Daftar Isi

Monday, March 19, 2012

Sepatu 23 Juta

Ingat Ruhut Sitompul, ingat gayanya yang meledak-ledak saat ngomong.Pengacara yang satu ini terkenal nyentrik, dan ceplas ceplos kalau ngomong. Maka tak aneh, Ruhut suka membuat telinga para lawan politiknya memerah. Sebagian memaafkan. Tapi ada juga yang akhirnya menjadi musuh "abadi". Contohnya, Hotman Paris Hutapea, sama-sama pengacara dengan karakter tak beda jauh dari Ruhut. Di kalangan wartawan, bukan rahasia lagi jika mereka bermusuhan secara pribadi. Terutama Hotman, yang sepertinya sangat membenci Ruhut.

Saban ketemu wartawan, Hotman selalu menyinggung Ruhut. Jika ia memakai mobil Ferarrinya, Hotman akan meledek Ruhut."Mana dia mampu beli mobil seperti ini,"ujarnya jumawa. Kali lain, dengan jari tangan digoyang-goyang saat bicara, Hotman memamerkan cincin berliannya. Tak lupa, ia kembali meledek Ruhut."Satu cincin ini bisa untuk membelikan Ruhut sebuah rumah,"kata Hotman. Para wartawan biasanya cuma tertawa. Buat apa meladeni orang "gila" seperti Hotman. Maksudnya, "gila" saking kayanya,hehe.

Ruhut tentu saja bukan orang miskin. Ketika ramai-ramai isu anggota DPR RI periode 2009-2014 bergaya hidup mewah, Ruhut mengaku memakai jam tangan rolex seharga Rp 450 juta. Dia juga pernah membeli mobil mewah merk Bentley seperti punya David Becham. Tapi memang, Ruhut tidak terlalu pamer seperti Hotman. Sebagai pengacara Ruhut pasti kaya. Saya ingat benar, ketika sama-sama berkunjung ke Yogya, ketika hendak memberikan sumbangan korban gempa. Kalau tidak salah tahun 2005.

Sejak di bandara Soekarno-Hatta, saya sudah bersama Ruhut. Dia memakai kaos bola dengan tulisan "Poltak" di punggungnya. Ruhut bareng beberapa artis, diajak oleh pengelola sebuah pusat perbelanjaan terbesar di Jakarta. Saat tiba di bandara Adi Sutjipto, kami dijemput dan langsung menuju ke lokasi gempa. Ruhut tentu saja jadi pusat perhatian. Dia sedang naik daun sebagai Poltak si raja minyak di sinetron Gerhana. Orang-orang mengenal wajah dan gayanya. Tak heran, setiap tiba di lokasi pemberian bantuan, Ruhut ikut dielu-elukan seperti artis lain.

Hingga siang menjelang, acara selesai. Dengan muka lecek dan kelelahan, kami masuk bus. Tujuan berikutnya ke Bandara Adi Sutjipto untuk pulang. Nah, di dalam bus Ruhut banyak cerita. Segala macam hal. Terutama soal koleksi mobil-mobilnya. Tak lupa, ia menunjukan sepatunya yang kotor kena lumpur lapangan. Sepatu kulit dengan kombinasi warna hitam dan biru itu terlihat sederhana saja. Tapi Ruhut mengaku, harganya lumayan mahal. "Ini sepatu mahal. Harganya 23 juta tapi cuma buat nginjek-nginjek lumpur,hahahaha,"kata Ruhut dengan derai  tawa khasnya.

Tahun 2005 sepatu harga segitu pasti cukup mahal.Maka tak heran saat ia kembali bertengkar di acara Indonesia Lawyers Club di Tvone, saya SMS dia. Saya tanya apa benar permusuhannya menjadi konflik pribadi? Ruhut mengelak. "Tidaklah. Dia (Hotman) saja yang mungkin punya masalah dengan aku,"ujarnya. Ruhut, seperti biasa lantas ceplas-ceplos menilai Hotman. Saya kemudian menutupnya,"Aku percaya Bang Ruhut bukan orang miskin. Bagaimana mau disebut miskin kalau abang adalah seorang penggemar cerutu,hehehe,". Ruhut memang tak menjawab. Tapi saya yakin dia senang aku "angkat". Apalagi faktanya dia penggemar rokok cerutu, yang satu batangnya konon bisa berharga enam ratus ribu rupiah....Alamak!

