusak, baju saya belepotan oleh kotoran kuda, yang kala itu masih banyak mangkal di sisi  pasar.

Bukan maksud saya mendramatisir peristiwa itu. Tapi rangkaian gambar masa lalu, dengan segenap suka dan duka bersepeda, mengingatkan saya akan perjuangan sekelompok bocah di novel Laskar Pelangi. Dalam hal-hal tertentu, kami memang lebih beruntung. Jika lagi malas menggenjot pedal, saya pilih naik bus Kalitangi, yang seluruh bodinya terbuat dari kayu. Bunyi mesinnya, “greng-greng,greng-greng,greng-greng”, dengan badan bus yang terus bergoyang tak kuasa menahan getaran knalpot.

Di kota Margasari, saya pertama kali melihat penjual mie ayam. Agak takut-takut juga waktu nekad mencoba mampir. Sebagai orang kampung yang biasa makan pakai tangan, jari jemari rasanya bergetar memegang sumpit, malu kepergok tatapan mata dari pengunjung lain. Selain mie ayam, saya juga takjub melihat game wacht, yang banyak disewakan di depan SD dekat SMP 1. Di rumah Bambang gendut, saya sering mencoba mencicipi minuman dingin dari kulkas –hal yang tak pernah saya rasakan di rumah.

Ada kejadian lucu saat saya bermain ke rumah Donny, yang memiliki toko tak jauh dari sekolah. Di situ saya dengar lengkingan suara yang mirip-mirip tone vocal wanita dari sebuah tape recorder. Saya tanya,”Don, itu siapa yang nyanyi?”. Donny menjawab cuek,”Michael Jackson,”. Saya terhenyak. Oh, jadi vocal Jacko begitu ya?Bisa melengking tinggi seperti perempuan, batin saya. Itulah pertama kali saya mendengar kaset almarhum Jacko, yang kalau tak salah waktu itu sedang mendendangkan tembang “Billie Jean” (bener ora ya tulisane,hehehe).

Bambang dan Donny, bisa jadi masuk dalam kategori soulmate saya, karena rumahnya yang dekat dengan sekolahan. Saya juga sering ikut shalat di rumah Budi Rumekso. Tapi sebagai anak baru gede, saya banyak belajar pada Rohmani, don juan dari Pakulaut, yang berpengalaman menaklukan banyak perempuan. Dia kerap cerita, saya jadi pendengar setianya. Saya kadang kagum, mendengar semua petualangan cintanya, bak seorang Casanova. Beberapa bintang kelas juga saya dengar namanya, dan kemudian kenal dekat ketika kami berkumpul di kelas 3 A.

Sari Rapet,Sari Rapet
Kelas satu dan dua, tak banyak teman wanita yang saya kenal. Jujur saja, saya minder dan tidak percaya diri, terutama dengan rambut keriting saya. Siswanto selalu menyebutnya dengan kata ‘petarangan ayam’. Beberapa yang lain, meski dengan nada bercanda, ikut mengejek, membuat saya memutuskan untuk menyembunyikan rambut dibawah naungan sebuah topi.

Itu berlangsung terus menerus, dan saya seperti jadi kecanduan memakai topi. Rasanya ada yang kurang, jika di kepala tidak bertengger sebuah topi. Bukan karena saya sok ngetop, biar mudah dikenali alias sebagai personality branding layaknya Putu Wijaya. Bukan. Ini murni persoalan biar terlihat lebih ganteng saja (hahaha….akhirnya ngaku). Karena menyangkut hal prinsip, saya bahkan sempat sangat marah, ketika seorang  teman merebut topi saya dan membuangnya. Ini penghinaan yang tak termaafkan.

Bapak terlalu sibuk untuk ikut memecahkan masalah psikologis ini. Tapi belakangan saya berfikir, sesungguhnya inilah fase dimana saya harus belajar mengendalikan diri, sesuatu yang amat penting ketika akhirnya saya harus berhadapan dengan berbagai macam karakter orang. Apalagi kemudian, soal rambut tak jadi halangan berarti, ketika saya bisa menjalin ‘cinta monyet’ dengan seorang dara. Namanya Dewi Kusumawati. Dengan dialah satu-satunya kisah asmaraku di SMP Negeri 1 terjalin, walau tidak berlangsung lama, dan tidak jadi pendamping hidup sesungguhnya.

