Memasuki
usia 485 tahun, Jakarta mengambil tema
“Jakarta Harapanku” untuk mewarnai segenap aktivitas menyambut kelahirannya.
Banyak kegiatan, banyak harapan, banyak ungkapan untuk Jakarta yang semakin
tua. Ada sekitar 55 kegiatan plus aktvitas rutin Kota Jakarta untuk meramaikan
ulang tahunnya bulan ini. Kegiatan rutin itu antara lain Jakarta Great Sale,
Jakarta Fair, dan pemilihan Abang None (Abnon) Jakarta.
Menengok
Jakarta masa kini, tentu tak luput dari perjalanan panjang kota ini bertumbuh
dengan segala dinamikanya. Nama Jakarta sendiri dipakai sejak zaman Jepang
berkuasa tahun 1942. Nama ini dianggap sebagai
kependekan dari kata Jayakarta,yang diberikan oleh orang-orang Demak dan Cirebon
di bawah pimpinan Fatahillah, setelah
menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527.Nama
ini biasanya diterjemahkan sebagai "kota kemenangan" atau "kota
kejayaan", atau "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau
usaha".
Awalnya Sebuah Pelabuhan
Jakarta pertama kali dikenal sebagai
salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda yang bernama Sunda Kelapa yang berlokasi di muara Sungai
Ciliwung. Ibu kota Kerajaan
Sunda yang dikenal sebagai Dayeuh Pakuan
Pajajaran atau Pajajaran (sekarang Bogor) dapat ditempuh dari pelabuhan Sunda Kelapa selama dua hari
perjalanan. Menurut sumber Portugis, Sunda Kelapa merupakan salah satu
pelabuhan yang dimiliki Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Banten, Pontang,
Cigede, Tamgara dan Cimanuk.
Pada abad ke-12, pelabuhan ini
dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang berasal dari Tiongkok, Jepang,
India Selatan, dan Timur
Tengah sudah berlabuh di pelabuhan ini
membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, kuda,
anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi komoditas
dagang saat itu.
Bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama yang datang ke Jakarta. Pada abad
ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di Malaka
untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari kemungkinan
serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan
Sunda. Namun sebelum pendirian benteng
tersebut terlaksana, Cirebon yang dibantu Demak langsung menyerang pelabuhan
tersebut.
Orang Sunda menyebut peristiwa ini
tragedi, karena penyerangan tersebut membungihanguskan kota pelabuhan tersebut
dan membunuh banyak rakyat Sunda disana termasuk syahbandar pelabuhan. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22
Juni oleh Sudiro, walikota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi
pendudukan pelabuhan Sunda Kelapa oleh Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta yang berarti "kota
kemenangan". Selanjutnya Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon,
menyerahkan pemerintahan di Jayakarta pada putranya yaitu Maulana Hasanuddin
dari Banten yang menjadi sultan di Kesultanan
Banten.
Diduduki
Belanda
Orang Belanda datang ke Jakarta sekitar akhir abad ke-16, setelah singgah
di Banten pada tahun 1596.
Jakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta,
salah seorang kerabat Kesultanan
Banten. Pada 1619, VOC
dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen mendudukinya setelah mengalahkan pasukan Kesultanan
Banten dan kemudian mengubah nama
Jayakarta menjadi Batavia.
Selama kolonialisasi Belanda,
Batavia berkembang menjadi kota yang besar dan penting. Untuk pembangunan kota,
Belanda banyak mengimpor budak-budak sebagai pekerja. Kebanyakan dari mereka
berasal dari Bali, Sulawesi,
Maluku, Tiongkok,
dan pesisir
Malabar, India. Waktu itu luas Batavia hanya
mencakup daerah yang saat ini dikenal sebagai Kota
Tua di Jakarta Utara.
Sebelum kedatangan para budak
tersebut, sudah ada masyarakat Sunda yang tinggal di wilayah Jayakarta seperti
masyarakat Jatinegara Kaum. Sedangkan suku-suku dari etnis pendatang, pada zaman
kolinialisme Belanda, membentuk wilayah komunitasnya masing-masing. Maka di
Jakarta ada wilayah-wilayah bekas komunitas itu seperti Pecinan, Pekojan,
Kampung Melayu, Kampung Bandan, Kampung Ambon, Kampung Bali, dan Manggarai.
Datangnya penjajah Jepang membuat nama Batavia berganti menjadi Djakarta untuk menarik hati penduduk
pada Perang Dunia II.
Kota ini juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia
pada 17
Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta
merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota
Djakarta mengalami perubahan dari sebuah kotapraja di bawah walikota
ditingkatkan menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur.
Yang menjadi gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo, seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu
itu dilakukan langsung oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Djakarta
diubah dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan
gubernurnya tetap dijabat oleh Sumarno.
