Daftar Isi

Monday, May 28, 2012

Uangnya Tak Cukup Pak Pol...

Sepeda motor di Jakarta, lama-lama akan bernasib seperti becak. Indikasinya sudah jelas. Kini parkir sepeda motor di gedung-gedung bergengsi semakin steril. Gedung-gedung jangkung, rata-rata tidak mau menerima sepeda motor parkir di ruang parkirnya. Hanya mobil yang boleh. Di jalan-jalan Jakarta pun, kini sepeda motor harus selalu menyalakan lampu besar, saat siang bolong. Sementara aturan ini tidak diterapkan pada mobil. Pokoknya naik sepeda motor di Jakarta kini tambah sengsara.

Tidak menyalakan lampu, jangan harap bakal selamat dari sempritan polisi. Inilah yang terjadi pada saya. Saat lewat di depan kantor Komnas Perlindungan Anak, Pasar Rebo, Jakarta Timur,akhir Mei 2012 tiba-tiba saya diberhentikan. Pak polisi menegur saya, karena tidak menyalakan lampu depan. Saya sebenarnya sudah ngomong terus terang. Accu sudah soak. Tapi pak polisi tak peduli. Celakanya, SIM saya juga mati. Maklum. Mau buat SIM tak juga sempat waktunya.

Pak pol menawarkan dua pilihan. Nitip uang atau ditilang. Saya sebetulnya mau nitip uang. Istilah gampangnya;nyuap. Tinggal ngasih Rp 50 ribu beres. Tidak ditilang. Tapi hari itu benar-benar sial. Uang di dompet tinggal Rp 10 ribu. Saya terus terang bilang uang tinggal Rp 10 ribu. Pak pol keberatan. Lha, mau bagaimana lagi? Dengan berat hati saya ditilang. Saya memang tidak memohon-mohon untuk  diringankan. Buat apa? Toh pak pol sudah keukeuh tidak mau dikasih Rp 10 ribu.

Selama seminggu saya harap-harap cemas menanti sidang. Tempatnya jauh lagi. Di Pulo Gebang, Jakarta Timur. Ada teman kantor yang memberitahu. Tak perlu repot-repot sidang. Tinggal nitip saja pada calo nanti diambilkan. Ada juga yang menghubungi adiknya yang polisi. Tapi karena sidang sudah tinggal sehari, STNK berarti sudah di pengadilan. Dia tak bisa menolong. Okelah. Tidak apa-apa saya lakoni. Hitung-hitung ini pengalaman pertama berstatus sebagai terdakwa.

Saya ijin tidak ke kantor. Pagi-pagi meluncur ke Pulo Gebang. Karena belum tahu benar lokasinya, saya kembali lewat Pasar Rebo. Alamak, ternyata di situ ada razia lagi. Kembali saya dihentikan pak pol. Saya terus terang mau ikut sidang. Surat tilang saya keluarkan. STNK tak ada, karena di pengadilan. SIM mati. Pak pol bingung. "Meskipun sudah ditilang, bukan berarti kamu bebas. Karena SIM mati, motornya kita kandangin,"ujar pak polisi.

Tak lama komandannya datang. Dia mendengar cerita anak buahnya soal kondisiku. Keputusannya tetap. Motor saya dikandangin. Aduh, karena kepepet, saya lantas mencoba menghiba. Saya bilang minta tolong motor jangan disita."Kalau disita saya liputan pakai apa pak? Saya juga sering liputan di polsek Ciracas lho? Juga di Polda,". Pak pol sedikit terkejut. Dia lantas melihat SIM saya. "Kamu wartawan dari mana?"tanyanya. Aku jawab apa adanya.

Pak pol kemudian mengembalikan SIM dan surat tilang saya. Dia bahkan minta saya jangan ikut sidang. Karena pasti ramai dan harus antri berjam-jam. Saya disarankan untuk mengambil di kejaksaan saja, setelah sidang. Biayanya lebih murah. Cuma Rp 40 ribu. Begitu "petunjuk" pak pol. Tapi karena saya sudah sangat jauh berjalan, saya bertekad akan menuntaskan masalah sidang STNK hari itu juga. Saya dilepas pak pol, sambil tak lupa saya mengucapkan terima kasih.

