Daftar Isi

Friday, August 17, 2012

catatan kecil tentang "lewat djam malam"


Film klasik “Lewat Djam Malam” (LDM) akhirnya diputar di Festival Film Cannes, Perancis. Inilah pertama kali film klasik Indonesia menarik perhatian sineas terkenal Hollywood, Martin Scorsese, yang merestorasi kembali film tersebut, sebelum diedarkan di depan publik.

Film karya sutradara besar Usmar Ismail itu diproduksi tahun 1954. Awalnya, film berformat hitam putih itu dalam kondisi yang mengenaskan dan tidak layak tonton.  Setelah selama 1,5 tahun direstorasi, film itu diputar di ajang Cannes Film Festival 2012 pada 17 Mei lalu. LDM diputar lewat acara Cannes Classic dan mendapat apresiasi besar dari para sineas internasional yang hadir disana.

Keberhasilan LDM direstorasi adalah berkat kerja keras pihak Konfiden, Kineforum dan Sinematek. Ketiga institusi ini berkolaborasi dengan pihak National Museum of Singapore (NMS) yang akhirnya menyerahkan LDMpada L'Immagine Ritrovata, di Bologna Italia, satu-satunya laboratorium film di dunia yang fokus pada restorasi film. Kebesaran LDM pun akhirnya menarik minat World Cinema Foundation (WCF) yang turut membantu dalam hal pembiayaan restorasi. WCF adalah yayasan yang didirikan oleh sineas besar Hollywood; Martin Scorsese.

Tamparan Bagi Bangsa
Jalan untuk merestorasi film ini dimulai tahun 2010 lalu, ketika perwakilan National Museum of Singapore, Philip Cheah, menghubungi Lisabona Rahman selaku manajer program Kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Philip menawarkan penerbitan Katalog Film Indonesia karya JB Kristanto dalam Bahasa Inggris. Dalam perjalanannya, ide restorasi kemudian dimunculkan,walau, proses restorasi sendiri tidak semulus yang dikira.

Berthy Ibrahim selaku Kepala Sinematek Indonesia menyatakan, diperlukan waktu lama untuk merestorasi film ini hingga sempurna. “Kondisi film yang sudah sangat rusak bahkan dihinggapi oleh jamur membuat proses restorasi berjalan lambat,” ujar Berthy. Memang setelah jadi, pekerjaan itu tidak sia-sia. LDM berhasil ditampilkan dengan mulus, termasuk tata suara yang jernih hingga berhasil membetot perhatian penonton festival film Cannes.

Terpilihnya LDM untuk direstorasi sendiri bukanlah tanpa alasan. Ada diskusi panjang menyertainya, sebelum keputusan diambil. Salah satunya adalah menimbang sosok Usmar Ismail. Selain sebagai bapak perfilman Indonesia, Usmar juga merupakan seorang sutradara Indonesia pertama yang memperlakukan film sebagai ekspresi pribadi. Menurut JB. Kristanto, penggagas restorasi, LDM dipilih karena film ini memiliki kualitas naratif serta kepentingan sejarahnya yang luar biasa.

Film LDM memuat sejumlah wawasan penting tentang masyarakat Asia Tenggara dan transisinya menjadi bangsa yang merdeka. Film ini juga meraih penghargaan bersama film Tarmina sebagai film terbaik Festival Film Indonesia tahun 1955. Pemeran utamanya, A.M.Alcaff juga terpilih sebagai aktor terbaik di ajang yang sama. Mungkin bisa disebut film ini karya terbaik Usmar Ismail. Film ini dipertunjukan pertama kali pada 5 Desember 1954 di Kebondjae, Tanah Abang, Jakarta. 

Pesan moral yang disampaikan Asrul Sani lewat skenario LDM juga sangat kuat.  Asrul membubuhkannya lewat catatan di akhir film.Kepada mereka yang telah memberikan sebesar-besar pengorbanan nyawa mereka, supaya kita yang hidup pada saat ini dapat menikmati segala kelezatan buah kemerdekaan. Kepada mereka yang tidak menuntut apapun buat diri mereka sendiri.” Ada ironi. Ada tragedi. Pesan ini masih relevan dikenang di zaman sekarang. Bahwa seringkali buah dari revolusi itu yang menikmati bukanlah pejuang revolusi, tapi para penghianat revolusi.Sementara pejuang sesungguhnya lebih hanya menghitung dosa-dosa.

Apa yang diungkap Asrul, kemudian dibahasakan secara filmis oleh Usmar Ismail bisa jadi sebuah tamparan menyakitkan bagi bangsa ini. Namun diluar soal tema, decak kagum pantas kita berikan, mengingat peralatan dan teknologi pembuatan film di tahun 1954 belumlah secanggih sekarang. Tapi Usmar berhasil membuat film yang bagus. Jika disebut ada kelemahan, barangkali terletak pada gaya narasi berpanjang-panjang di akhir film,serta pengungkapan kegelisahan tokoh utamanya yang kurang subtil dan terlampau fisik.

