Daftar Isi

Friday, June 29, 2012

Di Selo, waktu seperti berhenti berdetak


merapi pagi hari
Dari ketinggian 1600 meter di permukaan laut (dpl), wajah gunung Merapi, Merbabu dan Lawu nampak tertutup kabut, saat saya menjejakan kaki di bangunan bernama Joglo Wisata II, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Jarum jam masih menunjuk di angka 05.00 WIB. Udara dingin menyambar-nyambar ganas, ditingkahi tempias embun pagi, membuat darah seperti membeku keras. Seiring naiknya sinar matahari, puncak Merapi yang legendaris itu terlihat menguning, laksana bongkahan emas di puncak Monumen Nasional.

Pagi itu, Joglo Wisata masih sepi. Biasanya dari sinilah para pendaki Gunung Merapi mengawali langkahnya. Bangunan yang mudah dikenali karena ada tulisan besar “New Selo” itu dibuat tahun 2003, saat Mantan Presiden Megawati mengunjungi Selo. Sebelum Megawati, konon Bung Karno juga pernah menjenguk tempat ini. Untuk mencapai puncak Merapi, dari sini pendaki hanya butuh waktu tiga jam jalan kaki, yang biasanya dilakukan saat tengah malam.

***
Lereng Selo memang kalah terkenal dengan kawasan wisata Kaliurang, Yogyakarta.  Banyak kendala yang menghambat pembangunan Kecamatan Selo sebagai pusat plesiran.  Tak seperti Kaliurang, untuk mencapai lereng Selo, jalan yang menghubungkannya dengan pusat Kota Boyolali terkenal sempit.  Bus besar yang biasa dipakai untuk mengangkut wisatawan tidak bisa masuk, karena saat berpapasan dengan mobil lain harus minggir hingga memakan bahu jalan.

Banyak obyek wisata menarik yang bisa dikunjungi di Selo. Diantaranya wisata budaya, berupa labuhan kepala kerbau oleh  Keraton Solo di Puncak Merapi.  Begitu pula tiap tanggal 17 Agustus, ada upacara penaikan bendera merah putih di Puncak Merapi. Selo juga menawarkan pemandian pengging, yang kerap dipakai untuk kegiatan ritual kejawen. 
salah satu homestay

Sejauh ini, wisatawan yang berkunjung banyak didominasi dari dalam negeri. Wisatawan asing yang berkunjung ke Selo, biasanya memilih untuk mendaki Puncak Merapi. Mereka menginap di rumah-rumah penduduk, yang disulap menjadi homestay dengan tarif murah, sekitar Rp 40 ribu per malam. Tarif itu sudah termasuk makan pagi, dengan lauk ala kadarnya. Tapi kata Seno Samudro, Bupati Boyolali,  justru inilah yang banyak dicari oleh wisatawan asing. Mereka enggan menginap di hotel yang banyak bertebaran di Kota Boyolali !

***
Pendakian Gunung Merapi sendiri sudah dikelola cukup baik, dengan guide dan porter yang bisa meringankan para pengunjung untuk menikmati keeksotisan Merapi. Tarif guide sekitar Rp 200 ribu untuk perjalanan naik-turun. Sementara porter mematok harga Rp 150 ribu.  Tarif itu hanya sampai di lokasi bernama Pasar Bubrah. Ini pasar imajinatif, berupa hamparan luas batu-batu besar mirip lapak-lapak pasar. Konon di tempat inilah para dedemit Gunung Merapi “berdagang”.

Jika pengunjung ingin memakai jasa guide dan porter lebih ke atas lagi, harus ada harga baru. Tawar menawar bisa dilakukan, untuk mendapatkan harga terbaik. Setelah sepakat, barulah para pendaki diantar “berkunjung” ke petilasan Mbah Joyo, Watu Gajah Mungkur, tempat Gusti Prabu Alap-Alap dan tempat Kyai Petruk. Nama-nama tersebut adalah para pepunden alias penunggu tempat-tempat wingit di lereng Gunung Merapi.

Keangkeran tempat-tempat itu, membuat fungsi guide menjadi lumayan vital. Dialah yang mengingatkan pendaki, agar mematuhi aturan tak tertulis selama dalam perjalanan.  Diantaranya, para pendaki tak boleh mengeluh, apapun kondisi yang dialaminya. “Kalau kedinginan, jangan mengeluh kedinginan. Juga aturan-aturan lain, yang jadi pantangan selama mendaki. Pokoknya guide menjadi penunjuk jalan dan pemberi peringatan, supaya pendakian berjalan lancar,”kata Tri Joko, ketua kelompok sadar wisata Kecamatan Selo.

Hampir saban malam ada kelompok wisatawan yang ingin naik gunung. Mereka biasanya berangkat pukul 23.00 WIB dan sampai puncak dini hari, hingga bisa melihat matahari terbit.  Keramaian mencapai puncaknya saat peringatan 1 Suro. Ketika itu, labuhan kepala kerbau digelar.  Joglo Wisata II bisa penuh oleh pengunjung, yang hendak ke puncak. Tak heran, di sekitar bangunan itu banyak berdiri kios-kios yang menjual kebutuhan wisatawan, seperti makanan dan minuman.

***
Letak Selo yang berada di lereng gunung, membuat potensi agrowisata juga mendapat sentuhan serius. Menurut Tri Joko, ada sekitar 50 rumah yang siap menampung pengunjung yang datang berombongan. “Kita menyebutnya kampung home stay,”ujar Joko. Untuk menikmati sejumlah tempat wisata yang ada, penduduk setempat membuat sistem paket wisata, yang harus diikuti minimal 30 orang. “Pengunjung bisa memilih apa mau tinggal satu hari atau dua hari,”sambung Joko.