Saturday, March 17, 2012

Jepret,jepret,jepret...bayar dong

Menikahnya kembali Aa Gym, Maret 2012, disambut baik banyak pihak. Dengan kembali berkolaborasi, kedua orang pendakwah itu pasti akan menghasilkan sesuatu yang bagus. Minimal demi kebaikan ketujuh anaknya, yang selama ini ikut Teh Ninih di Bandung. Sementara Aa tinggal di BSD, Serpong, Tangerang bersama Teh Rini, yang berubah status menjadi "istri tua", setelah Teh Ninih kembali dirangkul. Bersatunya kembali si Aa bersama istri lamanya, juga diharapkan bisa kembali memunculkan sinar karisma Aa Gym, yang sempat redup setelah poligaminya terbongkar. Konon pula Teh Ninih kembali menerima Aa Gym, karena demi nama baik pesantren Darrut Tauhid.

Saya tidak ingin membahas soal di atas terlalu detil. Tapi ada pernyataan menarik dari adik Teh Ninih, yang menyebut salah satu faktor perceraian Aa Gym dan Teh Ninih adalah karena faktor popularitas. Saat masih runtang-runtung, popularitas Aa Gym, saya akui amat tinggi. Aa Gym dipandang seperti laki-laki sempurna oleh banyak kaum Hawa. Tak heran, penggemar si Aa kebanyakan kaum perempuan. Salah satu contohnya, saat Aa Gym mampir di kantor redaksi sebuah tabloid ibu kota untuk ceramah. Mayoritas pendengarnya adalah kaum ibu-ibu.

Saat itu, Aa menceritakan bagaimana ia belum berani kawin lagi. Kata Aa, ia belum dapat SIM dari Teh Ninih. SIM adalah kependekan dari Surat Ijin Menikah (lagi). Si Aa kembali menambahkan, lagi pula buat apa nambah istri lagi? Satu saja tidak bakalan habis. "Saya juga sering melihat istri saat tidur. Rasanya kasihan dia sudah melahirkan tujuh anak dari rahimnya. Aduh, saya bersyukur mendapat perempuan seperti dia (Teh Ninih),"kata Aa Gym. Bagaimana perempuan tidak klepek-klepek mendengar ceramah seperti ini?

Usai ceramah, layaknya selebritis, Aa Gym jadi obyek foto para jamaah. Anehnya, tidak seperti artis yang spontan melayani permintaan foto penggemarnya. Jamaah Aa Gym antri menunggu dengan tertib, dengan seorang juru foto yang nampak profesional. Lima orang maju. Jepret,jepret,jepret. Ganti lagi lima yang lain. Begitu seterusnya. Tentu saja Aa tak henti-henti menebar senyum. Karena penasaran, saya tanyakan hal itu pada salah satu peserta yang sedang menunggu giliran foto. "Kok tertib banget?Biasanya pada rebutan, saling mendahului pakai kamera sendiri,"kata saya.

Jawaban mengejutkan saya dapat dari si ibu. Katanya, mereka dikoordinir oleh orang Darut Tauhid dan mendaftar dulu. Siapa yang belum mendaftar jangan harap dikasih kesempatan. Kebetulan Aa Gym datang ke kantor redaksi tabloid atas undangan sebuah kelompok pengajian. Jadi relatif mudah mengenali, siapa yang jadi anggota pengajian dan ikut foto, serta siapa "orang luar". Cukup lama antrian foto-foto itu, dan Aa Gym tidak sedikitpun nampak lelah.

Awalnya saya berfikir foto-foto itu gratis. Seperti itulah yang terjadi pada para artis dan selebritis lain. Cerita orang ngajak foto orang lain dan harus bayar hanya saya dengar di pedalaman Papua. Konon karena mereka juga butuh uang. Jadi kalau kita ingin berpose dengan orang Papua yang pakai koteka, ya harus bayar. 