Memang benar di pengadilan situasinya sungguh crowded. Calo bertebaran di mana-mana. Saya dihentikan seorang calo bernama Apin. Dia dari Bogor. Minta tarif Rp 150 ribu untuk dua pelanggaran, yaitu SIM mati dan lampu tak dinyalakan. Karena saya masih ragu-ragu, akhirnya saya tinggalkan Apin. Mengisi perut di warung Padang, sambil konsultasi dengan istri. Hasilnya, istri mendesak diselesaikan hari itu juga. Saya kembali ke PN Pulo Gebang dan bertemu dengan calo bernama Herman. Awalnya dia meminta Rp 250 ribu. Saya tawar Rp 150 mau dia. Deal.

Sekitar pukul 15.00 STNK baru nongol. Ternyata yang ngurus bukan Pak Herman. Tapi seorang wartawan bodrek yang biasa mangkal di PN.  Ya, sudahlah. Ini urusan dia. Terpenting STNK sudah ditangan. Saya pulang menembus panas. Sempat melewati Bekasi Barat karena kesasar-sasar. Sekitar pukul 16.00 saya sampai di dekat Terminal Pulo Gadung, Jakarta Timur. Dalam keruwetan lalu lintas, tiba-tiba saja motor saya dihentikan polisi. Rupanya ada razia lagi. Aduh, apes benar ditangkap polisi lagi. Padahal STNK baru saya ambil.

Saya dibawa ke pos hansip. Kembali disitu ditawari, mau nitip uang atau ditilang. Kali ini, saya diancam bakal kehilangan Rp 1 juta, karena SIM mati. Kalau mau aman, saya bisa nitip Rp 100 ribu. Saya tawar Rp 50 ribu. Pak pol tidak mau. Karena dikantong memang sudah tak ada lagi uang, akhirnya dengan terus terang saya kembali melancarkan jurus maut. Saya mengaku habis liputan di polsek Ciracas. Untuk meyakinkan klaim saya, dari kantong tas saya keluarkan kartu anggota PWI Jaya. Tiba-tiba pak pol bersikap melunak. Dia juga mengaku berasal dari Tegal, setelah melihat tempat kelahiran saya di SIM.

Saya dilepas. Pesannya, jangan lupa SIM diperpanjang. Saya bilang iya pak. Sepanjang jalan saya tak habis pikir. Banyak benar razia polisi di Jakarta Timur? Seumur hidup baru kali ini dalam sehari bisa ketangkap dua kali. Tapi saya bersyukur, pak pol mau mengerti. Paling tidak, meski saya akui salah,saya bisa sedikit menghemat ongkos buat nebus STNK. Sampai rumah hampir maghrib. Karena sangat capai, saya langsung mandi dan rehat.Saya capai lahir dan batin,hehehe....

Friday, May 18, 2012

Secangkir Es Cappucino

Banyak seleb yang besar kepala, karena merasa dirinya sudah tenar dan kaya raya. Ini saya rasakan benar, sebagai kuli tinta yang selalu berinteraksi dengan mereka. Tapi berbeda dengan laki-laki satu ini. Saya bukan memuji. Tapi sejak awal saya melihat Surya Saputra, dia benar-benar menghormati siapa saja. Termasuk wartawan yang kerap menyapanya di acara-acara yang dia ikuti. Contoh kecil saja soal akses menghubungi dia. Saya meminta nomornya saat bertemu di Festival Film Bandung, Mei 2012. Dia langsung memberinya.

Surya di sebuah pojok
Awalnya, saya ragu apakah itu nomor dia langsung atau tidak. Maklumlah. Dari sekian banyak peraih piala FFB, saat saya meminta nomornya selalu dihubungkan dengan sang manajer. Mereka menjadi sosok yang tak tersentuh. Seolah-olah "haram" ditelepon langsung oleh wartawan, tanpa campur tangan sang manajer. Bahkan saya sempat menjumpai dan meminta nomor kontak presenter yang juga seorang perancang busana yang gayanya kemayu. Kita, para wartawan cuma dikasih nomor butiknya. Aje gileee,hehehehe..

