Daftar Isi

Thursday, May 10, 2012

pesan "keramat"

Mewawancarai tokoh etiket sekaliber Mien Uno, tentu punya kesan tersendiri. Saya bertemu dengan beliau di sebuah acara di Grand Indonesia, Jakarta, akhir April 2012. Bu Mien datang, dan segera saya minta kenalan. Ini pertama kali saya bertemu, walau sepak terjang Bu Mien sebagai tokoh perempuan sudah sering saya baca di media massa. Saat saya tawarkan untuk masuk ke rubrik yang saya jaga, beliau mau. Bu Mien hanya tanya kapan date line-nya, agar bisa diatur waktu untuk bertemu. Setelah saya usulkan di rapat, Bu Mien saya kontak lewat pesan pendek.

Mien Uno dalam sebuah kesempatan
Mulanya saya sempat down. Pasalnya Bu Mien enggan foto-foto keluarganya di publis. Alasannya, mereka pasti tidak mau. Wah, saya sempat berfikir kesempatan ini bakal tertutup, jika Bu Mien masih bersikukuh dengan pendapatnya. Saya tidak putus asa. Pada beliau, saya tawarkan untuk mempublis satu saja foto keluarga, walau foto lama saat dua anaknya masih kecil. "Supaya pembaca bisa melihat secara visual keharmonisan keluarga ibu,"kata saya. Bu Mien tidak mengiyakan. Ia hanya menyuruh saya datang, agar bisa berdialog bagaimana baiknya.

Rumah di Jalan Jenggala 2 atau tepatnya di kantor MRUF alias Mien R Uno Foundation di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pun saya datangi. Ini rumah yang dirubah menjadi kantor. Penyandang dananya Sandiaga Uno, anak Ibu Mien yang sukses berat sebagai pengusaha muda. Tak lama Ibu Mien datang.  Juga fotografer saya. 

Oh, ya, mungkin karena beliau pakar etiket, sebelum aku datang sempat ditawari mau disediakan makan apa?Saya tentu saja kaget. Karena seumur-umur jadi wartawan, baru kali ini mau mendatangi nara sumber ditanya mau makan apa. Saya jawab saja tidak usah repot-repot. Bisa dikasih waktu wawancara saja itu satu kehormatan.

Kami berbincang banyak hal. Utamanya soal cara beliau mendidik anak-anak, hingga bisa sukses dua-duanya. Ini bukan pekerjaan mudah, karena hidup di Jakarta godaannya sangat tinggi. Kalau tidak pandai menjaga anak-anak, bisa-bisa terjeremus narkoba. Atau seks bebas. Bu Mien berhasil mencegah itu dan mengantar anak-anaknya berprestasi tinggi secara akademis dan sebagai pengusaha. Mungkin benar anggapan orang. Hal ini karena Bu Mien memang pure seorang pendidik. Dialah yang memegang semua pengasuhan anak-anaknya, tanpa bantuan siapapun."Saya hanya dibantu Pak Uno,"ujar Bu Mien menyebut nama suaminya.
Mien dan sosialita Jakarta
Usai wawancara kami diajak melihat-lihat rumahnya. Tidak terlalu besar memang. Tapi di dalamnya banyak sekali benda-benda antik, termasuk koleksi asbak dari berbagai negara tertata rapi. Bu Mien juga mengajak saya menengok ruang kerjanya. Selain seperangkat komputer, di situ ada rak buku besar dan ratusan piagam penghargaan atas aktivitas Bu Mien sebagai tokoh perempuan. Ruang kerjanya agak berantakan. Bu Mien bilang belum sempat membereskan, karena ia segera akan terbang ke Yogyakarta. Di kota pelajar, seperti biasanya ia akan ceramah membagi ilmu dan pengetahuan.