Soal percintaan ini, baiklah,  saya tak mau membukanya secara lebar di sini. Takut ada yang marah,huahahaha. Tapi benar, ujian kesabaran itu datang, saat saya masuk kelas 3 A. Di kelas ini, segalanya dituntut kompetitif, rapi, tertib dan tidak boleh mblatang. Ini tentu berlawanan dengan sikap dasar saya yang nyeniman, celelekan dan suka bercanda. Saya sempat “bergesekan” keras dengan Pak Sarwiji guru Pendidikan Moral Pancasila (PMP) kami.

Saya tak ingat, dimana letak  kesalahan  teman-teman, hingga satu ketika wali kelas menuntut kami meminta maaf pada beliau. Usai diberi nasihat, bel istirahat berbunyi, tak lama beliau lewat di depan kelas. Sontak saya langsung nyeletuk,”Ayo temen-temen pada njaluk pangapura,”. Celetukan saya itu rupanya di dengar beliau. Besoknya, saya dipanggil ke ruang guru. Apa yang terjadi? Subahanallah…saya dimarahi habis-habisan, dari A sampai Z.

Kemarahan Pak Sarwiji benar-benar diluar kontrol. Dan itu dilakukannya di depan guru-guru. Saya sampai menangis, tak kuat menahan malu dan amarah. Mungkin jika itu terjadi di zaman kini, saya bisa laporkan ke polisi, dengan undang-undang perlindungan anak karena telah terjadi kekerasan verbal. Tapi masa itu, siapa sih yang bisa mengedukasi jika itu sesungguhnya tidak boleh terjadi. Memang, beliau cukup sportif, ketika beliau mengucapkan selamat, karena nilai ujian akhir PMP saya mencapai sembilan. Tapi tetap, tindakan itu terus terkenang hingga kini.

Celetukan nakal, dikelas 3 A diharamkan. Ini pula yang terjadi pada Rohmani, saat pelajaran Biologi sedang berlangsung. Mungkin karena otaknya sudah banyak terkontaminasi novel Enny Arrow, saat bu guru sedang menerangkan “persetubuhan”  tumbuhan antara putik dan benang sari, Rohmani langsung nyeletuk,”Sari rapet,”. Akibatnya fatal. Rohman di suruh maju, dan dari mulutnya harus memproduksi kata “sari rapet” sebanyak 100 kali. Tontonan ini membuat kami semua tertawa terpingkal-pingkal. Kacau,kacau….

Berkelahi di Jalan
Jika di sekolah dasar saya mempunyai saudara yang suka berantem, saat masuk SMP, skala kekerasan fisik antar teman sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Istilah zaman sekarang biasa disebut tindakan bullying (bener ora kiye?). Di kelas saya, ada dua jagoan neon. Satu bernama Slamet Edy Haryanto, lainnya saya lupa namanya, tapi dia berasal dari daerah sekitar Prupuk. Tubuhnya yang kekar, membuatnya amat ditakuti di kelas jika sedang marah. Apalagi kalau sedang malak.

Jalanan yang memanjang antara perempatan Margasari hingga lokasi sekolah, saat itu kerap jadi ajang tinju bebas yang seru untuk ditonton. Mungkin karena zaman masih katro, perkelahian mereka selalu dengan tangan kosong. Saya sendiri cuma bisa menonton, sambil geleng-geleng kepala, atau sesekali bertepuk tangan memberi semangat pada Slamet EHE –begitu Slamet Edy Haryanto biasa disapa.

Pertanyaannya, apakah kenakalan semacam itu patut untuk dikenang? Jawabannya,di satu sisi mungkin iya. Bagaimanapun, itu bagus untuk bahan introspeksi, agar sebagai orang tua saya punya banyak bahan untuk mendidik anak. Tapi di sisi lain, saya juga berharap, pihak sekolah bisa lebih tegas menerapkan sanksi disiplin. Sebab, di zaman itu, SMP tak pernah memberi hukuman keras, misal dengan mengeluarkan mereka yang suka berantem. Padahal sebagai sekolah yang punya reputasi baik, kelakuan mereka ibarat nila setitik, yang bisa merusak susu sebelanga.