Saat saya SMS Surya, dia langsung balas. Ada manajer, tapi hanya sebatas mencari waktu luang Surya agar bisa bertemu. Setelah saya disuruh datang ke RS Meilia di Cibubur, kontak-kontak kembali dengan Surya. Dia well come, akrab, membumi dan tidak menjaga jarak. Saya lihat waktu meninggalkan lokasi syuting sinetron, semua kru dan figuran di pamiti. Surya juga memakai baju koko, layaknya seorang ustaz. Tak ketinggalan, ucapan salam selalu menghias bibirnya.

Kami ngobrol di gerai minuman kecil, ditemani segelas es cappucino.Dari A sampai Z wawancara berlangsung. Termasuk off the reccord terkait masalahnya dengan seorang WNI keturunan, yang bertindak sewenang-wenang karena punya backing orang kuat di republik ini. Surya mengaku sering ditipu, karena dia selalu berprasangka baik pada orang lain. Tapi dari situ, dia mengajarkan pada saya untuk berhati-hati di Jakarta, karena banyak orang jahat. "Di Jakarta itu kalau mau bisnis harus punya hati tegaan. Saya nggak bisa seperti itu,"ujarnya.

Surya bahkan bercerita, ada seorang dari Yogya, yang disuruh datang ke Jakarta karena dijanjikan main di sebuah film. Janji itu ternyata kosong belaka. Orang itu lantas tidur di Taman Suropati, Menteng, Jakarta Pusat, karena kehabisan duit. Untung saja Surya menemukannya. Ia lantas mengajak orang itu tidur di rumahnya. Ia mengaku terketuk hatinya, karena pernah mengalami masa-masa sulit saat merintis karir dari bawah. Bahkan saat tawaran main film  sepi, Surya sempat berdagang sembako dengan modal Rp 4,5 juta.

Usai wawancara, kami tidak segera pulang. Hujan lebat menahan langkah kami. Obrolan non formal lantas kembali disambung, di depan pintu masuk rumah sakit. Sudah pasti, sambil diselingi beberapa orang yang ingin berfoto bersama. Surya melayaninya dengan ramah. Tidak nampak sedikitpun perasaan dia sebagai bintang film top. Saat hujan sudah mulai reda, kami berpisah. Dia menuju mobil Honda CRV model lama, saya ke parkiran Suzuki Thunder yang baru saja kena tilang STNK-nya di Pasar Rebo.

Dalam suasana hujan menyeluruh di wilayah kota Jakarta, saya pikir benar-benar semua omongan Surya. Dia memang lain kualitasnya. Popularitas dan kekayaan tidak membuatnya silau. Mungkin ini bisa menjadi pembelajaran menarik bagi pihak lain. Benar, tidak semua artis jadi sombong setelah terkenal. Surya Saputra sudah membuktikannya. Sayang, dari sekian banyak orang yang berkecimpung di jagat hiburan, orang yang benar-benar seperti Surya hanya segelintir saja. Yang lainnya.....merdeka!merdeka!merdeka! (mirip zaman tahun 45 saja,hehehehe)

Sunday, May 13, 2012

Keliling Kebon Raya Bogor

Adik Syahrini, Aisyahrani, memutuskan menggelar resepsi pernikahan awal Mei 2012. Pernikahan itu, uniknya, dilaksanakan di ruangan terbuka alias lapangan, dengan konsep garden party. Saya sempat disuruh cepat-cepat ke kantor karena akan ditugasi meliput ini. Karena TKP-nya di Bogor, usai absen jari, saya kembali pulang. Saya putuskan untuk berangkat dari rumah. Daripada ikut mobil liputan terus habis meliput balik lagi ke kantor??Tambah makan waktu untuk sampai di rumah.

Hambatan pertama adalah mencari kafe De Daunan, lokasi acara resepsi. Bogor yang penuh dengan angkot, membuat saya bolak-balik kesasar. Oleh seorang tukang parkir, di dapat informasi, jika kafe terletak di dalam kebun raya. Saya segera menuju ke gerbang utama. Oleh petugas keamanan, motor di suruh ditinggal di dekat gerbang. Untuk menuju lokasi acara dipersilahkan jalan kaki. Tidak terlalu jauh. Cuma 500 meter. Aku turuti peraturan itu.

