Daftar Isi

Saturday, April 28, 2012

Super "Pelita Hati"

Dia artis terkenal. Kalau dibilang kaya raya dari dunia nyanyi, memang begitulah adanya. Dari kontrak sebuah album dengan sebuah label saja, dia kasih uang muka sebuah mobil mercy dua pintu. Harganya masuk dalam hitungan M. Apartemen dia punya. Ke mana-mana pakai mobil Alphard. Dia juga suka memakai tas Hermes, yang harganya dari puluhan juta hingga ratusan juta. Sososknya kerap wara-wiri di panggung musik, entah di acara televisi atau dipanggung hiburan off air alias tidak ditayangkan.

Dia penggemar sepak bola. Makanya saat timnas Indonesia berjaya di ajang piala AFP, meski akhirnya kalah dari Malaysia, sosoknya kerap muncul di gelora bung karno. Karena popularitasnya yang sedang menjulang, ketika seorang teman minta dicarikan artis untuk menemani seorang menteri nonton final sepak bola timnas Indonesia melawan timnas Malaysia, saya sodorkan nama dia. Tapi, tak usahlah saya sebut namanya. Yang jelas, asisten pak menteri menerima saat artis itu saya sarankan dipakai untuk menemani pak menteri.

Saat saya hubungi manajernya, dengan antusias mereka menyambut. Saya meminta sang manajer memasang harga, untuk pekerjaan cuma dua hari. Tak lama berselang, dia menyodorkan angka di atas Rp 45 juta dan dibawah Rp 50 juta. Angka itu lantas saya sodorkan ke asisten pak menteri. Saya diberi waktu sekitar dua hari, untuk koordinasi terkait tarif itu. Selama dua hari itu, tak henti-henti manajer sang artis meminta saya untuk mendorong asisten pak menteri, agar bisa segera deal."Kita ingin banget dukung timnas main mas.Tolong di push ya mas,"pesan sang manajer.

Tak cuma minta saya menekan asisten pak menteri, sang manajer artis itu juga menjanjikan untuk memberi komisi. Berapa?Kebetulan saya tak pernah jadi makelar. Ide soal komisi ini juga datang dari pihak manajer artis. Saya bilang terserah saja. Karena saya cuma menyampaikan keinginan teman untuk mencarikan artis pendukung. Saya juga tidak mau, hubungan yang sudah terjalin baik jadi bermasalah gara-gara soal komisi. Jadi, untuk hal ini, saya mending pasif sajalah.

Dua hari berselang, asisten menteri bilang oke. Termasuk akomodasi untuk 4 orang selama berada di negeri jiran. Untuk si artis, penerbangan kelas bisnis. Sementara manajer dan stafnya pakai kelas ekonomi. Ini belum termasuk penginapan hotel di sana. Saya sendiri sempat ditawari ikut. Tapi karena tak punya pasport, saya tak bisa memenuhi undangan itu.Okelah. Tidak apa-apa. Yang penting acara berjalan lancar. Kenyataannya acara memang berjalan sesuai rencana. Sudah tentu pak menteri ke sana membawa serta beberapa wartawan infotainment.

Persoalan mulai muncul, ketika pekerjaan telah selesai. Janji si manajer untuk memberi komisi tak kunjung terwujud. Padahal tidak mungkin honor dari pak menteri belum dibayar. Untuk acara seperti itu, sebelum berangkat minimal 50 persen sudah masuk. Sisanya setelah pulang. Selama seminggu saya mencoba berdiam diri. Tapi saya menjadi penasaran, ketika mendengar cerita dari teman infotainment, jika si artis tersebut dikenal sangat "pelita hati"."Waktu kita liputan  di apartemennya, boro-boro ditawari minuman. Dia malah minum sendiri. Itu sudah terkenal ceritanya. Dia pelit,"ujar teman saya.

Saya akhirnya beranikan diri untuk mengirim pesan pendek. Sekedar mengingatkan janji yang pernah terucap. Pesan pendek saya tak terjawab. Baru hari kedua ada balasannya. Isinya, saya disuruh nunggu. tapi, tunggu punya tunggu tak juga ada jawaban. Saya kembali kirim SMS. Dia bilang sabar dulu karena masih sibuk. Begitu terus, hingga akhirnya saya diamkan lagi. Sekitar beberapa hari setelah pesan pendek saya, sang manajer bilang sudah mengirim uang. Besarnya Rp 1 juta.