Saya sendiri tak tahu, bagaimana kondisi Atik cs sekarang yang kerap membuat ulah di SMP Negeri 1. Mudah-mudahan nasib mereka tak berbeda dengan teman-teman lain, yang saya tahu tidak mblatang ketika sekolah. Lihat saja, ada Momo yang jadi motivator  bak Mario Teguh. Atau Zuhlifar Arissandy, yang memilih karir sebagai kuli disket top di Tegal Raya. Farhatun bahkan sedang menyusun tesis. Kristina dan Puji terjun sebagai prajurit sapta marga. Juga teman-teman Jembayat,yang sekarang sudah sukses di bidang masing-masing. Ya, siapa tahu, dari nama-nama yang saya sebut, atau nama-nama yang luput karena saya lupa, nantinya ada yang bisa jadi bupati Tegal. Saya dukung, asal jangan lantas korupsi, dan kemudian masuk bui….

Akhirnya, di tengah kebahagiaan yang membuncah karena kembali menemukan teman-teman seperjuangan di SMP, diam-diam saya juga merindukan kabar guru-guru SMP. Pak Tarno, guru Bahasa Indonesia, amat berjasa karena kerap mengantar saya ikut lomba baca puisi hingga tingkat kabupaten. Pak Pujo, guru matematika, paling benci sama saya, karena kalau disuruh maju tak pernah mau (soalnya nggak mudeng otak saya). Guru agama, guru fisika, dan guru olahraga, Pak Agus, juga memberi kesan mendalam, karena karakter mereka. 

Juga guru SD, Bu Nunung Aspiyah,yang baru saja saya temukan akun facebooknya. Teman-teman di SD Negeri Jembayat 4 alias SD Inpres.Birin, Sarwo, Fahruri, serta para srikandi lulusan pertama SD Negeri Jembayat 4, yang banyak bermukim di Dukuh Petung.Pak Herman,yang pernah sangat marah ketika kami mandi di kali Kumisik usai main bola di Danaraja.Beliau bilang,"Dasar tampang kriminal,".Waktu itu, saya tak tahu apa arti kriminal,hehe. Adakah yang bisa memberi informasi dimanakah mereka kini berada?Salam buat semua...





Thursday, September 6, 2012

sepotong jalan bernama Malioboro


Proyeknya mulai diluncurkan Minggu (12/8/2012). Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti, menyebut Malioboro akan memiliki wajah baru. Maksudnya, wajah lama yang dihadirkan kembali, untuk mengenang Jalan Malioboro yang sempat menjadi tempat kongkow nan resik, terbuka dan toleran bagi pengunjung. Wajah asli Malioboro yang bakal dihadirkan itu seperti tahun 1977 silam, saat bangunan-bangunan tua bergaya Hindis dan China masih jelas terpampang.


Tekad ini, setidaknya untuk mengembalikan Malioboro agar menjadi daya tarik utama para turis. Sultan Hamengkubuwono X sendiri menyambut baik rencana pak walikota. Bagaimanapun, sepotong jalan ini sudah lama menjadi icon kota Yogya. Perkembangan ekonomi dan semakin melimpahnya para pedagang, membuat Jalan Malioboro kadang terkesan padat, sumpek dan macet. Wajah Malioboro layaknya tahun 1977, diharapkan semakin membuat para pengunjung betah berlama-lama.

“Universitas” Malioboro
Cerita tentang jalan ini, memang tak ada habis-habisnya bila dikupas. Malioboro sebelum menjadi pusat niaga hanyalah jalan luji kebon. Perkembangan Malioboro selain ditunjang oleh bakat bisnis orang-orang Tionghoa, juga didukung oleh posisinya yang strategis dalam filosofi garis imajiner Kota Yogyakarta. Banyak hal terjadi di jalan ini, yang terekam oleh sejarah. Mulai dari penangkapan Soekarno saat agresi militer  ke-2 Belanda, saksi pertempuran 6 jam di Yogya, hingga menjadi pusat pemerintahan Kota Yogyakarta kini.

Dari panggung dunia seni dan hiburan, Malioboro tak kalah berkontribusi terhadap lahirnya seniman-seniman besar. Iwan Fals dan Ebiet G Ade diantara yang pernah menjadi pengamen di sini. Begitu pula budayawan Emha Ainun Nadjib, yang sempat “berkuliah” di “Universitas” Malioboro. Kisah ini terlacak saat tahun 1970-an, ketika Malioboro tumbuh menjadi pusat dinamika seni budaya di Yogya. Malioboro menjadi ‘panggung’ bagi para seniman ‘jalanan’, dengan pusatnya di Gedung Senisono. 

kemacetan malioboro

Mungkin kita masih ingat julukan Presiden Malioboro pada Umbu Landu Paranggi,cucu raja Sumba, yang melahirkan murid-murid berkaliber “monster” dalam dunia sastra seperti (alm) Linus Suryadi dan Korys Layun Rampan, hingga ratusan pemuja Umbu dalam lingkaran komunitas PSK (persada studi klub) . Cak Nun –panggilan akrab Emha- juga sempat lama ngangsu kawruh pada Umbu Landu Paranggi, sebelum akhirnya daya hidup seni jalanan ini mandek pada 1990-an setelah gedung Senisono ditutup.