Tak lama jalan, seorang pedagang kaki lima di dalam kebon raya menolongku untuk ikut naik motornya. Alhamdulilah. Ada juga yang mau bantu. Tentu ada yang bikin heran, saat saya bonceng motor. Jarak pintu utama menuju kafe De Daunan ternyata cukup jauh. Kalau jalan kaki mungkin bisa gempor. Di lapangan hijau, ditengah rerimbunan pohon-pohon tinggi kebon raya, aku minta turun. Terlambat  sedikit, sekitar 15 menit. Tapi acara belum dimulai sesuai rencana yaitu pukul 15.00.
syahrini & adiknya, Aisyahrani
Petugas pembawa acara meminta hadirin mendekat. Karena akad nikah akan dimulai dan pukul 17.30 bisa selesai untuk shalat maghrib. Saya dan teman-teman tentu saja harus menunggu, sampai mempelai mengadakan konferensi pers. Celakanya, acara molor hingga malam. Bahkan hingga pukul 20.00 resepsi masih berlangsung.  Kesal tentu saja. Untung pawang hujannya hebat. Hingga hujan tak kunjung jatuh, tidak seperti hari-hari biasanya.

Di rumah, istri ngomel-ngomel. Soalnya dia masuk shift malam. Tidak ada yang menjaga anak-anak. Dalam kondisi dilematis, akhirnya diambil tindakan. Dua anak saya dibawa ke rumah sakit. Nanti saya jemput setelah liputan kelar.Pukul 21.00 saya sudahi pekerjaan. Menumpang mobil tayangan, saya menuju gerbang utama. Tapi betapa kagetnya saya, ketika gerbang sudah tutup. Lampu-lampu sudah dimatikan. Waduh, celaka. Bagaimana saya harus mengambil motor untuk pulang?

Saya dan teman-teman putar otak. Akhirnya kami cari pintu gerbang yang masih buka. Alhamdulilah ada satu. Saya bilang akan mengambil motor. Untung ada pak sekurity yang mau kontrol. Saya diminta ikut. Membelah kebon raya bogor yang gelap dan penuh rimbun tanaman, akhirnya kami sampai di parkiran. Motor saya masih sendiri. Tak ada motor lain. Dengan petunjuk dari pak sekurty, saya kembali diantar ke gerbang semula. 

Malam itu, ditengah cuaca dingin akibat hujan deras mengguyur Bogor-Jakarta, saya tancap gas menuju rumah sakit. Tiba di rumah sakit pukul 22.30. Anak-anak masih terjaga. Saya bawa pulang, dan esoknya saya ke kantor dalam kondisi hujan-hujanan. Esoknya, saya jatuh sakit selama seminggu. Entah masuk angin atau karena kecapekan. Tapi yang jelas, pengalaman ini membuat saya kapok untuk parkir motor hingga malam di Kebun Raya Bogor.

Mangga Atuh, Berantem ama Bodyguard

Kemunculan Bubu, pacar Syarini dalam pernikahan adiknya, Aisyahrani, segera mengundang berita miring. Syahrini selalu mengatakan, Bubu adalah warga negara Malaysia. Kemunculan ini, di satu sisi menepis anggapan jika sosok Bubu adalah fiktif belaka. Namun di sisi lain, karena Bubu dan Syahrini enggan membuka identitas, banyak yang bertanya-tanya, benarkah Bubu adalah lajang asal negeri jiran. Spekulasi lantas berkembang liar. Salah satunya dari Rico Ceper, yang "menuduh" Bubu adalah teman bermain futsal, anak seorang pengusaha di Bogor.

minggir,minggiiiir...
Maka saat Syahrini mengisi acara Festival Film Bandung (FFB), pertengahan Mei 2012, sejumlah pewarta infotainment pun mengincarnya. Awalnya, kami bisa memasuki tenda putih tempat Syarini berada. Setelah pamit minta waktu, Syahrini mau ngomong. Seperti biasa, omongan masih berkisar pada keikutsertaannya dalam acara FFB. Saat pertanyaan beralih ke topik komentar dia tentang pernikahan Anang Hermansyah, bekas rekan duetnya, Syahrini langsung bungkam. Sesi tanya jawabpun berakhir mendadak.