Tapi, si ibu yang sedang antri ini justru memberikan info yang membuat saya seperti mendengar petir disiang bolong. "Kata siapa gratis?Kita bayar kok untuk bisa foto dengan Aa?"ujarnya.

Sempat saya kejar berapa mereka merogoh kocek. Tapi si ibu tak mau menjawab."Yang jelas tidak gratis,"katanya. Saya langsung mafhum, kenapa yang sibuk motret justru orang dari Darrut Tauhid. Belakangan saya dapat informasi, memang ada divisi khusus yang menangani permintaan penggemar Aa Gym untuk foto bareng. Ini pemasukan halal tentu saja. Hanya saja, segitu perhitungannya banget, sampai-sampai orang minta foto bareng saja dikenakan tarif. Entahlah setelah Aa Gym bercerai dengan Teh Ninih dan menikahi lagi Teh Ninih. Apakah masih ada tarif?

Monday, March 12, 2012

Lho, Dia Orangnya Toh?

Merayu seorang menteri untuk meluangkan waktu buat wawancara, tentu butuh perjuangan keras. Awalnya, saya melihat salah seorang menteri dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2 ini rajin nongol di media. Insting saya langsung bekerja. Ini pasti menteri yang banci tampil. Maksudnya menteri yang suka publisitas dan selalu ingin on the cam. Kebetulan ada teman yang memiliki nomor orang dekat menteri tersebut. Saat saya utarakan maksud untuk minta waktu, benar saja. Si orang itu menyambut positif maksud saya. Ia bahkan memberi nomor kontak asisten pribadi pak menteri.

Namanya pejabat penting, tentu harus cari waktu di akhir pekan, agar bisa ketemu di rumah dinasnya. Jum'at sore saya dikasih tahu boleh datang ke Widya Chandra, komplek menteri. Sampai di sana, saya langsung di sambut oleh pejabat departemen yang dipimpin pak menteri tersebut. Panggil saja Pak NY. Dia suruh saya menunggu, karena pak menteri belum datang. Lumayan lama juga saya menunggu. Saat hari mulai gelap, datanglah mobil Toyota Crown yang beriringan dengan beberapa mobil lain, dikawal oleh motor gede polisi. Pak Menteri datang, saya disuruh menunggu sama Pak NY.

Usai wawancara, kami pulang. Hubungan itu menjadi awal saya menjalin pertemanan dengan asisten pribadi sang menteri. Pak menteri mengaku senang dengan tulisan saya. Hingga satu saat, saya kembali dikontak oleh asisten pak menteri. Ada proyek yang  membutuhkan jasa wartawan. Apa proyeknya? Dia minta saya untuk ketemu. Akhirnya disepakati kami ketemu di sebuah cafe dibilangan Senayan City. Di situ ada gerai kopi terkenal yang nyaman untuk ngobrol. Tentu saja saya tidak kuat untuk membayar segelas kopi dengan harga yang tidak masuk akal. Untung saya dibayari.

Proyeknya ternyata pak menteri ingin merancang sebuah kegiatan, yang membuat namanya bisa dikenal oleh kalangan ibu-ibu dan remaja putri. Berarti kegiatan ini harus masuk tayangan infotainment. Dus, mau tidak mau mesti melibatkan kalangan artis. Pikir saya, ini pasti terkait dengan pilpres 2014. Asisten menteri lantas meminta saya untuk sumbang saran, kira-kira kegiatan apa yang bagus untuk mensosialisasikan nama pak menteri. Ah, saya bingung juga dibuatnya. Saya minta waktu untuk berfikir. Meski setelah sampai rumah usulan saya akhirnya kandas dengan berbagai alasan.

Tiba-tiba saya kembali di telepon. Ini sudah cukup lama sejak saya ketemu terakhir dengan asisten menteri. Ada kegiatan yang mengharuskan pak menteri ingin mengundang seorang artis. Saya disuruh mencari siapa artis yang sedang tidak sibuk. Saya sanggupi permintaan itu. Beberapa teman artis saya hubungi. Ada yang bentrok dengan jadwal lain. Tapi ada pula satu penyanyi tenar yang sedang kosong. Kebetulan ia juga berminat untuk ikut kegiatan pak menteri. Tarifnya, diatas Rp 40 juta dan dibawah Rp 50 juta. Bayaran sebesar itu diterima dengan tugas si artis hanya menemani pak menteri, supaya wartawan infotainment mau datang ke acaranya.