Berapa persen jumlah ini dari honor sang artis yang bisa mencapai Rp 50 juta seperti tarif yang dipasangnya?Entahlah. Saya malas untuk menghitung-hitungnya. Bukan berarti saya kecewa denga angka nominalnya. Tapi kalau hanya memberi sejumlah itu, tentu amat keterlaluan. Seperti yang sudah saya sebut di awal tulisan, kekayaan sang artis nilainya sudah milyaran. Apa susahnya memberi sedikit lebih, karena atas jasa saya juga dia mendapat job itu. Tapi, jika mengingat cerita teman saya, saya jadi mafhum...jadi bukan soal dia kaya atau tidak. Tapi memang sudah dari sono-nya si artis tergolong "pelita hati".

ini mas jas-nya

Segala sesuatu yang bersifat perdana, memang selalu membuat sport jantung. Seperti yang saya alami, saat diminta menjadi salah satu nara sumber acara talk show di televisi swasta. Sebagai jurnalis, saya memang biasa menghadapi beragam orang dengan beragam watak dan karakter. Tapi untuk bicara dan menjawab pertanyaan host sebuah program, ketakutan tidak bisa menjawab dengan lancar tertancap juga dibenak saya. Namun karena saya diminta, mau tak mau saya harus berangkat.
nampang bentar di tv

Permintaannya juga mendadak. Sore ketika saya sedang ngetik, produser program tersebut menelepon. Ia meminta ada perwakilan dari kami yang bisa bicara. Kebetulan tulisan yang akan dibahas saya yang buat. Keputusan diambil, saya yang maju. Sore saya pastikan, malamnya saya disuruh meluncur ke studio untuk syuting secara live. Benar-benar apa adanya saya berangkat, hanya mengandalkan informasi terkait tema yang bakal diangkat dari bahan-bahan yang pernah saya baca.

Saya memang sempat memetakan, kira-kira pertanyaan apa yang bakal muncul. Saya siapkan jawabannya. Saat malam menjelang, karena harus tiba di studio pukul 20.00, saya segera meluncur. Ujian pertama datang, ketika hujan lebat turun di jalan Gatot Soebroto, Jakarta. Terbayang kehujanan di jalanan utama ibu kota. Tidak ada tempat berteduh karena macet dan kanan kiri hanya berdiri gedung-gedung jangkung. Aduh, baju dan celana basah kuyup. Di tambah udara malam, lengkap sudah rasa dingin yang menyergap tubuh.

Hujan sempat berhenti. Saya segera tancap gas karena sudah hampir telat. Tapi tak berapa jauh dari stasiun teve yang mengundang, hujan lebat kembali tercurah. Saya lintang pukang menyelamatkan diri.Alhamdulilah, akhirnya bisa masuk. Saya lepas jaket dan sepatu untuk menghangatkan badan. Bertemu produser acara dan disuruh menunggu. Kesempatan menunggu itu saya pakai untuk mengeringkan badan. Benar-benar sebuah perjuangan yang mendebarkan. Tapi, baju yang basah tetap membuat badan saya terus menggigil kedinginan, di tengah terpaan air conditioner yang terus menerus hidup.

O,ya, host acara itu kebetulan komedian teman saya. Saya sedikit lega dan terhibur. Tak lama, datang anggota DPR yang akan jadi lawan bicara saya. Wah, benar-benar seperti langit dengan bumi. Saya pakai jeans belel, sepatu kets dan baju warna putih polos untuk menghadapi moment ini. Sementara si anggota DPR memakai jas rapi, dengan sepatu mengkilat dan wangi parfum menebar dari tubuhnya. Tapi, sebagai wartawan saya ogah minder. Biasa saja,hehehe.

Saya pikir penampilan saya sudah cukup rapi. Biasanya pakai kaos oblong, malam itu pakai kemeja. Jadi tinggal masuk dan rekam.Ternyata tidak. Seorang perempuan, tiba-tiba menghampiri saya dan menyodorkan  sepotong jas warna hitam. "Ini mas dipakai,"ujarnya. Saya sempat menolak. Seumur hidup saya belum pernah pakai jas. Apa jadinya nanti kalau dilayar kaca saya terlihat memakai jas. Tapi si mbak bilang, ia disuruh produser acara. Ya sudahlah. Terpaksa saya terima. Untung jasnya pas. Tidak terlalu besar, juga tak terlalu kecil.