Campuran
Beragam Etnis
Sebagai
kota yang kemudian berkembang menjadi besar, sejak
zaman Belanda Jakarta banyak menarik pendatang dari seluruh Nusantara. Kondisi
ini membuat budaya Jakarta banyak dipengaruhi budaya luar, seperti budaya Arab,
Tiongok, India dan Portugis. Suku-suku yang mendiami Jakarta pun beragam
seperti Jawa,
Sunda, Minang,
Batak, dan Bugis. Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa
Indonesia, bahasa informal atau bahasa
percakapan sehari-hari adalah Bahasa
Melayu dialek Betawi.
Asal usul kaum Betawi sendiri hingga
kini masih kerap diperdebatkan. Ridwan Saidi, ahli sejarah Betawi, mengatakan
orang Betawi sudah ada sejak zaman Neolitikum. Sementara Lance Castle,
sejarawan Belanda, mengatakan bahwa yang disebut kaum Betawi baru muncul pada
tahun 1930, saat sensus penduduk dilakukan. Pada sensus penduduk sebelumnya,
kaum Betawi tidak disebutkan. Ada pula pendapat, secara biologis, mereka yang
mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku
dan bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa lalu.
Kemunculan kaum Betawi secara nasional baru terdengar pada saat Muhamad Husni Thamrin mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Sebelumnya etnis Betawi hanya menyebut diri mereka berdasarkan lokalitas saja, seperti Orang Kemayoran, Orang Depok, Orang Condet, Orang Rawa Belong dan sebagainya.
Menariknya,
berdatangannya berbagai etnis di Jakarta ikut mempengaruhi setiap perayaan
etnis Betawi. Seperti budaya penyalaan petasan, lenong, cokek, hingga pakaian
pernikahan adat Betawi yang didominasi warna merah, yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa. Etnis Arab sangat
mempengaruhi musik gambus dalam warna musik marawis dan tanjidor.
Tanjidor sendiri adalah perpaduan budaya Eropa, Cina, Melayu dan Arab.
Sementara di kampung Tugu terkenal dengan budaya keroncong yang berasal dari
Portugis.
Wayang Kulit Betawi
Budaya Betawi seperti lenong, topeng blantik, tari topeng,ondel-ondel,tari
ronggeng topeng dan lain-lain hingga kini masih tetap eksis. Begitu pula seni
suara dan musiknya seperti samrah, rebana,gambang kromong, tanjidor dan
sejenisnya. Tak banyak yang tahu pula, kesenian wayang kulit juga tumbuh di
lingkungan Betawi yang disebut wayang kulit Betawi dan mengunakan bahasa dialek
Melayu Betawi.
Wayang kulit Betawi konon lahir ketika Sultan Agung dari
Kerajaan Mataram menginjakkan kakinya di tataran Sunda Kelapa. Selain membawa
pasukan, turut pula rombongan kesenian wayang kulit. Ternyata tampilan wayang
dari Mataram ini begitu memukau penduduk setempat, khususnya yang berdiam di
kawasan Tambun, Bekasi. Kemudian munculah satu bentuk baru dari wayang kulit
Jawa, yaitu wayang yang berbahasa Melayu Betawi.
Seperti halnya seni wayang lain, wayang kulit Betawi memilik tokoh sentral,
seorang dalang.Sebagaimana lazimnya, wayang kulit Betawi ini juga menggunakan kelir, yang
disini disebut “kere”. Alat musik pengiringnya terdiri dari kendang, terompet,
rebab, saron, keromong, kecrek, kempul dan gong. Yang tampak lain dalam wayang
kulit Betawi adalah masuknya unsur Sunda yang kental. Meski dialog dengan
bahasa Betawi, namun musik pengiring hingga lantunan lagunya berasal dari tanah
Pajajaran.
Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh
dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata. Cerita lain khas Betawi adalah
Bambang Sinar Matahari, Cepot Jadi Raja dan Barong Buta Sapujagat. Umumnya,
cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar.
Oleh karena itu, wayang kulit Betawi penampilannya lebih bebas, lebih
demokratis. Logatnyapun akrab dengan masyarakat Betawi, dan dialog yang
ditampilkan menggunakan bahas Indonesia pergaulan, mudah dipahami segala
lapisan masyarakat dari berbagai suku.
Walau tampilannya begitu komunikatif, wayang kulit Betawi tak sepopuler wayang kulit Jawa. Selama ini, wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran, lokasi asal tumbuhnya wayang kulit Betawi. Sepanjang perjalanan riwayatnya, wayang kulit Betawi tampil dengan penuh kesederhanaan, sehingga boleh dibilang menepikan aspek estetika, moral dan falsafah.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!