Pada sesi kedua, kami kembali mencoba mendekati tendanya. Setelah masuk, kami wawancara soal kiprah dia di FFB. Syahrini mau panjang lebar bicara. Tapi begitu ditodong pertanyaan soal Bubu, ia langsung mengakhiri wawancara. Asistennya sempat bilang, coba hubungi Rheindy, manajernya. Kata sang asisten, soal Syahrini mau ngomong Bubu atau tidak semua tergantung Rheindy. Celakanya, saya telepon berkali-kali tak diangkat. Di kirim pesan pendek maupun BBM sama saja. Rheindy seperti hilang ditelan bumi.

Karena  acara FFB cukup lama, kami semua menunggu mood Syahrini bagus. Tapi, entah kenapa, tiba-tiba akses menuju tempatnya ditutup oleh bodyguard. Bisa dibilang, semua wartawan tidak bisa lagi lalu lalang di  tenda para artis, termasuk tempat Syahrini. Maka kami menunggu dia keluar, entah nyanyi atau membacakan nominasi. Hingga kesempatan itu tiba. Usai Syahrini nyayi,  semua menyerbu. Syahrini dihadang dan seorang bodyguard membuka jalan yang tertutup oleh kamera. Tapi tetap saja Syahrini bungkam.

Tak lama, Syahrini melewati pintu pagar besi. Entah kenapa, dua orang body guard menutup pintu itu, hingga semua kameramen tertahan. Dalam kondisi seperti itu, semua kameramen marah. Ada seorang kameramen -kalau tidak salah dari Indigo- yang teriak-teriak seperti orang gila. Caci maki menyembur dari mulutnya. Kondisi semakin buruk, karena dari belakang juga didorong oleh teman-temannya, agar pintu besi itu terbuka. Karena kalah jumlah, pintu terbuka dan sang body guard menyingkir. Sayang, meski sudah berlari, Syahrini sudah memasuki mobilnya, Alphard putih B 1 SYR.
hei...tolong bantu kasih jalan!
Kecewa, para kameramen langsung menyerbu sang bodyguard. Dengan mengarahkan kamera yang masih menyala, mereka mencaci maki. Sang bodyguard bersikukuh, ia melakukannya karena Syahrini enggan diwawancara. Hampir saja saling hujat berbuah baku pukul. Saya yang risih, segera melerai mereka. Beberapa orang polisi bahkan ikut menenangkan suasana. Tapi caci maki terus berjatuhan. Gila. Akhirnya Uki Hastama, humas SCTV ikut turun tangan. Keributan berakhir setelah para kameramen digiring ke tenda pers.

Saya sendiri menegur keras fotografer saya yang ikut emosional. Untung dia tidak dikenal Uki. Pasalnya, Uki amat marah, mellihat kelakuan para kameramen itu. Uki bilang, kalau meliput ada aturan mainnya. Tidak bisa memaksakan kehendak. Saking emosinya, Uki bahkan berjanji akan intervensi, supaya kameramen dari Indigo itu tidak diperpanjang kontraknya. Saya sendiri tak tahu, bagaimana Uki bisa seoptimis itu. Saya cuma ikut menyayangkan insiden yang terjadi. Ini semakin menghancurkan citra pewarta infotainment, yang dikenal tak punya tata krama dalam liputan.

Saya lihat, bodyguard yang berjaga pintu masuk sudah tak ada. Mungkin sudah ditarik ke dalam. Tak berselang lama, Uki bicara dengan kameramen Indigo. Saya tak tahu apa yang dibicarakan keduanya. Dalam perjalanan pulang menuju Jakarta, usai acara sekitar pukul 02.00, saya kembali menegaskan pada fotografer, agar lain waktu jaga sikap. Karena kami bekerja membawa nama lembaga. Soal saling senggol dan dilarang foto atau wawancara, itu biasa dan jadi dinamika wartawan dalam bekerja. Jadi, buat apa marah-marah?Sudah wawancara tidak dapat, kita juga semakin tidak dihargai karena dianggap arogan. Bukan begitu teman-teman?