Sistem paket biasa di-booking oleh perusahaan, yang ingin memberi hiburan pada karyawannya.  Untuk paket satu hari, pengunjung akan mendapat well come drink, menonton keindahan panorama Selo di Selo theater, dihibur tarian topeng hitam, outbound dan makan siang. Juga ada kegiatan memetik sayur, memerah susu dan mengunjungi pusat kerajinan kuningan di Tumang, sekitar 4 kilometer dari puncak Selo.
penduduk Selo sedang memerah sapi
Jika memilih paket dua hari, tambahan atraksi wisata diberikan, berupa pengenalan mainan cokekan, kenduren nasi gunung, serta mengunjungi wahana Gua Raja, petilasan Prabu Kanigoro dan melihat-lihat tempat pengamatan Gunung Merapi, yang dilengkapi dengan seismograf. Kalau masih ada waktu, bisa juga melihat-lihat kebun tembakau, selada dan buah khas Selo yaitu kesemek. Pengunjung bisa langsung mencicipi kesemek setelah dipetik. Untuk menikmati paket wisata ini, tiap orang kena tarif sebesar Rp 75 ribu per hari.
suasana tenang perkampungan
Layaknya hawa pegunungan, suhu udara bisa turun hingga 18 derajat celcius. Persiapan matang pun harus dilakukan, sebelum memutuskan untuk menginap. Baju tebal dan selimut untuk tidur wajib dibawa, kalau tidak ingin “membeku” saat rehat di kamar. Begitu juga air untuk mandi. “Kalau nggak kuat mandi dengan air dari sumur langsung, lebih baik dipanaskan dulu. Karena kalau belum biasa disini, seperti mandi dengan air es,”ujar Joko mewanti-wanti.

Namun hawa dingin yang mendera, mungkin bisa sedikit terusir, jika kita turun sebentar ke Pasar Selo. Di sini terkenal dengan jadah goreng yang nikmat saat dimakan dengan minuman kopi. Pilihan kuliner lain bisa dipilih, jika menghendaki variasi makanan. Nasi campur ala Selo wajib dicicipi, sebelum beranjak meninggalkan homestay. Selebihnya, makanan ringan untuk oleh-oleh bisa dikunjungi, sebagai buah tangan untuk orang rumah.
***
Selain agrowisata, Selo juga menyimpan potensi berupa daerah penghasil kerajinan kuningan dan tembaga. Jika memasuki kampung Tumang, hampir 90 persen penduduknya menggantungkan hidup sebagai pengrajin kuningan. Hasil kerajinan kuningan dari Tumang tak hanya beredar di dalam negeri. Tapi juga sampai diekspor ke luar negeri. Pembeli dari mancanegara biasanya memesan barang di Tumang tanpa merk, kemudian menjualnya kembali dengan merk mereka sendiri. Kondisi ini sudah berlangsung sejak almarhum Supri Haryanto merintis kerajinan kuningan tahun 1983 lalu.
ruang pamer kerajinan kuningan
Pemilik Muda Tama Galery, Agus Haryanto misalnya. Anak Supri Haryanto ini sering mengekspor produknya ke Perancis dan Amerika Serikat, tanpa embel-embel merk perusahaannya. Agus mengaku tak bisa berbuat banyak, karena lebih memilih untuk menjaga kesinambungan pesanan. Apalagi sejak ayahnya meninggal, persaingan semakin ketat, sebab banyak karyawan ayahnya yang membuka galeri sendiri.

Di tempat Agus, berbagai alat rumah tangga, hiasan dinding dan pernak-pernik dari kuningan dan tembaga dibuat. Tidak tanggung-tanggung, agar kualitasnya terjaga, Agus mengaku mendatangkan kuningan langsung dari Italia dan Korea Selatan. “Kuningan dari Itali maupun Korea lebih mudah dibentuk. Bahannya lebih lentur dan tidak mudah pecah,”kata Agus. Tiap bulan, Agus mampu mengekspor perangkat dari kuningan dengan nilai ekspor sekitar Rp 150-200 juta.

tekun membuat barang kerajinan
Pasar lokal juga tak luput dari bidikan Agus. Produk kaligrafi tercatat yang paling laku dibeli. Agus mempromosikan usahanya dari mulut ke mulut. Selain itu, ia juga sering mengikuti pameran kerajinan yang kerap diselenggarakan pemerintah pusat. Agus juga banyak mendapat pelanggan atas rekomendasi pemerintah Kabupaten Boyolali, jika ada pihak yang ingin membeli barang dari kuningan, tembaga atau aluminium.

Tumang memang menawarkan sisi lain ketenangan Selo, dengan dentingan palu godam dan suara pahat yang bertalu-talu memecah kesunyian. Namun karena jaraknya tak jauh dari puncak Selo, suasana tenteram masih terlihat nyata. Mereka bekerja seperti anak sekolah, dengan jam kerja yang ditentukan lewat bunyi bel; kapan mulai mengelas dan kapan istirahat. Usai berkarya, sekitar pukul 17.00 WIB, para pekerja itu kembali ke rumah masing-masing, berkumpul dengan anak dan istri. Keheningan kembali menyergap, dengan desau angin  khas suasana pegunungan mengalir lirih, membuat waktu di Selo seperti berhenti berdetak.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!