Nama Raden Saleh, dikancah sejarah seni
lukis Indonesia, hingga kini belum ada tandingannya. Bukan hanya
kepiawaiannya membuat lukisan realistik
yang mengundang decak kagum. Raden Saleh juga pionir dalam mengenalkan seni
lukis tanah air hingga ke tingkat Internasional. Kiprahnya membuat ia kenal
dekat dengan banyak raja dan pemimpin negara Eropa di awal abad ke-19. Untuk
menyongsong 200 tahun kelahirannya, Goethe-Institut
bersama Kedutaan Besar Jerman dan Galeri Nasional Indonesia menggelar pameran
lukisan Raden Saleh sejak 3-17 Juni 2012.
Sebanyak 40 lukisan cat minyak dan
gambar dari koleksi pribadi maupun koleksi publik dapat dilihat. Beberapa
bahkan dipinjam dari koleksi Istana Negara. Karya-karya masterpiece-nya,
seperti penangkapan Pangeran Diponegoro, perkelahian dengan singa dan serangan
harimau, seolah menjadi pengingat akan kualitas tinggi hasil karya Raden Saleh,
yang sekarang menjadi koleksi museum-museum besar di Indonesia dan mancanegara.
Belajar di Eropa
Sebagai seniman terkenal, beberapa hal
dari kehidupan Raden Saleh memang cukup misterius. Hingga kini, tahun kelahiran
Raden Saleh masih simpang siur. Sebagian ahli mengatakan tahun 1813 atau 1814,
sebagian lagi 1809 atau 1810. Raden Saleh lahir di Terboyo, Semarang, Jawa
Tengah dan meninggal di Bogor, Jawa Barat pada Senin, 23 April 1880. Ia dimakamkan di Kampung Bondongan, lebih kurang
500 meter dari Bogor Trade Mal sekarang.
Ayah Raden Saleh bernama
Sayid Husein bin Alwi bin Awal dan ibunya bernama mas Ajeng Zarip Husen.
Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabehi Ketosobo Bustam (1681-1759), seorang
asisten residen Terboyo. Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di kediaman
Kyai Adipati Soero Menggolo, Bupati Semarang, hingga tahun 1822. Sang Bupati
merupakan pamannya sendiri, karena Suro adalah anak ketujuh Kakek Buyut Raden
Saleh, Kyai Ngabehi Kertosobo Bustam.
Bakat alam Raden
Saleh tercium oleh Antonie Auguste Joseph Paijen (1792-1853), ketika tinggal di
Bogor. Paijen berkebangsaan Belgia, yang bekerja sebagai pelukis seni
pemerintah bagi Profesor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur
Pertanian, Seni dan Ilmu. Reindwardt masyhur sebagai pendiri kebun raya Bogor.
Selepas Paijen
kembali ke Eropa pada awal 1825, Raden Saleh beralih menjadi bagian keluarga
Belgia, Jean Baptise de Linge dan istrinya. Pada 1829, de Linge diperintahkan
oleh Komisaris Jenderal du Bus de Gesignies untuk melakukan perjalanan ke
Belanda. De Linge ditugaskan untuk melaporkan kondisi finansial koloni pada
raja. Inilah awal pengembaraan Raden Saleh untuk belajar dan mengasah insting
seninya di Eropa.
Di Eropa, Raden
Saleh mendapat kesempatan berkenalan dengan pelukis dan seniman yang menduduki
posisi puncak di lingkaran kerajaan-kerajaan Eropa. Raden Saleh juga menjalin
hubungan akrab dengan beberapa penguasa kerajaan Eropa, diantaranya Raja
Friedrich August II dari Saxony. Pelukis ini juga menetap di Coburg, Gotha dan
Paris. Saat di Belanda, Raja Willem I bahkan tertarik secara pribadi dengan
pelukis muda ini.