Warisan para seniman ini di Malioboro adalah budaya lesehan, yang lalu menjadi daya jual khas warung-warung di Malioboro. Terinspirasi keindahan suasana lesehan, grup musik Kla Project mewujudkannya dalam sebuah lagu sendu, yang bertajuk “Yogyakarta”. Dalam konteks budaya, bangunan-bangunan bergaya Hindia Belanda, Jawa dan Cina di kawasan ini, masih menjadi peninggalan yang mempesona mata, di tengah munculnya sejumlah bangunan baru bergaya modern, seperti Mal Malioboro.

Budayawan Universitas Gajah Mada (UGM), Sutaryo, bercerita sedikit tentang wajah lama Malioboro. Pada tahun 1970-an, Malioboro memang benar-benar mencerminkan khas Yogyakarta. Setiap malam, seniman Yogya akan berkumpul di emperan untuk berkreativitas. Waktu itu belum banyak bisnis berkembang. Jalanannya pun masih bersih dan belum ada kemacetan. Malioboro menjadi kawah candradimuka, tempat seniman dan sastrawan menempa diri untuk mencapai taraf “resi”, hingga menghasilkan karya-karya adiluhung.

Pusat Ekonomi
Jika dirunut dari sejarahnya, awalnya Malioboro memang dibangun perlahan sebagai pusat kegiatan ekonomi. Kawasan ini dulu dihuni etnis Cina, sejak Sultan Hamengku Buwono I mengangkat kapiten  bernama Tan Jin Sing pada tahun 1755. Sang kapiten bernama Jawa Setjodingrat, dan tinggal di ndalem Setjodingratan (kini terletak di sebelah timur Kantor Pos Besar). Sekitar tahun 1916, kawasan Malioboro sebelah Selatan lantas dikenal sebagai kawasan Pecinan, dengan ditandai rumah-rumah toko yang menjual barang-barang kebutuhan masyarakat.

Kawasan ini kian ramai setelah Kraton membangun Pasar Gedhe (kini Pasar Beringharjo), yang beroperasi sejak 1926. Kawasan Pecinan lantas meluas ke Utara, sampai ke Stasiun Tugu (dibangun pada 1887) dan Grand Hotel de Yogya (berdiri pada 1911, kini Hotel Garuda). Malioboro menjadi penghubung titik stasiun sampai Benteng Rusternburg (kini Vredeburg) dan Kraton. Rumah toko menjadi pemandangan lumrah di sepanjang jalan ini, karena itu secara kultural, ruang Malioboro merupakan gabungan dua kultur dominan, yakni Jawa dan Cina.
toko mengepung malioboro

Saat perang kemerdekaan sedang bergolak, Malioboro menjadi satu-satunya wilayah yang bebas dari intervensi Belanda. Konon hal ini karena Sultan Hamengkubuwono ke-9 adalah teman sekolah Ratu Belanda. Malioboro menjadi kanal bisnis bagi kelompok Tionghoa, yang dimasa lalu memiliki sejarah hubungan naik turun dengan kekuasaan Kesultanan Yogyakarta.

Di Kotagede, kaum Tionghoa tidak diperbolehkan berdagang karena sudah ada mayoritas pebisnis pribumi seperti Kelompok Kalang dan Kelompok pedagang Muslim yang melingkar pada organisasi Muhammadiyah. Saat perang Diponegoro berlangsung, Jalan Malioboro menjadi saksi beberapa intrik keraton, yang kemudian juga melibatkan tokoh-tokoh Tionghoa dan penguasa Belanda.

Ditata Vertikal dan Horisontal
Lantas, bagaimana rencana penataan Malioboro, agak tujuan menjadikannya tempat yang ngangeni segera terwujud? Pemerintah Kota Yogya akan menata Malioboro secara vertikal dan horizontal. Penataan vertikal menyangkut pengembalian wajah bangunan budaya asli dengan membersihkan papan reklame melintang. Hal ini bertujuan untuk menampilkan kembali serta melestarikan cagar budaya bangunan bergaya Hindis dan China yang jumlahnya mencapai puluhan.