Nah, sebelum berpisah, tiba-tiba Bu Mien memanggil saya. Ia mengaku ingin menitip sesuatu. Waduh, saya deg-degan. Kalau dikasih amplop, saya pasti enggan untuk menerimanya. Rasanya sudah sedemikian di ewongke sejak dari datang hingga wawancara selesai. Bahkan sebelum diajak ke rumah dia, saya, fotografer dan sopir kantor dijamu makan bakso yang enak. Bakso itu bikinan sendiri lho. Selain itu, beberapa piring makanan ringan juga tersaji, ditambah teh manis dan air putih. Pokoknya kenyang....

Selagi saya sedang berfikir bagaimana caranya menolak jika anggapan saya benar, tiba-tiba Bu Mien bicara tepat di samping kuping saya."Mas, tolong sampaikan ke bos Mas Arif. Jangan suka mengeksploitasi penderitaan orang lain untuk mendapat keuntungan pribadi.Contohnya Angie (Angelina Sondakh). Saya lihat dia terus menerus di jadikan cover. Cobalah berfikir bos Mas Arif berada dalam posisi Angie. Pasti marah bukan? Ini yang membuat tabloid Mas Arif banyak dibenci,"kata Ibu Mien tandas.

Tuing! Kepala saya langsung kliyengan. Bukan saya tidak setuju dengan pendapat Ibu Mien. Tapi saya merasa, mungkin saat itu dipikir oleh Ibu Mien saya cukup representatif mewakili politik pemberitaan tabloid. Tapi saya bilang pada Ibu Mien, saya tak punya power. Saya hanya wayang. Reaksi beliau,"Jangan takut Mas Arif. Katakan kebenaran walaupun pahit. Konsisten menjunjung keadilan. Ini saja amanat saya. Tolong disampaikan ke bos,"ujar Ibu Mien.

Sepanjang perjalanan pulang, saya berfikir keras. Namanya amanat, harus disampaikan. Kalau tidak berarti dosa. Tapi saya juga harus realistis. Tidak mungkin omongan ini bisa merubah mindset bos besar. Saya lantas mengirim pesan pendek pada Ibu Mien. Saya bilang,kadang orang seperti saya dalam posisi serba salah. Ini karena saya tidak punya posisi tawar yang bagus.  Mungkin lain kalau saya punya deposito Rp 10 milyar (ini mungkin lho,hehehe), saya bisa ngomong apa saja. Mau dipecat monggo. Toh saya sudah aman secara finansial.

"Tapi saya berterima kasih ibu sudah ngomong begitu. Minimal ini jadi bahan penyemangat saya untuk lebih rajin menyelesaikan novel atau menulis buku. Biar saya bisa terbebas dari beban batin yang maha berat ini. Karena satu-satunya jalan menghindari tekanan atasan adalah menjadi penulis independent,"bunyi pesan pendek saya.

Tak lama, Bu Mien membalas. Ia bilang, hidup ini pilihan. Konsisten, konsekwen dan komitmen. Harus dikejar Dunia Bahagia, Akhirat Senang (DBAS). Bukan Asal Bapak Senang (ABS). Saya kembali balas,"Wow, betul banget bu....".Hingga blog ini saya tulis, setelah siang sebelumnya kami semua ditraktir nasi dos karena bigbos ulang tahun ke-57, pesan itu belum saya sampaikan. Saya tidak cukup punya keberanian.

Mungkin satu saat, jika Allah mengabulkan doa saya menjadi penulis novel sukses terwujud, bigbos akan saya suruh baca tulisan ini. Siapa tahu bisa sedikit merubah pikirannya. Atau, kalau pun tidak, minimal dosa saya bisa berkurang, karena tidak menyampaikan amanat "keramat" dari Ibu Mien. Untuk Ibu Mien, tulisan ini juga menjadi jawaban saya, kenapa saya ragu-ragu untuk bersikap. Jangankan saya yang berekonomi lemah.Para menteri yang sudah kaya raya saja kadang enggan membatah perintah presiden,hehehe


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!