Thursday, May 10, 2012

Istrinya Bermunculan

aksi heboh pedangdut
Penyanyi dangdut poligami, mungkin sudah biasa. Sama seperti pelawak. Selain sudah kelebihan duit, jiwa muda dan lingkungan yang banyak dikelilingi figuran-figuran cantik, membuat iman mereka tak kuat. Banyak yang terang-terangan mengaku. Tapi tak sedikit pula yang sembunyi-sembunyi, dengan alasan untuk menjaga imaje.Tapi jika sang penyanyi meninggal, tentu saja tidak ada yang bisa menghalang-halangi para istri muda itu untuk muncul ke permukaan. Karena menangis  di pusara sambil berdoa, para awak infotainment biasanya penasaran. Siapa perempuan muda lain diluar istri yang selama ini dikenal publik yang nampak begitu kehilangan?

Saya tidak ingin menyebut namanya. Tapi penyanyi ini sangat terkenal dan termasuk senior. Dia seangkatan dengan Mansyur S, Rhoma Irama dan Muchsin Alatas. Lagu-lagu ratapannya jadi hits dimana-mana. Maka saat meninggal, semua wartawan berduyun-duyun mendatangi rumahnya. Istrinya sendiri sudah renta. Maklum. Usianya sudah kepala 6. Barangkali yang bikin kaget, ada dua perempuan muda yang menangis menggerung-gerung sambil memeluk nisannya. Saat diwawancara, mereka mengaku istri muda sang penyanyi. Satunya masih sah, satunya lagi sudah dicerai, tapi sudah punya anak dengan wajah mirip sang legenda.

Istri muda yang masih sah tinggal di Depok. Rumahnya kecil. Di sini, si penyanyi kerap tinggal, memilih untuk membiarkan istri tuanya di rumah besarnya di bilangan Cibubur, Jakarta Timur. Sang istri muda sudah punya anak satu yang masih kecil. Dia lantas cerita, bagaimana awal pertemuan dan kencan-kencan yang dilakukannya, sebelum dinikahi. Si perempuan itu minta tolong bagaimana nanti nasib anaknya, karena dia tidak bekerja. Tidak ada juga peninggalan apapun dari  sang suami. Mengagetkan, katanya, semua harta suaminya sudah habis. Tinggal rumah satu-satunya yang masih dipakai istri tuanya.

Ternyata semua berpangkal dari kesalahan manajemen yang dilakukan istri tua sang penyanyi. Dua mobil di jual. Dua anaknya dari istri tua hingga menikah tak ada yang bekerja. Semua masih menumpang di rumah induk. Kebutuhan makan mereka berserta anak dan istrinya ditanggung sang penyanyi dangdut. Praktis, dalam satu rumah ada tiga keluarga. "Anak-anaknya nggak pada mikir. Dikasih modal bikin toko juga bangkrut. Kerjanya cuma makan tidur,"kata si istri muda penyanyi dangdut itu geram.

Kata si istri muda, istri tua sang penyanyi dangdut sangat boros. Saban terima duit dari honor nyanyi, bisa habis dalam seminggu. Jumlahnya kadang sampai Rp 10 juta. Buat belanja ini itu, yang tidak dibutuhkan. Kondisi ini yang membuat sang penyanyi dangdut kerap stres, karena semua hasil jerih payahnya tak berbekas. Puncaknya, ya mencari istri lain. Hingga akhir hayatnya, si istri tua sudah tahu kalau suaminya sudah beristri lagi. Tapi dia tidak peduli. "Yang penting setoran lancar,"ujar si istri muda.

Istri muda yang lain, hidup lebih mengenaskan. Sejak dicerai, ia tak pernah mendapat tunjangan untuk anaknya. Padahal anaknya sudah menginjak bangku SMA. Si perempuan ini lantas bercerita, bagaimana anaknya sempat mau diorbitkan oleh sang ayah, tapi keburu meninggal dunia. Dia hanya bermimpi, anaknya bisa menjadi artis terkenal seperti ayahnya."Apalagi dia suaranya bagus dan pernah mengikuti ajang Indonesia Idol. Mas bisa bantu nggak buat ngorbitin,"pintanya. Saya bilang tidak sanggup. Sejak itu, saya sudah tak kontak-kontakan lagi, karena ponsel saya hilang saat beli teh botol.


goyang mang...
Saya memang tidak percaya seratus persen dengan bualan para istri muda  itu. Saya yakin, mereka mau dinikahi juga karena faktor harta. Ini sudah biasa dan jadi rahasia umum. Bohong kalau pernikahan itu atas nama cinta. Jadi, jika istri tuanya memang boros, kebangkrutan sang penyanyi terkenal  itu juga saya yakin ada andil dari istri-istri mudanya.