Jas itu memang benar-benar menolong. Bukan dalam hal penampilan semata. Tapi pendingin di studio yang begitu rendah membuat saya kembali kedinginan. Menggigil hingga perut terasa sakit. Kalau tidak memakai jas, ingin rasanya saya cepat-cepat keluar dari tempat itu. Tapi jujur juga, perut sakit tak hanya karena menahan rasa dingin. Rasa gugup dan panik karena sorotan lampu studio dan bidikan kamera, ikut andil dalam penderitaan itu. Sampai-sampai, orang rumah mengirim pesan agar saya rileks dan tak terlihat tegang,hehehe.
kaos oblong pakaian kebesaran
Selesai syuting, saya segera keluar dan buru-buru pulang. Tidak sadar kalau masih memakai jas pinjaman. Si mbak tadi segera memanggil dan saya mendekat."Ini mas tanda tangan,"ujarnya. Ah, rupanya sebuah amplop disodorkan, selain ia meminta kembali jas yang saya pakai. Kali ini badan dingin menjadi tak terasa. Saya pulang dengan gembira, karena ada rejeki yang bisa untuk menambah beli susu anak. Sampai rumah, seorang teman mengirim foto saya memakai jas di televisi lewat BBM. Teman saya berkomentar tampang saya terlihat jelek, saat foto itu saya upload di facebok...biasalah.Demam kamera,hahahaha.... 

gimana akting gue?

Melihat para artis menangis atau marah di tayangan infotainmen?Jangan dulu terhanyut perasaan. Mari selidiki dulu, apakah itu air mata dan kemarahan betulan, atau sekedar air mata buaya plus kemarahan yang dibuat-buat. Saya sebut begitu, karena tangisan dan kemarahan itu  tersaji saat mereka diwawancarai untuk menanggapi sebuah kasus. Tahu sendiri khan? Mereka di shot kamera dan sadar soal ini.

Lagi-lagi ini masalah pencitraan. Mungkin dengan menangis, publik menjadi semakain cinta, karena artis pujaannya punya empati tinggi. Atau saat mereka marah, publik juga ikut-ikutan marah, meski kemarahan yang ditunjukan si artis tidak tulus dari dalam hati.

Saya ngomong begini, setelah melihat dan mendengar wawancara seorang aktor senior. Namanya tidak perlu saya sebutkan. Tapi jika mengingat ini, saya merasa geli. Oh, ternyata selama ini penonton televisi cuma dikibuli,hehehehe.

Semua berawal dari tersandungnya seorang aktor senior yang sudah sangat terkenal di tanah air oleh kasus narkoba. Berita ini memang mengejutkan semua pihak.  Maklum saja. Aktor senior itu sebelumnya dikenal bersih. Tak pernah ada desas-desus ia pecandu barang laknat itu. Saya yang kerap menerima berita miring dari berbagai sumber, baik melalui SMS atau fax kantor, tak pernah mendengar ia akrab mengonsumsi narkoba.

Tahun 2004, ketika SBY mulai ancang-ancang mengajukan diri sebagai capres, saya bahkan sempat wawancara lewat telepon. Responnya bagus. Beliau mengangkat sendiri teleponnya, tanpa ada manajer. Saat itu, saya sempat bertanya, kenapa tidak mau mencalonnkan diri sebagai anggota DPR. Tapi sang aktor bilang, misi dia di politik hanya mengantar SBY sebagai presiden. Ia lebih suka bergelut di dunia hiburan -entah main film dan sinetron atau jadi bintang tamu di berbagai acara televisi.

Maka saat berita ditangkapnya beliau terpampang di koran ibu kota, saya sempat shock. Perburuan berita dimulai. Termasuk mewawancarai orang yang pernah berseberangan dengan beliau. Ini menarik. Karena teman-temannya semua ngomong normatif. Ikut prihatin dan semoga bisa cepat selesai masalahnya. Basi dan membosankan bukan?

Beruntung, si aktor yang juga tak kalah terkenal dengan aktor korban narkoba mau ngomong. Seperti biasa, sebelum wawancara kami menunggu ia menyiapkan diri sejenak. Mengatur penampilan biar terlihat rapi.

Wawancara dengan sang aktor sungguh berbeda. Ia menyesalkan kenapa sang teman bisa terperosok ke dalam jurang narkoba. Apalagi sebagai aktor senior bisa menjadi panutan bagi yang muda-muda. Tak lupa ia memasang wajah tegang, penuh amarah dan penyesalan, karena bekas seterunya itu tidak bisa menahan godaan. Cukup. Wawancara selesai, dan selanjutnya sesi ngobrol-ngobrol ringan. Ajaib, saat ngobrol-ngobrol ringan, ia kembali bersikap normal. Bahkan seolah-olah tak terjadi apa-apa.