Di Den Haag, Raden
Saleh belajar melukis foto, membuat litografi, dan menyalin lukisan-lukisan
Rembrandt pada Cornelis Kruseman. Sempat juga dia belajar melukis pemandangan
pada Andreas Schelfhout. Setelah merasa mapan, Raden Saleh melukis Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendels. Pejabat kolonial lain yang
dilukis adalah Jean Chretien Baud dan Johannes van den Bosch.
Bosan dengan
lukisan manusia, Raden Saleh menekuni lukisan binatang. Di Belanda, Raden Saleh
beberapa kali menyelenggarakan pameran lukisan. Banyak pengunjung
terkagum-kagum akan lukisannya. Setelah menjelajah Eropa, pada 1851, Raden
pulang ke tanah air. Sebelum kembali ke Jawa, Raden Saleh menikah dengan Nona
Winkelman, yang menjadi istri pertamanya.
Di Jawa, Raden Saleh
digelari "Pelukis Sang Raja". Lukisannya banyak disimpan di Batavia.
Sayang, karena tidak ada yang merawat, banyak lukisannya menjadi rusak.
Sebagian menjadi hitam, beberapa lagi pudar dan sobek. Raden Saleh juga yang
kemudian menjadi konservator lukisannya. Pekerjaan ini dilakukan di rumahnya di
bilangan Cikini, Jakarta Pusat.
Napak Tilas Jejak Raden Saleh
Harsja W. Bachtiar dalam buku Raden
Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie, dan Nasionalisme menyebut, karena guru Raden
Saleh, Paijen adalah pelukis yang bekerja pada Prof. Reindwardt,
pendiri Kebun Raya Bogor, maka diyakini sang maestro banyak menghabiskan
waktunya di seputaran Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor. Di kota hujan ini,
Raden Saleh bukan hanya berkembang menjadi pelukis, tapi juga ilmuwan.
Selain Kebun Raya
Bogor, jejak Raden Saleh juga bisa ditemui di bekas kediamannya. Rumah ini
berada di belakang Hotel Bellevue yang kini menjadi Bogor Trade Mall (BTM).
Diperkirakan, rumah Raden Saleh kini merupakan Kantor Pelayanan Pajak Bogor
yang persis di sebelah BTM. Jaraknya sekitar 600 meter dari Pintu II Kebun Raya
Bogor. Bangunan kantor pajak ini, bangunan tua di lahan seluas 1 hektar,
terdiri dari empat bangunan utama. Sebelum ditempati Raden Saleh, bangunan itu
bekas kediaman Sultan Tamjidillah dari Banjarmasin yang pernah diasingkan ke
Bogor.
Raden Saleh juga
pernah bermukim di sebuah vila mewah yang berada di Cikini, Jakarta Pusat. Vila
mewah itu kini menjadi aula dan kantor direksi RS PGI Cikini. Detail dan
ornamen bangunan bergaya arsitektur Gotik Moor itu tetap dipertahankan. Salah
satu ruangan di gedung berlantai dua itu didedikasikan kepada Raden Saleh untuk
menyimpan beberapa perabot asli milik Raden Saleh seperti meja, kursi, dan
lemari.
Barangkali jejak
paling kentara tentang Raden Saleh adalah di tempat peristirahatan terakhirnya.
Informasi sejarah Raden Saleh terdapat pada dinding pemakaman yang dilapisi
kaca. Di area pemakaman terdapat informasi riwayat masa kecil, sejarah singkat
dia menghabiskan usia senja, serta replika beberapa karya monumentalnya, di
antaranya potret Herman Willem Daendels dan lukisan penangkapan Pangeran
Diponegoro. Makam ini dipugar dua kali. Pertama, September 1953, pada zaman
Presiden Soekarno. Kedua, Mei 2006, oleh Galeri Nasional Indonesia.
Kompleks
makam seluas 424 meter persegi itu berada di belakang gang yang hanya bisa
dilalui sepeda motor. Papan penunjuk arah menuju makam juga sangat kecil dan
tersembunyi di antara papan-papan reklame raksasa di sekitarnya. Makam Raden
Saleh tidak nampak seperti makam tokoh besar. Padahal saat pemakamannya,
sekitar 2000 orang
yang terdiri dari para pembesar/bangsawan Belanda, bangsawan Sunda, tuan tanah
Arab dan Cina, serta masyarakat umum ikut melepasnya.