Saya menyenangi lagu-lagu almarhum penyanyi dangdut tersebut. Kasetnya kerap saya setel. Saya percaya, saat istri mudanya memberi informasi, jika sekali manggung kadang dikasih honor Rp 50 juta. Jumlah yang sangat fantastis, jika satu bulan ada 20 kali manggung saja. Tentu akan berakhir dengan menyenangkan, jika semua honor itu dikelola dengan baik. Saya berharap, dia mendapat kedamaian di sisi-Nya. Meski ada hal berharga yang ditinggalkannya, selain karya-karya seninya, yaitu pelajaran untuk tidak mudah tergoda perempuan lain, jika tak ingin masa tua berakhir duka.

pesan "keramat"

Mewawancarai tokoh etiket sekaliber Mien Uno, tentu punya kesan tersendiri. Saya bertemu dengan beliau di sebuah acara di Grand Indonesia, Jakarta, akhir April 2012. Bu Mien datang, dan segera saya minta kenalan. Ini pertama kali saya bertemu, walau sepak terjang Bu Mien sebagai tokoh perempuan sudah sering saya baca di media massa. Saat saya tawarkan untuk masuk ke rubrik yang saya jaga, beliau mau. Bu Mien hanya tanya kapan date line-nya, agar bisa diatur waktu untuk bertemu. Setelah saya usulkan di rapat, Bu Mien saya kontak lewat pesan pendek.

Mien Uno dalam sebuah kesempatan
Mulanya saya sempat down. Pasalnya Bu Mien enggan foto-foto keluarganya di publis. Alasannya, mereka pasti tidak mau. Wah, saya sempat berfikir kesempatan ini bakal tertutup, jika Bu Mien masih bersikukuh dengan pendapatnya. Saya tidak putus asa. Pada beliau, saya tawarkan untuk mempublis satu saja foto keluarga, walau foto lama saat dua anaknya masih kecil. "Supaya pembaca bisa melihat secara visual keharmonisan keluarga ibu,"kata saya. Bu Mien tidak mengiyakan. Ia hanya menyuruh saya datang, agar bisa berdialog bagaimana baiknya.

Rumah di Jalan Jenggala 2 atau tepatnya di kantor MRUF alias Mien R Uno Foundation di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pun saya datangi. Ini rumah yang dirubah menjadi kantor. Penyandang dananya Sandiaga Uno, anak Ibu Mien yang sukses berat sebagai pengusaha muda. Tak lama Ibu Mien datang.  Juga fotografer saya. 

Oh, ya, mungkin karena beliau pakar etiket, sebelum aku datang sempat ditawari mau disediakan makan apa?Saya tentu saja kaget. Karena seumur-umur jadi wartawan, baru kali ini mau mendatangi nara sumber ditanya mau makan apa. Saya jawab saja tidak usah repot-repot. Bisa dikasih waktu wawancara saja itu satu kehormatan.

Kami berbincang banyak hal. Utamanya soal cara beliau mendidik anak-anak, hingga bisa sukses dua-duanya. Ini bukan pekerjaan mudah, karena hidup di Jakarta godaannya sangat tinggi. Kalau tidak pandai menjaga anak-anak, bisa-bisa terjeremus narkoba. Atau seks bebas. Bu Mien berhasil mencegah itu dan mengantar anak-anaknya berprestasi tinggi secara akademis dan sebagai pengusaha. Mungkin benar anggapan orang. Hal ini karena Bu Mien memang pure seorang pendidik. Dialah yang memegang semua pengasuhan anak-anaknya, tanpa bantuan siapapun."Saya hanya dibantu Pak Uno,"ujar Bu Mien menyebut nama suaminya.
Mien dan sosialita Jakarta
Usai wawancara kami diajak melihat-lihat rumahnya. Tidak terlalu besar memang. Tapi di dalamnya banyak sekali benda-benda antik, termasuk koleksi asbak dari berbagai negara tertata rapi. Bu Mien juga mengajak saya menengok ruang kerjanya. Selain seperangkat komputer, di situ ada rak buku besar dan ratusan piagam penghargaan atas aktivitas Bu Mien sebagai tokoh perempuan. Ruang kerjanya agak berantakan. Bu Mien bilang belum sempat membereskan, karena ia segera akan terbang ke Yogyakarta. Di kota pelajar, seperti biasanya ia akan ceramah membagi ilmu dan pengetahuan.