Namun seperti yang saya sebut sebelumnya, saya menjadi geli jika mengingat closing ucapannya sebelum dia meninggalkan tempat acara. Dengan serius, beliau bertanya pada kami-kami, wartawan hiburan."Gimana akting gue?Bagus nggak?". Spontan kami menjawab,"Bagus bang!". Selanjutnya, ia ngeloyor pergi, sambil melambaikan tangan ke arah wartawan. 

Sejak itu, saya selalu mencermati setiap tangisan atau kemarahan yang ditunjukan oleh para seleb di acara infotainmen. Siapa tahu mereka cuma akting, dan tidak tulus datang dari dalam lubuk hatinya....

Tuesday, April 24, 2012

Mahal Nian Tarifnya, Ustaz!

Apa sih yang tidak bisa menjadi barang komoditas ketika sudah berada di tangan para pebisnis di Jakarta?Tengoklah nasib baik yang menghampiri Ustaz Nur Maulana. Dari pendakwah lokal di Makassar, ia ditarik ke Jakarta dan dimanajeri oleh sebuah stasiun televisi swasta. Setelah acara dakwahnya mulai menggaet penonton, Ustaz Nur yang biasanya diberi honor seikhlasnya, kini mulai memasang tarif. Tentu ketentuan tarif itu dari manajernya. Saya beruntung mendapat kesempatan berbincang banyak dengan Ustaz Nur, dalam sebuah perjalanan yang diseling banyak kemacetan di jalanan Kota Jakarta.

Tentu saja tidak mudah membuat janji wawancara, setelah ia menandatangani kontrak dengan teve swasta itu. Saya harus pontang panting meminta izin ke beberapa orang, hingga mendapat kepastian untuk datang ke masjid di sebuah lokasi di pusat kota Tangerang. Waktu itu siang habis dhuhur. Ustaz sedang syuting. Persoalannya kemudian, kru yang sedang mensyut ustaz tidak serta merta memberi waktu. Saya disuruh menunggu hingga syuting selesai. Alhasil, dari janji wawancara pukul 13.00 mundur sampai usai Ashar.

Karena teve itu memang biasa ribet, saya mengalah. Menunggu selesai syuting sambil tiduran di masjid. Saat syuting episode pertama kelar, suasana sempat menjadi tidak pasti. Ustaz di tarik ke dalam untuk beristirahat. Saya berfikir, kalau tidak nekad bakal semakin lama. Bisa jadi akan berubah waktunya menjadi setelah maghrib. Akhirnya saya terobos pintu. Saya panggil ustaz dan memperkenalkan diri. Kru teve sempat melarang. Tapi Ustaz Nur langsung merengkuh tangan dan menarik saya masuk.

"Sekarang tarik nafas dulu y?Ada apa?Mau wawancara ya?"katanya dengan logat kenesnya.

Saya mengangguk sambil tertawa. Karena waktu istirahat yang sedikit, kami janjian lagi setelah syuting episode kedua kelar. Hampir maghrib, syuting selesai. Ustaz Nur langsung mengusulkan agar wawancara dilakukan di mobil kantor yang saya bawa, karena ia mau meeting di stasiun teve tempatnya bernaung. Saya setuju. Perjalanan sekitar dua jam dari Tangerang ke Mampang Prapatan, menjadi ajang obrolan dari A-Z. Saya menangkap kesan, Ustaz Nur orang yang tidak sombong. Tidak juga jaga imej, laiknya ustaz-ustaz yang lain.

Tidak dipungkiri popularitas telah diraihnya. Saat kami shalat maghrib bersama di sebuah pompa bensin, orang-orang yang ikut shalat di mushola SBPU langsung menyalami Ustaz Nur. Mereka hafal wajah Ustaz Nur. Dalam perjalanan ke Mampang, mungkin karena suasana sudah cair, beliau banyak mengungkap keinginan dan harapannya. Semua di ungkap, tanpa minta untuk off the record. Termasuk soal tarifnya yang bisa mencapai Rp 70 juta. Tarif ini berlaku sekitar awal 2010, kala namanya sedang moncer. Tapi, duit segitu tidak semuanya masuk ke Ustaz Nur. Ia hanya mendapat bagian 30 persen.

Tarif itu memang tidak saya tulis setelah wawancara. Tapi tak berapa lama, saya mendapat tugas menulis tarif-tarif ustaz yang sudah gila-gilaan. Tulisan itu saya sisipi kritikan, jika fenomena ustaz memasang tarif sungguh sebuah hal yang amat disayangkan. Saya kutip ungkapan almarhum Gus Dur,"Aneh kalau ustaz pasang tarif. Wong sudah diberi kesempatan untuk memberi pencerahan pada umat kok masang argo,". Nah, dalam tulisan itu saya sebut juga tarif Ustaz Nur.