Saat saya sampaikan tarifnya, asisten pak menteri langsung setuju. Tidak ada tawar menawar. Luar biasa. Saya bahkan sempat disuruh ikut ke negeri tetangga, tempat pak menteri mengunjungi acara bersama si artis. Tapi saya tidak bisa ikut karena tak punya pasport. Acara sukses, termasuk satu acara di Jakarta. Saya cuma berfikir, darimana kementerian memiliki dana untuk itu?Membayar si artis, mengongkosi pesawat terbang dan akomodasi hotel bersama empat saudaranya untuk melihat sebuah acara di negeri tetangga. Tapi, that's no problem. Saya tidak mau terlibat terlalu jauh.

Hanya saja, satu hal yang membuat saya terkejut bukan kepalang, saat media menyiarkan berita tertangkapnya seorang pengusaha karena berusaha menyuap pejabat kementerian itu. Bukan pak menteri yang dicokok KPK. Tapi Pak NY. Saya sempat tak percaya, apakah itu Pak NY yang menemani saya ngobrol dengan pak menteri. Tapi saat saya tanyakan pada teman yang memberi saya nomor ke Pak NY, benar dialah yang ditangkap KPK. Subahanallah. Saya cuma geleng-geleng kepala. Ternyata dia toh orangnya?

Hingga kini, saya berusaha untuk tidak menanyakan apa yang terjadi pada Pak NY pada asisten pak menteri. Saya takut mengganggu psikologis dia, karena kebetulan dia masih ada hubungan keluarga dengan pak menteri. Selalu yang saya ingat hanya omongan dia, saat kami ketemu di gerai kopi. Dia bilang,"Jangan lama-lama mikirnya ya mas? Tolong cepat kasih usulan, apa kegiatan yang bagus. Soalnya waktunya mepet, karena anggaran kementerian tahun ini harus segera dilaporkan bulan depan,"katanya. Soal keinginan saya menjenguk Pak NY di penjara, ini sempat jadi bahan candaan dengan teman akrab Pak NY. Tapi kami semua takut untuk menjenguk. Nanti diseret-seret ke dalam kasusnya, bisa berabe...

Cepat di Kirim Ya?

Salah satu sifat selebritas Indonesia yang kerap membuat wartawan kesal adalah kemanjaannya yang luar biasa kalau merasa dirinya dibutuhkan. Syahdan, seorang artis muda dengan inisial OZ masuk dalam proyeksi rapat redaksi sebagai salah satu calon nara sumber. Artis ini sebetulnya tidak terlalu ngetop. Jika dikategorikan dalam jumlah bintang, ya barangkali belum masuk dalam bintang satu. Apalagi bintang empat. Tapi pengalamannya pergi liburan ke Thailand, lumayan menarik dikulik untuk jadi sebuah tulisan. Maka mulailah saya bergerilya untuk mendapat nomor kontaknya.

Setelah nomor kontak manajernya sudah ditangan, saya minta waktu. Waktu itu saya disuruh datang ke sebuah lokasi fitnes di daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Saya datang naik motor, dan fotografer menyusul. Saya pikir, usai dia senam wawancara bisa langsung terjadi. Kami menunggu di ruang tamu. Cukup lama juga. Hingga OZ keluar masih mengenakan pakaian senam, dengan peluh membasahi wajah. Seorang asistennya menyambut saya dan memperkenal pada OZ. Harapan saya memang cukup membuncah. Pekerjaan hari itu bisa langsung kelar. Tapi, harapan tinggal harapan. Ternyata OZ bilang ada acara lain yang harus di hadiri. Jadi saya hanya punya waktu sedikit untuk wawancara.

