Daftar Isi

Tuesday, April 24, 2012

Mahal Nian Tarifnya, Ustaz!

Apa sih yang tidak bisa menjadi barang komoditas ketika sudah berada di tangan para pebisnis di Jakarta?Tengoklah nasib baik yang menghampiri Ustaz Nur Maulana. Dari pendakwah lokal di Makassar, ia ditarik ke Jakarta dan dimanajeri oleh sebuah stasiun televisi swasta. Setelah acara dakwahnya mulai menggaet penonton, Ustaz Nur yang biasanya diberi honor seikhlasnya, kini mulai memasang tarif. Tentu ketentuan tarif itu dari manajernya. Saya beruntung mendapat kesempatan berbincang banyak dengan Ustaz Nur, dalam sebuah perjalanan yang diseling banyak kemacetan di jalanan Kota Jakarta.

Tentu saja tidak mudah membuat janji wawancara, setelah ia menandatangani kontrak dengan teve swasta itu. Saya harus pontang panting meminta izin ke beberapa orang, hingga mendapat kepastian untuk datang ke masjid di sebuah lokasi di pusat kota Tangerang. Waktu itu siang habis dhuhur. Ustaz sedang syuting. Persoalannya kemudian, kru yang sedang mensyut ustaz tidak serta merta memberi waktu. Saya disuruh menunggu hingga syuting selesai. Alhasil, dari janji wawancara pukul 13.00 mundur sampai usai Ashar.

Karena teve itu memang biasa ribet, saya mengalah. Menunggu selesai syuting sambil tiduran di masjid. Saat syuting episode pertama kelar, suasana sempat menjadi tidak pasti. Ustaz di tarik ke dalam untuk beristirahat. Saya berfikir, kalau tidak nekad bakal semakin lama. Bisa jadi akan berubah waktunya menjadi setelah maghrib. Akhirnya saya terobos pintu. Saya panggil ustaz dan memperkenalkan diri. Kru teve sempat melarang. Tapi Ustaz Nur langsung merengkuh tangan dan menarik saya masuk.

"Sekarang tarik nafas dulu y?Ada apa?Mau wawancara ya?"katanya dengan logat kenesnya.

Saya mengangguk sambil tertawa. Karena waktu istirahat yang sedikit, kami janjian lagi setelah syuting episode kedua kelar. Hampir maghrib, syuting selesai. Ustaz Nur langsung mengusulkan agar wawancara dilakukan di mobil kantor yang saya bawa, karena ia mau meeting di stasiun teve tempatnya bernaung. Saya setuju. Perjalanan sekitar dua jam dari Tangerang ke Mampang Prapatan, menjadi ajang obrolan dari A-Z. Saya menangkap kesan, Ustaz Nur orang yang tidak sombong. Tidak juga jaga imej, laiknya ustaz-ustaz yang lain.

Tidak dipungkiri popularitas telah diraihnya. Saat kami shalat maghrib bersama di sebuah pompa bensin, orang-orang yang ikut shalat di mushola SBPU langsung menyalami Ustaz Nur. Mereka hafal wajah Ustaz Nur. Dalam perjalanan ke Mampang, mungkin karena suasana sudah cair, beliau banyak mengungkap keinginan dan harapannya. Semua di ungkap, tanpa minta untuk off the record. Termasuk soal tarifnya yang bisa mencapai Rp 70 juta. Tarif ini berlaku sekitar awal 2010, kala namanya sedang moncer. Tapi, duit segitu tidak semuanya masuk ke Ustaz Nur. Ia hanya mendapat bagian 30 persen.

Tarif itu memang tidak saya tulis setelah wawancara. Tapi tak berapa lama, saya mendapat tugas menulis tarif-tarif ustaz yang sudah gila-gilaan. Tulisan itu saya sisipi kritikan, jika fenomena ustaz memasang tarif sungguh sebuah hal yang amat disayangkan. Saya kutip ungkapan almarhum Gus Dur,"Aneh kalau ustaz pasang tarif. Wong sudah diberi kesempatan untuk memberi pencerahan pada umat kok masang argo,". Nah, dalam tulisan itu saya sebut juga tarif Ustaz Nur.

Dua hari kemudian, kemarahan manajer Ustaz Nur tumpah. Ia menelepon saya terus menerus, memprotes pencantuman harga ceramah Ustaz Nur. Saya bahkan disuruh menunjukan bukti rekaman. Saya tentu saja segera memberi penjelasan. Kalau soal tarif itu memang Ustaz Nur sendiri yang bilang. Karena terus dimarahi, saya sarankan manajer Ustaz Nur untuk menempuh mekanisme hak jawab. Juga saya sarankan menelepon pemimpin redaksi, karena setelah terbit tanggung jawab di ambil pimred.

Anehnya, semua solusi yang saya tawarkan tak digubris.Hal yang mengejutkan justru terjadi, Ustaz Nur membuang daftar pertemanan saya di blackberry-nya. Saya tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak. Saat di mobil, beliau memang memberi nomor PIN-nya, agar mudah berkomunikasi. Ustaz Nur juga berpesan, kalau mau mengundang dia jangan lewat manajer. Pokoknya saya dikasih hotline, supaya jika butuh untuk ceramah tarifnya bisa lebih 'miring'."Saya bahkan sering ceramah gratis kalau di Makassar. Kalau sudah di Jakarta semua dipegang manajer,"keluh Ustaz.

Kini saya tak pernah lagi menghubungi Ustaz Nur. Selain nama saya sudah "dibuang", saya juga mencoba memahami, mungkin Ustaz Nur tidak suka tarifnya diketahui khalayak. Tapi yang membuat saya jadi serba susah, akses untuk mengundangnya menjadi tertutup. Artinya, jika ada teman atau siapa saja yang mau memboyong Ustaz Nur lewat saya, ini menjadi mustahil. Semua harus lewat manajer sekarang. Jika begitu, siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam, dibanding jika lewat jalur tak resmi. Amboi....

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!