Dua hari kemudian, kemarahan manajer Ustaz Nur tumpah. Ia menelepon saya terus menerus, memprotes pencantuman harga ceramah Ustaz Nur. Saya bahkan disuruh menunjukan bukti rekaman. Saya tentu saja segera memberi penjelasan. Kalau soal tarif itu memang Ustaz Nur sendiri yang bilang. Karena terus dimarahi, saya sarankan manajer Ustaz Nur untuk menempuh mekanisme hak jawab. Juga saya sarankan menelepon pemimpin redaksi, karena setelah terbit tanggung jawab di ambil pimred.

Anehnya, semua solusi yang saya tawarkan tak digubris.Hal yang mengejutkan justru terjadi, Ustaz Nur membuang daftar pertemanan saya di blackberry-nya. Saya tidak tahu apakah ini sengaja atau tidak. Saat di mobil, beliau memang memberi nomor PIN-nya, agar mudah berkomunikasi. Ustaz Nur juga berpesan, kalau mau mengundang dia jangan lewat manajer. Pokoknya saya dikasih hotline, supaya jika butuh untuk ceramah tarifnya bisa lebih 'miring'."Saya bahkan sering ceramah gratis kalau di Makassar. Kalau sudah di Jakarta semua dipegang manajer,"keluh Ustaz.

Kini saya tak pernah lagi menghubungi Ustaz Nur. Selain nama saya sudah "dibuang", saya juga mencoba memahami, mungkin Ustaz Nur tidak suka tarifnya diketahui khalayak. Tapi yang membuat saya jadi serba susah, akses untuk mengundangnya menjadi tertutup. Artinya, jika ada teman atau siapa saja yang mau memboyong Ustaz Nur lewat saya, ini menjadi mustahil. Semua harus lewat manajer sekarang. Jika begitu, siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam, dibanding jika lewat jalur tak resmi. Amboi....

Friday, April 20, 2012

Mohon Maaf Pak Parni....

Sebetulnya biasa saja hasil wawancara tak bisa naik cetak. Ada banyak faktor. Selain salah ekspektasi, barangkali pula bahan wawancara yang didapat tidak sesuai harapan. Tapi pengalaman saya mewawancarai bekas direktur utama Antara, Parni Hadi, membuat saya selalu merasa "bersalah". Saya kasih tanda petik, karena memang ini kesalahan yang tidak disengaja. Ini benar-benar pengalaman paling tidak mengenakan, hingga membuat saya tergelitik untuk menuliskannya.

Saya SMS PH -begitu Parni Hadi biasa disapa- untuk meminta wawancara. Temanya soal profil keluarga. Tak lama, PH menyetujui dan memberi saya waktu hari Sabtu. Pasalnya di luar hari itu, beliau sibuk dengan tugas-tugasnya. Memang meski sudah pensiun dari LKBN Antara, PH masih aktif di mana-mana. Saya sanggupi permintaan PH dan saya bilang akan datang bareng fotografer. Sabtu yang dingin oleh hujan rintik-rintik, saya meluncur ke kediamannya di bilangan Ragunan, Jakarta Selatan.

Sempat tersasar, berkat bantuan seorang petugas keamanan, akhirnya saya bisa menemukan komplek perumahannya. Saya sedikit terkejut. PH diluar gambaran benak saya. Tadinya saya beranggapan, beliau hidup sederhana seperti penampilannya di depan umum dan laiknya kehidupan wartawan umumnya. Tapi sampai di depan rumahnya, saya langsung berkesimpulan, PH salah seorang wartawan yang sukses. Rumahnya besar, dengan tiga mobil cukup mewah terparkir di garasinya.Interior rumah bagus dan dipenuhi berbagai jenis buku.

Saat saya datang, fotografer saya belum datang. Ketika PH meminta penjelasan soal spesifikasi rubrik, saya jelaskan bahwa saya ingin mengangkat profil keluarganya. Informasi mengejutkan justru datang, ketika PH mengaku istrinya sudah meninggal dunia cukup lama. Waduh, gawat. Padahal rubrik ini tidak ada tawar menawar harus masih ada istrinya. Namanya profil keluarga. Saya butuh foto PH dengan istri dan anak-anaknya. Saya sempat bimbang. Kenapa tidak bilang ketika saya pertama kali mengirim pesan pendek. Mestinya PH bisa menangkap keinginan saya.

