merapi pagi hari |
Dari
ketinggian 1600 meter di permukaan laut (dpl), wajah gunung Merapi, Merbabu dan
Lawu nampak tertutup kabut, saat saya menjejakan kaki di bangunan bernama Joglo
Wisata II, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, awal Juni lalu. Jarum jam masih menunjuk di angka
05.00 WIB. Udara dingin menyambar-nyambar ganas, ditingkahi tempias embun pagi,
membuat darah seperti membeku keras. Seiring naiknya sinar matahari, puncak
Merapi yang legendaris itu terlihat menguning, laksana bongkahan emas di puncak
Monumen Nasional.
Pagi
itu, Joglo Wisata masih sepi. Biasanya dari sinilah para pendaki Gunung Merapi
mengawali langkahnya. Bangunan yang mudah dikenali karena ada tulisan besar
“New Selo” itu dibuat tahun 2003, saat Mantan Presiden Megawati mengunjungi
Selo. Sebelum Megawati, konon Bung Karno juga pernah menjenguk tempat ini.
Untuk mencapai puncak Merapi, dari sini pendaki hanya butuh waktu tiga jam
jalan kaki, yang biasanya dilakukan saat tengah malam.
***
Lereng
Selo memang kalah terkenal dengan kawasan wisata Kaliurang, Yogyakarta. Banyak kendala yang menghambat pembangunan
Kecamatan Selo sebagai pusat plesiran.
Tak seperti Kaliurang, untuk mencapai lereng Selo, jalan yang
menghubungkannya dengan pusat Kota Boyolali terkenal sempit. Bus besar yang biasa dipakai untuk mengangkut
wisatawan tidak bisa masuk, karena saat berpapasan dengan mobil lain harus
minggir hingga memakan bahu jalan.
Banyak
obyek wisata menarik yang bisa dikunjungi di Selo. Diantaranya wisata budaya,
berupa labuhan kepala kerbau oleh
Keraton Solo di Puncak Merapi. Begitu
pula tiap tanggal 17 Agustus, ada upacara penaikan bendera merah putih di Puncak
Merapi. Selo juga menawarkan pemandian pengging, yang kerap dipakai untuk
kegiatan ritual kejawen.
salah satu homestay |
Sejauh
ini, wisatawan yang berkunjung banyak didominasi dari dalam negeri. Wisatawan
asing yang berkunjung ke Selo, biasanya memilih untuk mendaki Puncak Merapi.
Mereka menginap di rumah-rumah penduduk, yang disulap menjadi homestay dengan
tarif murah, sekitar Rp 40 ribu per malam. Tarif itu sudah termasuk makan pagi,
dengan lauk ala kadarnya. Tapi kata Seno Samudro, Bupati Boyolali, justru inilah yang banyak dicari oleh wisatawan
asing. Mereka enggan menginap di hotel yang banyak bertebaran di Kota Boyolali
!
***
Pendakian
Gunung Merapi sendiri sudah dikelola cukup baik, dengan guide dan porter yang
bisa meringankan para pengunjung untuk menikmati keeksotisan Merapi. Tarif
guide sekitar Rp 200 ribu untuk perjalanan naik-turun. Sementara porter mematok
harga Rp 150 ribu. Tarif itu hanya
sampai di lokasi bernama Pasar Bubrah. Ini pasar imajinatif, berupa hamparan
luas batu-batu besar mirip lapak-lapak pasar. Konon di tempat inilah para
dedemit Gunung Merapi “berdagang”.
Jika
pengunjung ingin memakai jasa guide dan porter lebih ke atas lagi, harus ada
harga baru. Tawar menawar bisa dilakukan, untuk mendapatkan harga terbaik.
Setelah sepakat, barulah para pendaki diantar “berkunjung” ke petilasan Mbah
Joyo, Watu Gajah Mungkur, tempat Gusti Prabu Alap-Alap dan tempat Kyai Petruk.
Nama-nama tersebut adalah para pepunden alias penunggu tempat-tempat wingit di
lereng Gunung Merapi.
Keangkeran
tempat-tempat itu, membuat fungsi guide menjadi lumayan vital. Dialah yang
mengingatkan pendaki, agar mematuhi aturan tak tertulis selama dalam
perjalanan. Diantaranya, para pendaki
tak boleh mengeluh, apapun kondisi yang dialaminya. “Kalau kedinginan, jangan
mengeluh kedinginan. Juga aturan-aturan lain, yang jadi pantangan selama
mendaki. Pokoknya guide menjadi penunjuk jalan dan pemberi peringatan, supaya
pendakian berjalan lancar,”kata Tri Joko, ketua kelompok sadar wisata Kecamatan
Selo.
Hampir
saban malam ada kelompok wisatawan yang ingin naik gunung. Mereka biasanya
berangkat pukul 23.00 WIB dan sampai puncak dini hari, hingga bisa melihat
matahari terbit. Keramaian mencapai puncaknya
saat peringatan 1 Suro. Ketika itu, labuhan kepala kerbau digelar. Joglo Wisata II bisa penuh oleh pengunjung,
yang hendak ke puncak. Tak heran, di sekitar bangunan itu banyak berdiri
kios-kios yang menjual kebutuhan wisatawan, seperti makanan dan minuman.
***
Letak
Selo yang berada di lereng gunung, membuat potensi agrowisata juga mendapat
sentuhan serius. Menurut Tri Joko, ada sekitar 50 rumah yang siap menampung
pengunjung yang datang berombongan. “Kita menyebutnya kampung home stay,”ujar
Joko. Untuk menikmati sejumlah tempat wisata yang ada, penduduk setempat
membuat sistem paket wisata, yang harus diikuti minimal 30 orang. “Pengunjung
bisa memilih apa mau tinggal satu hari atau dua hari,”sambung Joko.