Karena tulisannya cukup panjang, saya minta komitmen untuk kembali melanjutkan wawancara di lain waktu. Oke, dia sanggup. Saya pulang dan lain waktu saya tagih janji itu. Saat itu, dia menawarkan untuk wawancara lewat telepon, karena jadwalnya yang padat. Akhirnya saya sanggupi permintaannya. Daripada bahannya bolong-bolong?Wawancara lewat telepon melengkapi bahan wawancara langsung di tempat fitnes, cukuplah menjadi berita satu halaman. Hanya saja, respon yang terjadi setelah beritanya naik sungguh diluar dugaan.Padahal kebiasaan saya memberitahu kalau beritanya sudah naik, supaya si nara sumber jika punya waktu beli sendiri di lapak. Atau jika tidak sempat bisa pula beli di lampu merah Jakarta.

Si artis ini minta dikirimi taloid. Bukan sekali dua kali. Sore itu, saya sedang wawancara di Tebet, Jakarta Selatan. Kembali dia kirim pesan pendek, supaya dikirim tabloid yang ada berita dia."Cepetan ya mas?Saya mau pergi,"tulisnya dalam pesan pendek. Karena tidak enak, saya bilang nanti setelah wawancara. Saya dikasih alamat. Berbekal alamat itu, saya meluncur dari Tebet ke Tomang, Jakarta Barat. Wah, terbayang bagaimana capainya menembus kemacetan sore hari Jakarta. Saya cari-cari rumahnya susah juga. Setelah bekerja keras tanya sana sini, akhirnya  ketemu juga.

Masih mengenakan kaos dan celana pendek, OZ sedang memanaskan mobil Honda Streamnya di depan rumah.  Dia nampak biasa-biasa saja, saat melihat saya turun dari motor dan menyerahkan tabloid. "Terima kasih ya,"ucapnya pendek. Sudah tanpa ada basa-basi lain. Segera saya beranjak pergi. Sampai rumah malam, dan langsung saya membersihkan diri. Hari-hari berikutnya, ketika saya melihat ia bicara panjang lebar di tayangan infotainment soal nilai-nilai hidup yang dianutnya, saya langsung pindah channel. Beruntung, saya hanya satu kali punya kesempatan mewawancarai dia. Kalau berkali-kali, mungkin saya akan terus disuruh untuk mengirim tabloid yang berisi beritanya. Mana tahaaaaan,hahahaha

Naik Kereta Api

Jika melihat anggota DPR ini ngomong di televisi, betapa gagahnya ia selalu mengatasnamakan rakyat dalam setiap argumentasinya. Sedikit-sedikit, jangan khianati rakyat. Sedikit-sedikit, jangan korbankan kepentingan rakyat. Pokoknya canggih.Gigi di mulutnya seolah-olah sudah diukir dengan huruf R-A-K-Y-A-T. Apalagi ketika pembahasan kasus Century di DPR. Ia bicara lantang, menohon siapapun yang menyerang statemennya. Namanya langsung melejit, menjadi publik figur karena parasnya kerap muncul di televisi. Bahkan sebagai bukti kebeperpihakannya pada rakyat, politisi dari partai kecil ini mengaku selalu naik kereta dari rumahnya di Depok. Luar biasa.

Maka, karena rasa ingin tahu sebagai wartawan,saya meminta waktu untuk mengangkat profil keluarganya. Kebetulan ia sedang sibuk membahas isu besar. Pulangnya selalu malam. Beberapa kali janji ketemu akhirnya direvisi. Hingga kemudian, saya disuruh datang ke rumahnya. Sendirian, saya ke sana, mencari rumah di sebuah komplek, dan ditunjukan satpam di gerbang depan. Kata satpam, sang politisi belum  pulang. Sementara sang istri baru saja keluar menggunakan Sedan Honda Accord terbaru. Saya pun menunggu. Kata pak satpam, tidak akan lama karena si nyonya politisi hanya membeli ikan di pasar.