Hal yang
mengejutkan para peziarah adalah data jika ditarik garis lurus, makam Raden
Saleh satu garis sumbu dengan pusat Istana Bogor dan Kebun Raya Bogor, tempat
yang pernah dikunjungi dan menghabiskan waktu Raden Saleh waktu kecil. Raden
Saleh minta dimakamkan di situ, di samping makam isterinya yang lain, Raden Ayu
Danasasmita. Sebelumnya, Raden Saleh memerintahkan istrinya itu, seorang wanita
keturunan Pangeran Diponegoro, dimakamkan di tempat tersebut lebih dulu.
Raden Saleh diduga
tahu betul jati diri dan kedudukannya, hingga dengan sadar ia memilih untuk
dimakamkan di situ. Ia pernah tinggal di Paris, Perancis dan tahu bahwa
titik-titik penting atau bangunan-bangunan mengandung makna penting
(bersejarah) atau melibatkan orang penting di kota itu berada dalam satu sumbu
lurus. Meski beberapa replika kini mulai berlumut, tapi kondisi makam
Raden Saleh secara umum masih terawat.
Kegiatan Ilmiah
Tak hanya sibuk melukis, para ahli sejarah menemukan Raden Saleh juga terlibat dalam
banyak kegiatan ilmiah. Misalnya, Desember 1865, Raden Saleh mencari fosil di
Banyunganti, Kabupaten Sentolo, Jawa Tengah. Di bidang pertanian, Raden Saleh
aktif dalam kegiatan ilmiah bersama pakar terkemuka dari Belanda. Dia juga
bergabung dengan Leopoldinisch-Carolinische Deutsche Akademie der
Naturforscher, yakni lembaga yang memiliki minat sama dengan kebun botani
Reinwardt di Bogor.
Raden Saleh
berjasa bagi warga Sunda. Salah satunya, menemukan Prasasti Sultan Agung di
kandang sapi di Karawang Selatan. Prasasti itu kini tersimpan di Museum
Nasional, Jakarta. Prasasti tersebut merupakan sumber penting untuk mempelajari
Kerajaan Pajajaran di Jawa Barat. Keputusan dirinya harus dimakamkan di
Bondongan, Kota Bogor, juga karena Raden Saleh tahu betul bahwa Bondongan
adalah bagian dari wilayah Keraton (Pakuan) Pajajaran.
Sayang, peran
besar Raden Saleh itu kini terlupakan. Katalog karya Raden Saleh pun sampai
saat ini belum ada. Kondisi fisik bekas kediamannya di Cikini kian
memprihatinkan, meski keasliannya masih terjaga. Padahal studi mendalam tentang
sosok Raden Saleh menemukan bukti, ia tak hanya berjasa mengharumkan nama
Indonesia lewat lukisan. Raden Saleh juga
seorang nasionalis, menentang kolonialisme dengan caranya sendiri, dan
menganggap derajat dirinya lebih tinggi dari bangsawan kolonial Belanda.
Dengan segala
hambatan berupa ketegangan kolonialisme dan beban mental inlander yang
menjangkiti warga pribumi yang terjajah, Raden Saleh dapat melampui penjara
mental yang mengekang kehidupan. Dia berhasil memukau petinggi-bangsawan Eropa
dengan lukisan artistik dan menyentuh.
Sikap kosmopolitan
yang dipraktikkan Raden Saleh, mengekalkan namanya sebagai pelukis masyhur yang
mendapat tempat pada perbincangan kesenian Eropa. Raden Saleh berjasa besar
dalam membentuk citra, menyimpulkan tanda dan menjelaskan fragmen perjuangan
warga pribumi pada karya lukis bernilai estetis. Ia adalah legenda.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih atas kunjungan anda!