Karena tak mau mengecewakan, saya akhirnya mewawancarai dia. Saya BBM fotografer supaya datang saja dan ambil foto-fotonya. "Nggak apa-apa meski nggak bakal dimuat. Yang penting jangan bikin dia  kecewa,"kata saya lewat BBM. Wawancara mengalir lancar. PH sangat antusias. Beliau bahkan menyuruh saya mewawancarai dua anaknya, supaya tidak dicap sebagai pembual soal bagaimana cara dia mendidik anak-anaknya. Saya ikuti permintaan itu. Tidak apa-apalah. Tidak enak untuk menolaknya,hehehe (serba tidak enak karena saya orang Jawa).

Benar saja, usai wawancara profil PH tak bisa naik. Saya akhirnya mencari penggantinya. Tentu saja saya tidak berani memberitahukan pada PH, meski kesalahan bukan berada di pihak saya. Hingga suatu hari, PH mengirim BBM menanyakan kapan naskahnya terbit. Waduh, bingung juga saya menjawabnya. Tapi akhirnya saya bilang, naskahnya ditunda dulu karena alasan-alasan tertentu. Saya tidak menyebut alasan secara gamblang misal karena status beliau yang sudah duda. PH cuma meminta, saya memberitahu kalau naskahnya jadi dimuat.

O,ya, lucunya sebelum dia menanyakan kapan naskahnya dimuat, PH sempat meminta ada bagian wawancara anaknya yang tidak mau dipublikasi. Saya benar-benar merasa berdosa. Tapi saya juga tidak berani bicara jujur, kenapa hasil wawancara itu masuk tong sampah. Bukan kualitas PH-nya lho...Tapi karena istrinya sudah almarhum. Baru kali ini saya merasa serba salah, karena melihat antusiasme PH yang harus dikalahkan oleh kesalahpahaman yang mestinya tidak perlu terjadi. Pada PH, saya minta maaf sebesar-besarnya. Motivasi dan pengalaman anda menjadi pegangan saya, sebagai junior yang masih perlu banyak belajar....

Sekali Lancung ke Ujian

Pernah dengar laki-laki tuna netra yang memiliki prestasi mengagumkan layaknya orang normal. Saya tak mau menyebut namanya. Tapi laki-laki berinisial RM ini memang benar-benar mengagumkan. Saat saya hendak mewawancarainya, saya harus berhubungan dulu dengan asistennya. Ketika sudah bertemu, saya tanya kenapa harus menggunakan asisten.Dia bilang agar bisa efisien. Saya tertarik untuk mewawancarainya, karena ia baru saja di blow up oleh media karena gebrakannya yang dahsyat. Selain menjadi motivator yang diundang di berbagai forum, dia juga jadi wartawan freelance dan penulis buku. Tak kalah hebat, dia berhasil menciptakan komposisi musik untuk sebuah permainan game.

Pertanyaan pertama tentu bagaimana ia menulis di komputer. Saat saya sambangi, ia mempraktekan skill-nya di depan PC, hingga bisa menulis layaknya punya penglihatan normal. Semua huruf di keyboard sudah hafal di luar kepala. Sementara untuk mengoperaikan fitur lain, komputernya di program khusus hingga bisa mengeluarkan suara perintah. Si RM ini lantas dengan cepat bisa menulis, tanpa ada halangan. Wah, pantas saja dia mengklaim sebagai jurnalis paroh waktu. Luar biasa....

Di rumah orang tuanya yang asri di Bekasi, puluhan tropi kejuaraan berderet di mana-mana. Begitu pula piagam penghargaan.Menggantung di sudut-sudut strategis, seolah menjadi penanda dengan siapa saya berhadapan. Foto terakhir dia saat menerima penghargaan sebagai remaja teladan dan berprestasi juga terpampang. Di situ RM sedang bergaya dengan pedang Star Wars miliknya bersama artis Olivia Zalianty. Oh, ya, si RM ini juga penyuka dan kolektor pedang Star Wars. Dia bahkan mengoleksi satu pedang yang bisa menyala berkedip-kedip itu yang harganya Rp 10 juta. Busyet dah...Rp 10 juta.

