Sabtu (15/9) sore, lima hari menjelang
pilgub DKI Jakarta, rumah dinas Gubernur Fauzi Bowo nampak cukup ramai. Lewat
sekretaris pribadi (sespri)-nya Hj. Tati, istri Fauzi Bowo, saya disambut dan segera dibawa ke
halaman belakang yang asri. Di situ ada lapangan kecil dengan rumput gajah yang
rapi, saung tempat bersantai dan bangunan berlantai dua untuk tidur para staf
gubernur. Tepat di belakang rumah, yang lokasinya lebih tinggi dari lapangan
kecil, saya disuruh menunggu.
Hj. Tati muncul dan saya segera di
panggil untuk menyambutnya. Sore itu, Fauzi Bowo yang biasa disapa Foke tidak ikut mendampingi, karena harus hadir di acara
debat kandidat JakTV. Ini kali kedua saya gagal berbincang dengan Foke, walau
sudah diundang secara resmi ke rumahnya. Tahun 2007 silam, saat Pilgub DKI
Jakarta hendak digelar, yang keluar juga hanya Hj. Tati. Waktu itu saya tak
tahu apa alasan Foke tidak menemui….
***
Hasil hitung cepat Foke-Nara dikalahkan
Jokowi Ahok, saat pilgub 20 September 2012. Jika hitungan KPUD sesuai dengan quick count, tanggal 7 Oktober 2012 Foke
dipastikan akan meninggalkan rumah dinas yang sudah dihuninya selama 5 tahun
itu. Foke sudah mulai memindahkan barang-barang pribadinya, saat tulisan ini
dibuat. Ke mana Foke akan tinggal. “Rumahnya banyak. Mau ke mana saja
bisa,”kata KS, ketua tim media Foke-Nara.
Dari awal disuruh datang, sebetulnya
saya sudah pesimis Foke mau menerima. Keyakinan itu semakin menguat, waktu sespri Hj. Tati berbusa-busa menjelaskan sosok
Foke yang kerap digambarkan suka marah-marah pada media. Kata beliau,”Bapak itu
paling nggak suka kalau yang diajak ngomong nggak ngerti-ngerti,”. Maksudnya
mungkin, saat Foke di tanya pers, terus menjelaskan, lantas pers kembali
mencecar, Foke marah, itu karena beliau menganggap wartawan “nggak
ngerti-ngerti”.
Informasi lain dari tim sukses Foke,
pria berkumis lebat itu juga ogah diatur-atur oleh konsultan politik. Alasannya
simple, dirinya bukan selebritis. “Bapak bilang saya ini pekerja. Bukan artis.
Tidak butuh sorotan kamera ke wilayah pribadi,”. Cerocosan ini saya serap.
Tidak saya bantah. Hanya saja, keyakinan tim sukses bahwa mereka akan
memenangkan pertarungan dengan strategi yang sudah dipakai, saya ragukan
hasilnya, dan terbukti.
Semua berkaca pada pilgub putaran
pertama.Jarang terjadi kasus kandidat yang kalah di putaran pertama bakal
memenangi pertarungan di putaran kedua. Kekalahan Foke di putaran pertama, juga
memunculkan banyak pertanyaan, karena sebagai incumbent, ia punya banyak waktu untuk melakukan investasi sikap,
investasi politik, sosial, dan ekonomi pada masyarakat Jakarta secara masif dan
terstruktur. Foke bisa mulai kampanye 5 tahun silam, bahkan ketika nama Jokowi
belum terdengar publik Jakarta!
***
Pikiran nakal saya menduga-duga,
hubungan Foke dan media massa yang buruk, bisa jadi salah satu sebab ia
terjungkal. Alasan jika ia tidak suka bicara dengan orang yang “nggak
ngerti-ngerti”, menjadi amat naïf, ketika ia tahu bahwa tugas pers memang
bertanya. Andai pun wartawan sudah tahu, ia akan terus bertanya, sekedar untuk
memenuhi kaidah jurnalistik. Jika melihat kondisi ini, Foke sebagai pejabat
publik mestinya bisa lebih sabar meladeni berondongan pertanyaan pers.