Nah, sebelum berpisah, tiba-tiba Bu Mien memanggil saya. Ia mengaku ingin menitip sesuatu. Waduh, saya deg-degan. Kalau dikasih amplop, saya pasti enggan untuk menerimanya. Rasanya sudah sedemikian di ewongke sejak dari datang hingga wawancara selesai. Bahkan sebelum diajak ke rumah dia, saya, fotografer dan sopir kantor dijamu makan bakso yang enak. Bakso itu bikinan sendiri lho. Selain itu, beberapa piring makanan ringan juga tersaji, ditambah teh manis dan air putih. Pokoknya kenyang....

Selagi saya sedang berfikir bagaimana caranya menolak jika anggapan saya benar, tiba-tiba Bu Mien bicara tepat di samping kuping saya."Mas, tolong sampaikan ke bos Mas Arif. Jangan suka mengeksploitasi penderitaan orang lain untuk mendapat keuntungan pribadi.Contohnya Angie (Angelina Sondakh). Saya lihat dia terus menerus di jadikan cover. Cobalah berfikir bos Mas Arif berada dalam posisi Angie. Pasti marah bukan? Ini yang membuat tabloid Mas Arif banyak dibenci,"kata Ibu Mien tandas.

Tuing! Kepala saya langsung kliyengan. Bukan saya tidak setuju dengan pendapat Ibu Mien. Tapi saya merasa, mungkin saat itu dipikir oleh Ibu Mien saya cukup representatif mewakili politik pemberitaan tabloid. Tapi saya bilang pada Ibu Mien, saya tak punya power. Saya hanya wayang. Reaksi beliau,"Jangan takut Mas Arif. Katakan kebenaran walaupun pahit. Konsisten menjunjung keadilan. Ini saja amanat saya. Tolong disampaikan ke bos,"ujar Ibu Mien.

Sepanjang perjalanan pulang, saya berfikir keras. Namanya amanat, harus disampaikan. Kalau tidak berarti dosa. Tapi saya juga harus realistis. Tidak mungkin omongan ini bisa merubah mindset bos besar. Saya lantas mengirim pesan pendek pada Ibu Mien. Saya bilang,kadang orang seperti saya dalam posisi serba salah. Ini karena saya tidak punya posisi tawar yang bagus.  Mungkin lain kalau saya punya deposito Rp 10 milyar (ini mungkin lho,hehehe), saya bisa ngomong apa saja. Mau dipecat monggo. Toh saya sudah aman secara finansial.

"Tapi saya berterima kasih ibu sudah ngomong begitu. Minimal ini jadi bahan penyemangat saya untuk lebih rajin menyelesaikan novel atau menulis buku. Biar saya bisa terbebas dari beban batin yang maha berat ini. Karena satu-satunya jalan menghindari tekanan atasan adalah menjadi penulis independent,"bunyi pesan pendek saya.

Tak lama, Bu Mien membalas. Ia bilang, hidup ini pilihan. Konsisten, konsekwen dan komitmen. Harus dikejar Dunia Bahagia, Akhirat Senang (DBAS). Bukan Asal Bapak Senang (ABS). Saya kembali balas,"Wow, betul banget bu....".Hingga blog ini saya tulis, setelah siang sebelumnya kami semua ditraktir nasi dos karena bigbos ulang tahun ke-57, pesan itu belum saya sampaikan. Saya tidak cukup punya keberanian.

Mungkin satu saat, jika Allah mengabulkan doa saya menjadi penulis novel sukses terwujud, bigbos akan saya suruh baca tulisan ini. Siapa tahu bisa sedikit merubah pikirannya. Atau, kalau pun tidak, minimal dosa saya bisa berkurang, karena tidak menyampaikan amanat "keramat" dari Ibu Mien. Untuk Ibu Mien, tulisan ini juga menjadi jawaban saya, kenapa saya ragu-ragu untuk bersikap. Jangankan saya yang berekonomi lemah.Para menteri yang sudah kaya raya saja kadang enggan membatah perintah presiden,hehehe