Memang benar, tak lama si nyonya datang. Saya disuruh menuju ke rumahnya. Rumahnya tidak terlalu  mewah. Tapi untuk ukuran orang Indonesia umumnya, masih agak lumayan bagus. Karena suaminya belum pulang, saya wawancara sama si nyonya. Setelah ngobrol ngalor ngidul, saya sampai pada pertanyaan,"Bapak kalau ke Senayan naik apa bu?". Si nyonya menjawab jujur, yang membuat saya agak terperanjat. Merasa cukup, saya pamit dan kembali minta waktu pada si politisi agar bisa wawancara.

Lokasi ditentukan di sebuah restoran dekat Gedung DPR/MPR. Sesuai janji saya datang.Tak disangka, ternyata di situ berkumpul semua koboy Senayan. Wajah-wajah mereka yang selama ini terlihat galak di televisi, nampak tertawa-tawa, dengan hidangan beraneka rupa yang sudah hampir habis disantap. Satu persatu, teman-teman si politisi undur diri. Di situ, di samping meja makan yang masih penuh bergeletakan piring kotor, saya siapkan tape recorder.

Saya dipesankan air mineral. Menariknya, ia menyodorkan piring dan saya disuruh makan nasi dan lauk sisa para koboy Senayan. "Ayo makan saja.  Itu belum habis,"ujarnya. Untuk menghormati, saya ikuti kemauannya. Saya makan ayam plus cah kangkung, sebelum obrolan kembali berlanjut.Setelah cukup berbincang, saya minta diri untuk pulang. Saya melihat, tumpukan piring bekas makanan yang enak-enak segera di singkirkan waiters. Saya pulang ke rumah, merenung-renung semua hal yang baru terjadi.

Dalam wawancara itu, kembali si politisi dengan entengnya bilang, ia ke kantor naik kereta api. Tiba di stasiun Palmerah, ia naik ojek ke Gedung DPR. Begitu tiap hari, tanpa pernah memberi alasan kenapa lebih suka naik kereta api. Mungkin dalam benaknya berfikir, kereta api adalah simbol rakyat kecil. Dengan naik kereta api, berarti ia tidak meninggalkan rakyat kecil. Atau setidak-tidaknya, selalu concern dengan nasib wong cilik.

Omongan politisi itu memang akhirnya tidak saya percaya. Bukan karena posisinya sebagai politisi. Bukan.Tapi setelah mendengar pengakuan istrinya, yang secara jujur mengatakan, suaminya memakai kereta api karena lebih cepat sampai kantor. Apalagi jarak rumah ke stasiun kereta api Depok cuma 10 menit. Kalau pakai mobil bisa kejebak macet dan terlambat bisa satu jam. Tapi si nyonya tak lupa melanjutkan,"Biasanya mobilnya disusulin ke Jakarta sama sopir. Jadi saat di Jakarta suami saya beraktivitas pakai mobil,"katanya.

Tulisan saya di media tak menyinggung soal ini. Cuma lama-lama saya kesal juga melihat kemunafikan yang dipertontonkannya. Tak ada jalan lain, selain aku tulis di sini. Jadi yang benar, dia naik kereta api untuk menghemat waktu. Sama seperti kesaksian satpam di depan gerbang, jika si politisi memang terkenal "pelita hati".Ah, pantas saja saya disuruh makan bekas makan para koboy Senayan. Sialan,hehehe




Basa-basi Pulsa

Kalau menyebut aktor ini, seluruh orang Indonesia yang SMA-nya tahun 1980-an pasti kenal. Dia aktor senior. Profesinya macam-macam. Sutradara film, pemain film dan sinetron, penulis cerita hingga penggiat seni di Sukabumi, Jawa Barat. Kegiatan terakhir dilakukannya, setelah ia menikahi seorang artis lokal Sukabumi. Sang aktor pun harus pulang-pergi Jakarta-Sukabumi saban Jum'at. Kebetulan ia punya rumah di Bekasi, di sebuah komplek perumahan kecil yang agak terpencil. Nah, satu ketika saya sambangi rumah si om untuk sebuah wawancara.