Sistem
paket biasa di-booking oleh
perusahaan, yang ingin memberi hiburan pada karyawannya. Untuk paket satu hari, pengunjung akan
mendapat well come drink, menonton keindahan panorama Selo di Selo theater,
dihibur tarian topeng hitam, outbound dan makan siang. Juga ada kegiatan
memetik sayur, memerah susu dan mengunjungi pusat kerajinan kuningan di Tumang,
sekitar 4 kilometer dari puncak Selo.
penduduk Selo sedang memerah sapi |
Jika
memilih paket dua hari, tambahan atraksi wisata diberikan, berupa pengenalan
mainan cokekan, kenduren nasi gunung, serta mengunjungi wahana Gua Raja,
petilasan Prabu Kanigoro dan melihat-lihat tempat pengamatan Gunung Merapi,
yang dilengkapi dengan seismograf. Kalau masih ada waktu, bisa juga
melihat-lihat kebun tembakau, selada dan buah khas Selo yaitu kesemek. Pengunjung
bisa langsung mencicipi kesemek setelah dipetik. Untuk menikmati paket wisata
ini, tiap orang kena tarif sebesar Rp 75 ribu per hari.
suasana tenang perkampungan |
Layaknya
hawa pegunungan, suhu udara bisa turun hingga 18 derajat celcius. Persiapan
matang pun harus dilakukan, sebelum memutuskan untuk menginap. Baju tebal dan
selimut untuk tidur wajib dibawa, kalau tidak ingin “membeku” saat rehat di
kamar. Begitu juga air untuk mandi. “Kalau nggak kuat mandi dengan air dari
sumur langsung, lebih baik dipanaskan dulu. Karena kalau belum biasa disini,
seperti mandi dengan air es,”ujar Joko mewanti-wanti.
Namun
hawa dingin yang mendera, mungkin bisa sedikit terusir, jika kita turun
sebentar ke Pasar Selo. Di sini terkenal dengan jadah goreng yang nikmat saat
dimakan dengan minuman kopi. Pilihan kuliner lain bisa dipilih, jika
menghendaki variasi makanan. Nasi campur ala Selo wajib dicicipi, sebelum
beranjak meninggalkan homestay. Selebihnya, makanan ringan untuk oleh-oleh bisa
dikunjungi, sebagai buah tangan untuk orang rumah.
***
Selain
agrowisata, Selo juga menyimpan potensi berupa daerah penghasil kerajinan
kuningan dan tembaga. Jika memasuki kampung Tumang, hampir 90 persen
penduduknya menggantungkan hidup sebagai pengrajin kuningan. Hasil kerajinan
kuningan dari Tumang tak hanya beredar di dalam negeri. Tapi juga sampai
diekspor ke luar negeri. Pembeli dari mancanegara biasanya memesan barang di
Tumang tanpa merk, kemudian menjualnya kembali dengan merk mereka sendiri.
Kondisi ini sudah berlangsung sejak almarhum Supri Haryanto merintis kerajinan
kuningan tahun 1983 lalu.
ruang pamer kerajinan kuningan |
Pemilik
Muda Tama Galery, Agus Haryanto misalnya. Anak Supri Haryanto ini sering
mengekspor produknya ke Perancis dan Amerika Serikat, tanpa embel-embel merk
perusahaannya. Agus mengaku tak bisa berbuat banyak, karena lebih memilih untuk
menjaga kesinambungan pesanan. Apalagi sejak ayahnya meninggal, persaingan
semakin ketat, sebab banyak karyawan ayahnya yang membuka galeri sendiri.
Di
tempat Agus, berbagai alat rumah tangga, hiasan dinding dan pernak-pernik dari
kuningan dan tembaga dibuat. Tidak tanggung-tanggung, agar kualitasnya terjaga,
Agus mengaku mendatangkan kuningan langsung dari Italia dan Korea Selatan.
“Kuningan dari Itali maupun Korea lebih mudah dibentuk. Bahannya lebih lentur
dan tidak mudah pecah,”kata Agus. Tiap bulan, Agus mampu mengekspor perangkat
dari kuningan dengan nilai ekspor sekitar Rp 150-200 juta.
tekun membuat barang kerajinan |
Pasar
lokal juga tak luput dari bidikan Agus. Produk kaligrafi tercatat yang paling
laku dibeli. Agus mempromosikan usahanya dari mulut ke mulut. Selain itu, ia
juga sering mengikuti pameran kerajinan yang kerap diselenggarakan pemerintah
pusat. Agus juga banyak mendapat pelanggan atas rekomendasi pemerintah Kabupaten
Boyolali, jika ada pihak yang ingin membeli barang dari kuningan, tembaga atau
aluminium.
Tumang
memang menawarkan sisi lain ketenangan Selo, dengan dentingan palu godam dan
suara pahat yang bertalu-talu memecah kesunyian. Namun karena jaraknya tak jauh
dari puncak Selo, suasana tenteram masih terlihat nyata. Mereka bekerja seperti
anak sekolah, dengan jam kerja yang ditentukan lewat bunyi bel; kapan mulai
mengelas dan kapan istirahat. Usai berkarya, sekitar pukul 17.00 WIB, para
pekerja itu kembali ke rumah masing-masing, berkumpul dengan anak dan istri.
Keheningan kembali menyergap, dengan desau angin khas suasana pegunungan mengalir lirih,
membuat waktu di Selo seperti berhenti berdetak.