Foke seperti membuat menara gading
birokrasi, yang susah untuk dirambah bahkan oleh media massa sekalipun. Di
hari-hari terakhir kekuasannya, Foke memang berubah. Tapi sikap ramah dan
terbuka terhadap pers setelah kalah di putaran pertama, menjadi tidak berguna,
karena waktu yang sudah mepet untuk
kampanye. Selain itu, publik sudah terlanjur mencapnya sebagai sosok yang
temperamental.
Segala atribut ini, ditambah persoalan
Jakarta yang komplek, membuat sosok Foke menjadi antagonis, hingga bandul
politik mengarah ke figur lain yang dianggap menjanjikan. Kerja keras konsultan
politik untuk menutup kekurangan itu, tidak berhasil meyakinkan swing voters yang memang lebih pragmatis
saat mengambil pilihan. Foke menyia-nyiakan waktu lima tahun, untuk berubah menjadi
media darling, agar prestasinya
selama memimpin Jakarta tersosialisasi dengan baik.
***
Sebagai jebolan universitas di Jerman, Foke
mungkin lebih cocok menjadi ilmuwan, yang bekerja keras di tengah keheningan
dan tidak peduli popularitas. Menjadi politisi, selain investasi sikap, citra
baik yang ditanamkan ke publik juga memegang peranan vital. Kombinasi citra baik dan investasi sikap yang
panjang pada masyarakat pemilih inilah, yang membuat Sri Surya Widati terpilih
menjadi Bupati Bantul, melanjutkan kiprah suaminya Idham Samawi yang tidak
dibolehkan undang-undang kembali mencalonkan diri.
Contoh paling ekstrim terjadi pada Widya
Kandi, Bupati Kendal. Meski Hendy Boedoro, suaminya, ditahan KPK karena
terlibat korupsi, Widya masih tetap terpilih menggantikan Hendy, yang sudah
mengambil start kampanye sejak pertama kali menjabat. Begitu pula Anna Sophanah,
yang walau suaminya Irianto Syafiudin
diduga terlibat korupsi pembebasan tanah
pembangunan Proyek PLTU, Anna masih juga terpilih sebagai bupati Indramayu
menggantikan sang suami.
Jangan mengira pemunculan mobil ESEMKA
Jokowi adalah murni untuk mendukung penggunaan karya anak negeri. Semuanya
sudah diset secara sistematis, dengan timeline yang diatur, agar awareness
masyarakat terhadap sosok Jokowi meningkat, seiring semakin dekatnya Pilkada
DKI Jakarta kala itu.Sungkem terhadap ibunda, terjun ke perkampungan kumuh, dan
menampilkan wajah polos dan apa adanya, juga bagian dari kampanye yang di atur
secara cermat oleh Poll Mark, konsultan politik yang disewa timses Jokowi-Ahok.
Saya tak pernah melihat kemesraan Foke dengan anak, istri dan cucu
muncul di teve. Apa yang dilakukannya di waktu senggang, tak pernah kita tahu.
Wajah yang tenang, santai, apalagi sambil lesehan dengan wartawan, berhahahihi,
menjadi “benda” mahal. Foke terlihat elitis, birokratis, formal, walau kita
akui kerja kerasnya membangun Jakarta bertujuan untuk kebaikan semua.
Tidak salah memang, karena itu pilihan. Tapi,
ini era reformasi bung. Demokrasi kita sudah bertransformasi sedemikian rupa,
hingga persepsi publik bisa diubah dalam sekejap oleh tayangan teve selama 30
menit. Bukankah politik adalah soal persepsi,
dan segala kemungkinan bisa terjadi asal tahu “seni”nya?
Kasus Foke, menjadi pelajaran penting
politisi lain. Politisi, juga bisa belajar pada para artis. Walau mereka suka
merokok, di depan moncong kamera, mereka tidak pernah mau terlihat sedang merokok. Inilah pentingnya
sebuah pencitraan, agar sosok mereka tetap disukai publik. Foke telah merasakan hasil dari ketidakpeduliannya
terhadap pencitraan dan berita positif media massa. Artinya, andai pun ia
terpilih lagi jadi gubernur, maka yang
pertama “mati” adalah lembaga konsultan politik. Tapi, kenyataan berbicara
lain….Jadi, hidup pencitraan!