Saya sempat kaget melihat rumahnya. Tak seperti artis atau aktor tenar lain yang rumahnya besar,bersih dan kadang terlihat mewah, rumah sang aktor sangat sederhana. Mungkin sama luasnya seperti rumah saya;tipe 33. Hanya saja, bukan menghina, rumah si om nampak tidak terurus dengan baik. Barang berserakan di mana-mana. Ruang tamu diisi meja kerja berisi buku-buku, dengan foto dan piagam bergantungan tak serasi. Barang-barang bergeletakan, membuat ruangan itu terasa sumpek. Belum lagi cat dinding yang nampak sudah mengelupas di sana-sani.

Saat jeda wawancara, saya sempat meminta izin ke kamar mandi. Masya Allah, ada tikus besar berkeliaran di dalam rumah. Waktu masuk ke dalam kamar mandi, plafond kamar mandi sudah mulai jatuh.  Dinding kamar mandi agak kehitam-hitaman, karena jarang di sikat. Pendek kata, rumahnya tidak mencerminkan sosoknya sebagai aktor terkenal. Tapi kalau melihat kiprahnya, memang sekarang ia jarang muncul. Maksudnya, jika jarang nongol berarti job yang mampir juga tidak sekencang masa kejayaannya.

Mobilnya unik. Kijang tahun 1984 yang audionya di modifikasi seperti audio sebuah diskotik. Banyak speaker besar dengan lampu berderet-deret. Saat distel lagu dangdut Rhoma Irama, dentaman bassnya segera membuat mobil bergetar. Sang aktor menamai mobilnya uka-uka. Mobil ini menemaninya bolak-balik menjenguk sang istri, atau ke mana saja dia mau. Saya salut, si om jujur mengakui, dulu saat masih "gila", ia sering mendengarkan musik di mobil sambil fly. Saat wawancara, dia bilang sudah tobat. Hidupnya diserahkan pada Tuhan.

Setelah wawancara, banyak benar yang ia mau. Ini dimuat. Cerita itu menarik kalau ditulis. Jangan lupa ambil filosofi yang sudah diungkap. Saya bilang oke. Semua ditulis. Hampir maghrib, kami pamit. Saya, fotografer dan driver kantor meninggalkan rumah sederhananya. Waktu itu saya masih kontak-kontakan dengan dia. Tapi mendadak pulsa habis, dan akhirnya saya minta driver berhenti untuk beli pulsa. "Kasihan si om nggak dibalas-balas pesan pendeknya,"kata saya.

Saya beli voucher, karena elektrik habis. Karena buru-buru mau pulang, saya asal gesek saja pakai koin. Ketika sudah di mobil, betapa kagetnya karena satu nomor kode voucer hilang. Aduh, rasanya menyesal sekali membuang uang sia-sia. Tapi akhirnya saya ikhlaskan. Ini kecerobohan saya. Karena tak enak hati, saya minta SMS sama teman untuk membalas pesan si aktor. Tak lupa, saya memberitahu musibah yang menimpa."Nomor voucernya kegosok om. Jadi susah buat ngisinya,"kataku.

Jawaban si aktor mengejutkan. Dia bilang nanti saya akan dikirim pulsa. Di suruh menunggu saja. Karena saya tidak enak sama teman untuk meminta lagi pulsa, janji si aktor tidak saya jawab. Saya pikir mau mengirim atau tidak tak jadi soal. Sampai di rumah, naskah saya ketik. Saat tulisannya turun, saya SMS dia untuk beli tabloidnya. Dia bilang terima kasih. Hari berlalu berganti minggu, minggu hilang berganti bulan. Foto profil BB-nya tidak pernah berubah. Saya sempat curiga jangan-jangan BB-nya hilang. Tapi saat saya PING! kelihatannya masuk.

Tentu saya menyapa untuk menjalin silaturahmi. Hingga kini BBM saya tak dibalas. Saya tidak tahu bagaimana nasibnya, karena aktivitas seninya tak terdengar lagi di media massa. Tapi yang membuat saya kadang tersenyum-senyum, janji dia mengirim pulsa tak kunjung terlaksana.Mungkin dia lupa.Maklum sudah tua. Saya juga tak lagi berharap sesampai di Jakarta, karena saya bisa isi pulsa lagi. Halo, om?Bagaimana kabarnya,hehehe