Memang penghasilannya sebagai pembicara lumayan gede. RM juga mengaku sengaja menggunakan asisten, supaya nilai tawarnya tinggi di mata para peminat cuap-cuapnya. Tapi saya tak berhasil mengorek angkanya. Cuma sang asisten, perempuan cantik yang tinggal di Kemayoran, mengakui dalam sebulan bisa 4-5 kali undangan ceramah. Coba kalikan dengan tarifnya yang sudah bilangan juta. Kebutaan matanya seolah menjadi sesuatu yang tidak bisa menjadi penghambat kreativitasnya. Pantas saja dia dinobatkan sebagai remaja teladan. Tidak kalah dengan motivator yang punya penglihatan normal.


Saat saya berkunjung, kedua orang tuanya sedang bekerja. Kalau melihat kondisi kediamannya, orang tua RM bisa dibilang berada. RM pun bercerita, bagaimana ia mendapat semua fasilitas yang dibutuhkan, hingga potensinya berkembang maksimal. Tak pernah dibeda-bedakan dengan saudara kandungnya yang memiliki penglihatan normal. Karena motivasi orang tua dan didikan yang tepat, RM tumbuh dengan segudang imajinasi dan ambisi, terutama menjadi remaja tuna netra berprestasi.

Usai wawancara, tak henti-henti saya mengagumi. Sepanjang jalan Bekasi-Jakarta, saya seolah merasa malu, karena sebagai laki-laki yang dikaruniai panca indera yang utuh, belum bisa mencapai prestasi sehebat itu. Hasil wawancara itu memang akhirnya tidak dipublikasikan. Bukan apa-apa. Ternyata umur RM sudah 29 tahun -sebuah umur yang terlalu tua untuk masuk dalam rubrik yang maksimal berumur 22 tahun. Karena tak jadi naik, saya terpaksa tidak memberitahukan pada RM. Tidak enak rasanya sudah dikasih waktu, tapi gagal terbit.

Cukup lama saya tak mendengar kabarnya. Hingga satu ketika, betapa terkejutnya saya, saat sebuah berita melansir kecurangan RM. Dia dituduh menjiplak aransemen musik yang diakui sebagai hasil karyanya. Ironisnya, berita itu benar adanya. Tak pelak, RM pun terpojok. Memang tak ada pembelaan secara langsung dari RM yang saya dengar. Tapi berita itu benar-benar telah menghancurkan reputasi RM. Saya sempat berkomunikasi dengan asistennya, sang dara dari Kemayoran. Dia membenarkan kondisi sulit yang dialami RM. Bahkan si asisten mengaku sudah mengundurkan diri.

Saya tentu saja sangat menyayangkan sikap RM. Bayangkan, dengan prestasi yang seabrek begitu, harus hancur hanya karena penjiplakan aransemen musik. Tentu saya tidak meragukan kemampuannya. Tropy dan piagam penghargaan menjadi bukti, tanpa RM banyak berkata-kata siapa dirinya. Tapi pelajaran terpenting dari kasus ini barangkali, integritas dan reputasi itu sangat susah untuk dipertahankan. Sekali kita berbuat konyol, maka kejadiannya seperti panas setahun dihapus hujan sehari. RM sudah merasakan dan mudah-mudahan ia tidak patah semangat!

Tuesday, April 3, 2012

Aduh, Lagi Capeee....!

Ada tiga hal yang membuat seorang seleb tidak mau diwawancara. Bisa karena sibuk syuting hingga memilih untuk istirahat dibanding menerima si kuli tinta. Atau punya kasus pribadi dan mereka ogah publik tahu, hingga mereka antipati pada media. Tapi yang paling sering sih karena nama mereka sudah menjulang tinggi, hingga tak butuh lagi publikasi. Faktor paling buncit alias nomor tiga inilah yang sering terjadi dan kadang ironis. Saya sudah berkali-kali mengalaminya.  Tapi karena ini risiko pekerjaan, jadi sakit hati atau perasaan tersinggung saya simpan saja di laci lemari pakaian.

Tak banyak yang tahu, saat seorang calon artis belum punya nama, mereka amat mencari-cari publikasi media. Sebab, kalau sudah terkenal, job biasanya datang lumayan deras. Di sisi lain, ketika belum terkenal, menjadi amat menyakitkan dicuekin wartawan di sebuah acara publik. Kala wartawan beramai-ramai memburu artis tertentu, seorang artis pendatang baru biasanya menghibur diri dengan pura-pura bertelepon, atau memain-mainkan keypad ponsel. Matanya terlihat jengah, karena tak mendapat sapaan,"Mas,mba...bisa minta waktu buat wawancara sebentar??".