Penataan horizontal berkaitan dengan penataan jalur lambat dan infrastruktur jalan untuk memperluas pemandangan. Berkaitan dengan keberadaan jalur lambat, mulai saat ini kecepatan kendaraan yang melintas Malioboro dibatasi maksimal 30 km/jam . Sementara itu, untuk penataan infrastruktur dilakukan dengan penghilangan pot-pot tanaman dengan tanaman kecil dan memperbanyak zebra cross untuk akses pejalan kaki.

Penataan ini, rencananya akan dilakukan secara bertahap dengan tahap pertama dilakukan hingga Jl. Dagen. Untuk selanjutnya, seluruh pihak yang berkepentingan  harus melaksanakan komitmen bersama untuk mengembalikan wajah asli Malioboro. Sebagai contoh, pemilik toko di sepanjang Malioboro yang menempati bangunan lama secara sadar harus menurunkan reklamenya.

Istimewanya lagi, penataan wajah baru ini juga dibarengi dengan diresmikannya seragam khas Yogyakarta. Seragam khas ini merupakan perpaduan antara kain lurik dan batik. Seragam ini nantinya akan digunakan oleh semua stakeholder yang ada di Yogyakarta baik pelaku wisata maupun pejabat pemerintahan.

“Dengan penataan ini, mudah-mudahan Malioboro memiliki icon baru yakni ramah untuk pejalan kaki. Dengan demikian, kesempatan pengunjung untuk menikmati Malioboro lebih lama bisa terwadahi. Pengunjung tidak perlu lagi takut terhadap ancaman kemacetan,” kata Haryadi, seperti dikutip dari National Geographic edisi Agustus 2012.“Tidak bisa dipungkiri dengan berkembangnya zaman, Malioboro akan berubah. Meski perubahan itu ada, Malioboro tetap harus memperhatikan aspek sosio kultural,” katanya lagi.

Jalan Karangan Bunga
Bayangan kenyamanan itu, tentu terkait juga dengan fungsi Malioboro sebagai pusat festival dan upacara-upacara keraton Yogya. Tak heran, jalan ini dinamakan Malioboro yang dalam Bahasa Sanskerta berarti jalan “karangan bunga”. Hal ini karena pada zaman dulu ketika keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi karangan bunga.Misalnya, saat Keraton mengadakan hajatan, seperti waktu pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X , ribuan orang berjejalan memenuhi Jalan Malioboro.

Jalan yang membentang dari Utara ke Selatan  itu memang menjadi rute kirab sang putri menuju Bangsal Kepatihan. Seturut perguliran waktu, posisi Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta, Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.

Memang, beberapa karnaval dan acara yang berlangsung di Malioboro biasanya bersifat indidental dengan waktu pelaksanaan tidak menentu. Namun ada pula kegiatan yang rutin diadakan setiap tahun, seperti Jogja Java Carnival (tiap bulan Oktober), Festival Kesenian Yogyakarta (bulan Juni-Juli), serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang diadakan berdekatan dengan perayaan Tahun Baru China (Imlek).

Di luar daya tarik sebagai pusat karnaval, sebagai urat nadi perdagangan, Malioboro telah berkembang pesat tak hanya sekedar tempat berderet toko-toko yang menawarkan barang-barang biasa. Di emperan toko juga menjamur lapak-lapak yang menawarkan berbagai cinderamata unik. Barang-barang seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit, blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci semua terhampar. Jika pandai menawar, barang-barang itu bisa ditebus dengan harga realatif murah.
jurusan surga dan neraka
Pendek kata, Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang saling berkelindan di benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan ini tak pernah lenyap oleh gilasan zaman. Eksotisme Malioboro terus berpedar hingga kini, dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia Umbu Landu Paranggi.”Cintalah yang membuat diriku betah sesekali bertahan”.

Kenangan dan kecintaan orang pada Malioboro, membuat jalan yang merupakan bagian dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Krapyak, Kraton Yogyakarta, Tugu dan Gunung Merapi ini terus bertahan hingga kini, dan masa berikutnya. Di sisi inilah, gagasan penataan menjadi amat mendesak untuk dilaksanakan, jika tidak ingin Malioboro dilupakan karena menjadi sumber kemacetan.