Perhatian Pemerintah
Alex Sihar dari Komite Film Dewan Kesenian Jakarta yang juga Ketua Yayasan Konfiden, mengatakan restorasi film LDM diharapkan bisa membuka mata banyak pihak tentang pentingnya arsip film bagi sejarah bangsa. Restorasi yang seharusnya dibiayai oleh Pemerintah cq kementerian kebudayaan, tapi nyatanya dibiayai oleh pihak lain. Fakta ini menuai keprihatinan berbagai pihak, sampai almarhum Misbach Yusa Biran berinisiatif untuk menyimpan dan mengarsip film nasional, lewat lembaga Sinematek yang dikelolanya.

Terkait keterlibatan Martin Scorsese, beberapa kritikus film mengatakan restorasi film yang dilakukan pihak asing menunjukkan bahwa Indonesia teledor terhadap kearsipan film yang merekam jejak kebudayaan bangsa. Karya film adalah rekam jejak budaya, karena setiap karya film yang dibuat pasti memuat unsur budaya dan kondisi budaya dan menggambarkan situasi saat film tersebut dibikin. Rekaman itulah yang merupakan informasi yang sangat berharga, yang merupakan jejak sejarah dan budaya.

Untuk menyebarkan pesan positif film LDM, film ini akhirnya diputar secara komersial di bioskop Indonesia. Pemutaran film ini diharapkan dapat menarik minat publik terhadap pelestarian artefak film yang tersimpan di pusat informasi dan dokumentasi film Indonesia. Para sineas juga berharap, dengan proyek perdana ini, nantinya pemerintah mempunyai perhatian terhadap dokumentasi film Indonesia, dan mau membiayai restorasi film karya sineas Indonesia masa lalu.

Sosok Usmar Ismail
Bicara soal LDM, tentu tak bisa lari dari sosok Usmar Ismail, yang berhasil meramu LDM menjadi sebuah tontonan yang memikat.Usmar lahir pada tahun 1921 di Bukittinggi, Sumatera Barat dan meninggal pada tahun 1971. Di tahun 1946, saat kembali ke Jakarta setelah mengungsi di Yogyakarta, sebagai wartawan yang ikut meliput Perjanjian Renville, Usmar Ismail ditangkap pihak Belanda dan baru dibebaskan pada tahun 1949.

Pada bulan Maret 1950, Usmar membentuk Perusahaan Film Nasional Indonesia (PERFINI) dengan kantor pusatnya di Jl. Menteng Raya, Jakarta Pusat. Di saat yang sama, bersama Djamaluddin Malik (ayahanda Camelia Malik) Usmar membentuk Perseroan Artis Film Indonesia (PERSARI). Dari sinilah lahir film The Long Marchatau Darah dan Doa yang syuting pertamanya pada 30 Maret 1950. Pada tanggal itulah dijadikan sebagai Hari Film Indonesia atau hari kelahiran Film Indonesia.

Pada tahun 1952 - 1953, Usmar Ismail sempat mengenyam studi di Universitas Los Angeles jurusan film dan mendapat gelar Bachelor Of Art. Usai sekolah, tahun 1954 Usmar Ismail dan Djamaludin Malik mulai membentuk organisasi Gabungan Produser Film Indonesia, kemudian menjadi Perserikatan Produser Film Indonesia dan akhirnya  berubah menjadi Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). Saat PKI menguat, Usmar Ismail, Djamaluddin Malik dan Asrul Sani bergabung dengan LESBUMI (Lembaga Seniman Budaya Muslim Indonesia) yang merupakan organ dari Partai Nahdlatul Ulama (NU).


Tahun 1955, nasib perfilman Indonesia mengalami masa surut karena harus menghadapi persaingan ketat dari film-film Malaya (Malaysia kini) dan menyusul maraknya film-film India. Film asal kedua negara ini sangat menyedot penonton kelas menengah dan bawah. Sementara bioskop-bioskop kelas atas menolak memutar film nasional dan dimonopoli oleh film-film impor dari Amerika Serikat (dengan AMPAI-nya), J. Arthur Park dari Inggris dan beberapa film dari perusahaan film dari Belanda.

Namun di tahun yang sama, Festival Film Indonesia lahir dan menuai hasil yang kontroversial. Saat itu Film Terbaik jatuh pada Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail, tetapi Sutradara Terbaik adalah Lilik Soedjio lewat film Tarmina. Sementara Aktor dan Aktris Terbaiknya masing-masing dua orang dari kedua film itu: AN Alcaff dan Abdul Hadi serta Dhalia dan Fifi Young. Nama Usmar Ismail semakin melegenda, saat tahun 1960 berhasil mengantar Suzanna sebagai Artis Cilik Terbaik di film Asmara Dara di ajang Festival Asia di Tokyo. Sejarah kemudian mencatat Usmar Ismail sebagai bapak perfilman Indonesia.


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!