Daftar Isi

Wednesday, August 15, 2012

sepenggal cerita tentang Jakarta


Memasuki usia  485 tahun, Jakarta mengambil tema “Jakarta Harapanku” untuk mewarnai segenap aktivitas menyambut kelahirannya. Banyak kegiatan, banyak harapan, banyak ungkapan untuk Jakarta yang semakin tua. Ada sekitar 55 kegiatan plus aktvitas rutin Kota Jakarta untuk meramaikan ulang tahunnya bulan ini. Kegiatan rutin itu antara lain Jakarta Great Sale, Jakarta Fair, dan pemilihan Abang None (Abnon) Jakarta.

Menengok Jakarta masa kini, tentu tak luput dari perjalanan panjang kota ini bertumbuh dengan segala dinamikanya. Nama Jakarta sendiri dipakai sejak zaman Jepang berkuasa tahun 1942. Nama ini dianggap sebagai kependekan dari kata Jayakarta,yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah, setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527.Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota kejayaan", atau "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha".

Awalnya Sebuah Pelabuhan
Jakarta pertama kali dikenal sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Ibu kota Kerajaan Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa selama dua hari perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara dan Cimanuk.

Pada abad ke-12, pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan, dan Timur Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas dagang saat itu.

Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Namun sebelum pendirian benteng tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan tersebut.

Orang Sunda menyebut peristiwa ini tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon, menyerahkan pemerintahan di Jayakarta pada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan Banten.

Diduduki Belanda
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah di Banten pada tahun 1596. Jakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah seorang kerabat Kesultanan Banten. Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen mendudukinya setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia.

Selama kolonialisasi Belanda, Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota, Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka berasal dari Bali, Sulawesi, Maluku, Tiongkok, dan pesisir Malabar, India. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.

Sebelum kedatangan para budak tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan, Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.

Datangnya penjajah Jepang membuat nama Batavia berganti menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.

Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.

Campuran Beragam Etnis
Sebagai kota yang kemudian berkembang menjadi besar, sejak zaman Belanda Jakarta banyak menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Kondisi ini membuat budaya Jakarta banyak dipengaruhi budaya luar, seperti budaya Arab, Tiongok, India dan Portugis. Suku-suku yang mendiami Jakarta pun beragam seperti Jawa, Sunda, Minang, Batak, dan Bugis. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Melayu dialek Betawi.

Asal usul kaum Betawi sendiri hingga kini masih kerap diperdebatkan. Ridwan Saidi, ahli sejarah Betawi, mengatakan orang Betawi sudah ada sejak zaman Neolitikum. Sementara Lance Castle, sejarawan Belanda, mengatakan bahwa yang disebut kaum Betawi baru muncul pada tahun 1930, saat sensus penduduk dilakukan. Pada sensus penduduk sebelumnya, kaum Betawi tidak disebutkan. Ada pula pendapat, secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.

Kemunculan kaum Betawi secara nasional baru terdengar pada saat Muhamad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sebelumnya etnis Betawi hanya menyebut diri mereka berdasarkan lokalitas saja, seperti Orang Kemayoran, Orang Depok, Orang Condet, Orang Rawa Belong dan sebagainya.


Menariknya, berdatangannya berbagai etnis di Jakarta ikut mempengaruhi setiap perayaan etnis Betawi. Seperti budaya penyalaan petasan, lenong, cokek, hingga pakaian pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah, yang dipengaruhi  oleh budaya Tionghoa. Etnis Arab sangat mempengaruhi musik gambus dalam warna musik marawis  dan tanjidor. Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Cina, Melayu dan Arab. Sementara di kampung Tugu terkenal dengan budaya keroncong yang berasal dari Portugis.

Wayang Kulit Betawi
Budaya Betawi seperti lenong, topeng blantik, tari topeng,ondel-ondel,tari ronggeng topeng dan lain-lain hingga kini masih tetap eksis. Begitu pula seni suara dan musiknya seperti samrah, rebana,gambang kromong, tanjidor dan sejenisnya. Tak banyak yang tahu pula, kesenian wayang kulit juga tumbuh di lingkungan Betawi yang disebut wayang kulit Betawi dan mengunakan bahasa dialek Melayu Betawi.
Wayang kulit Betawi konon lahir ketika Sultan Agung dari Kerajaan Mataram menginjakkan kakinya di tataran Sunda Kelapa. Selain membawa pasukan, turut pula rombongan kesenian wayang kulit. Ternyata tampilan wayang dari Mataram ini begitu memukau penduduk setempat, khususnya yang berdiam di kawasan Tambun, Bekasi. Kemudian munculah satu bentuk baru dari wayang kulit Jawa, yaitu wayang yang berbahasa Melayu Betawi.

Seperti halnya seni wayang lain, wayang kulit Betawi memilik tokoh sentral, seorang dalang.Sebagaimana lazimnya, wayang kulit Betawi ini juga menggunakan kelir, yang disini disebut “kere”. Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, terompet, rebab, saron, keromong, kecrek, kempul dan gong. Yang tampak lain dalam wayang kulit Betawi adalah masuknya unsur Sunda yang kental. Meski dialog dengan bahasa Betawi, namun musik pengiring hingga lantunan lagunya berasal dari tanah Pajajaran. 


Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata. Cerita lain khas Betawi adalah Bambang Sinar Matahari, Cepot Jadi Raja dan Barong Buta Sapujagat. Umumnya, cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, wayang kulit Betawi penampilannya lebih bebas, lebih demokratis. Logatnyapun akrab dengan masyarakat Betawi, dan dialog yang ditampilkan menggunakan bahas Indonesia pergaulan, mudah dipahami segala lapisan masyarakat dari berbagai suku.


Walau tampilannya begitu komunikatif, wayang kulit Betawi tak sepopuler wayang kulit Jawa. Selama ini, wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang kulit Betawi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang kulit Betawi tampil dengan penuh kesederhanaan, sehingga boleh dibilang menepikan aspek estetika, moral dan falsafah. 

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!