Nah, cerita ini terkait dengan seleb tenar. Nama Nunung OVJ sudah tentu amat dikenal publik. Maka saat rapat redaksi memutuskan untuk memburunya, saya segera bergerilya mencari nomor kontaknya. Dari seorang teman,saya dapatkan nomor kontak manajernya. Namanya Ian. Saya telepon dan utarakan maksud. Saya ingin mewawancarainya untuk edisi khusus Kartini April 2012. Ceritanya sederhana. Soal kemandirian dan daya juang Nunung sebagai tulang punggung keluarga. Maksudnya, Nunung bisa jadi sosok inspiratif, layaknya ibu kita Kartini.

Awalnya Ian menjanjikan untuk mencari waktu yang pas. Beberapa hari kemudian, saya tagih janjinya. Mengejutkan, dia bilang Nunung tidak punya waktu, karena tiap hari dilokasi  syuting. Saya lantas minta waktu saat dia break syuting OVJ. Tak ada jawaban. Lain hari, saat saya kembali kontak, Ian bilang tidak bisa karena break syuting biasanya dipakai untuk make up dan lain-lain. Tidak bisa diganggu. Saya sudah mulai punya firasat Nunung tidak mau. Pasalnya, saya pernah wawancara Sule di sela syuting OVJ. Aman dan lancar saja tuh....

Saya lantas minta Nunung menjawab pertanyaan via email. Tapi Ian bilang tidak punya email. Lewat pesan pendek juga tak dibolehkan.Karena sudah mendekati deadline, saya lantas berinisiatif menyambanginya dilokasi syuting Opera Van Java di Studio kawasan Perdatam, Pancoran, Jakarta Selatan. Saya ingin lihat bagaimana reaksi Nunung saat saya cegat. Siapa tahu dia mau. Dari Depok, saya berangkat naik motor dan sampai di Pancoran habis maghrib. Saya langsung telepon nomor Ian. Di ujung   telepon, seorang gadis menerimanya.

Saya beranikan diri untuk minta waktu wawancara dengan Nunung, mumpung lagi break. Sebentar saja. Barang sepuluh menit. Tapi perempuan di ujung telepon bilang, Nunung sedang tidur. Saat saya desak, dia lantas minta waktu mau ngomong sama manajernya. Saya persilahkan. Saya tunggu di luar studio. Hingga satu jam tidak ada jawaban. Akhirnya saya SMS dan Ian bilang baru saja ada fotografer ambil gambar Nunung. Ian mengatakan fotografer itu berasal dari media saya?

Karena tak juga diijinkan masuk, saya putuskan untuk menunggunya hingga syuting selesai. Kebayang khan menunggu orang syuting dalam kondisi  lelah dan ngantuk. Tepat pukul 22.00 WIB, Nunung saya cegat. Saya bilang minta waktu barang 10 menit. Tapi dia menolak karena mengaku sangat capai. "Besok saja ke sini lagi,"kata Nunung berjanji.

Dalam dinginnya udara malam Jakarta, akhirnya saya tinggalkan studio. Besoknya saya datang lagi. Seperti kemarin, saya datang tepat habis maghrib. Saya utarakan maksud pada crew Trans7. Ada juga asisten Nunung. Mereka bilang Nunung masih tidur. Dijanjikan pukul 19.00 WIB. Okelah. Satu jam saya tunggu. Tapi sampai jarum jam bertengger di angka 19.00, kok Nunung tidak keluar juga. Saya lihat Nunung masih berbaring di kursi.

Saat arloji di tangan saya menunjuk angka 20.00, saya kembali cegat asistennya. Tapi dia mengaku tidak berani membangunkan. Untunglah ada seorang perempuan dari perusahaan tempat penyewaan busana. Dia sudah akrab dengan Nunung, karena koleksi busana tradisionalnya selama ini disewa oleh kru OVJ. Saya minta tolong sama dia. "Kalau mau wawancara ya keluar, kalau nggak mau saya pulang,"ujar saya.

Perempuan itu masuk ke dalam ruang make up. Tak lama dia keluar dengan jawaban yang tidak mengejutkan. Dia bilang Nunung ogah diwawancara. Tidak ditunda?"Kayaknya ogah. Soalnya dia sudah bangun tapi bilang lagi capai. Nggak ada kalimat nanti atau gimana,"kata perempuan itu. Akhirnya saya segera mengambil keputusan. Saya keluar dan  dengan motor saya ngebut pulang ke rumah. Saya ucapkan selamat tinggal Nunung. Semoga selalu berada di "atas", ngetop dan kaya raya selalu, supaya bisa membatalkan janji pada wartawan dengan seenaknya,xixixixi