Daftar Isi

Saturday, January 7, 2012

teori yes, cerita praktik no...

Beliau seorang tokoh pendidik terkenal. Gelarnya Profesor Doktor. Teori-teorinya soal pendidikan kerap dikutip media massa cetak dan non cetak. Jika disebut namanya, orang langsung faham, utamanya para mahasiswa jurusan pendidikan. Nah, mengangkat profil bagaimana ia merawat, membesarkan, mendidik dan mengantar anak-anaknya menjadi orang-orang cerdas dan berguna bagi negara dan bangsa (juga mertua), tentu merupakan tantangan menarik.


Saat nama ini saya sodorkan ke rapat redaksi, saya optimis  diterima walau dikabarkan ia sangat galak terhadap wartawan yang tidak menguasai masalah. Pikiran buruk itu saya tepis jauh-jauh. Saya cari no kontaknya. Beruntung ada teman saya yang masih menyimpannya. Awalnya, setiap pesan pendek saya tak pernah dibalas. Hingga kemudian saya nekad telepon. Suara seraknya dari ujung sana langsung berpesan, agar saya menghubungi asistennya, karena dia sedang sibuk rapat. “Nanti minta waktu sama asisten saya kapan bisa ngobrol. Soalnya minggu ini saya mau ke Thailand,”kata si profesor. Saya jawab,”Siap pak!”


Seminggu menunggu, rasanya lamaaaa sekali. Tapi sang asisten bilang, pada prinsipnya bapak tidak keberatan dengan tema yang akan dibahas. Cuma karena beliau orang penting, ya susah ngatur jadwalnya. Paling banter hari Sabtu atau Minggu. Saya sih oke saja. Pokoknya bisa ketemu dan wawancara, selain bisa menambah pengetahuan bagaimana mendidik anak yang baik dari suhu segala suhu soal teori pendidikan di Indonesia.


Di tengah penantian yang tak kunjung pasti, kabar baik itu akhirnya datang. Saya disuruh mampir ke rumahnya di sebuah wilayah di Jakarta Timur. Kebetulan minggu sebelumnya saya pernah membaca rumahnya di kupas tuntas di harian Kompas. Jadi lumayan ada gambaran. Minimal, saya sudah membayangkan bakal menengok rumahnya secara langsung. Janji ini, kemudian saya sampaikan ke fotografer.  Kami janjian untuk ketemu langsung di TKP. Tidak lupa, saya memastikan kembali pada asisten sang profesor, jika tema wawancaranya adalah cara mendidik anak.


Jarak Depok ke rumahnya bukan main jauhnya. Ditambah macet di mana-mana khas Jakarta.Janji ketemu pukul 17.00 terlewati sekitar 20 menit. Wah, padahal fotografer sudah sampai duluan. Benar saja, ketika tiba di rumahnya, fotografer bilang tadi si profesor sudah keluar. Tapi dia masuk lagi karena saya terlambat. Begitu saya kasih tahu orang rumah, pak profesor tak segera keluar. Perasaan saya jadi tidak enak.”Jangan-jangan dia nggak mau wawancara nih,”kataku pada fotografer.


Begitu beliau keluar, saya langsung minta maaf. Saya katakan sudah mengantisipasinya dengan keluar dua jam lebih awal.  Tapi macet dimana-mana dan itu membuat perjalanan saya terhambat. Profesor bisa mengerti. Peralatan tempur saya keluarkan. Notes dan tape perekam serta ballpoint. Hal yang membuat saya bimbang, sang profesor tiba-tiba mengeluarkan segepok catatan seperti seorang akademisi yang akan menguji mahasiswanya.” Prof, temanya sudah tahu khan?Yaitu cara mendidik anak dan cerita sedikit pertemuan profesor dengan istri sampai menikah,”kata saya.


Profesor nampak terdiam. Ia berfikir cukup lama, sebelum kemudian bersuara. “Hah, saya harus cerita bagaimana saya mendidik anak?Anak saya sudah besar-besar mas. Sudah punya cucu. Bagaimana reaksi mereka jika membaca ayahnya cerita cara mendidik mereka. Pasti saya ditertawakan,”katanya. Alamak! Ini sinyal yang tidak menguntungkan buat saya. Tapi, saya mencoba untuk tidak menyerah.


“Khan menarik pak, bagaimana bapak berhasil mengantar putra-putri hingga berhasil dalam studi. Pembaca juga pasti ingin tahu kiat-kiatnya,”saya merayu.


“Tapi mas…itu sudah berlangsung lama. Sementara kiat mendidik dan ilmu mendidik itu selalu up to date. Tiap enam bulan sekali berkembang dan muncul teori-teori baru. Makanya saya bawa segepok artikel, supaya omongan saya tidak ngarang. Saya ini ilmuwan,”.


Sudahlah. Dengan beragam rayuan pun, profesor tak mempan untuk membagi kiatnya mendidik anak sendiri. Saya menyerah. Dengan berat hati, saya menolak mewawancara cara mendidik anak tapi hanya dari teori-teori yang beliau baca dan kuasai. Akhirnya wawancara dibatalkan. Saya janji akan mewawancara beliau sesuai keinginan beliau, jika nanti dibutuhkan.Profesor minta maaf karena kami sudah berlelah-lelah datang dari Depok naik motor. Dia janji akan menegur asistennya, karena tidak lengkap memberi informasi.


Pulang dari rumah profesor, hujan lebat seperti dicurahkan dari langit. Saya dan fotografer berlindung lama di bawah jalan layang Manggarai. Hingga malam menjelang, hujan belum reda. Akhirnya saya putuskan pulang dan sampai rumah basah kuyup. Esoknya, sang sekretaris tanya apa sudah wawancaranya? Saya jawab saja profesor tidak mau karena temanya tidak seperti yang dibayangkan. Anehnya, si asisten tak pernah curhat, jika dia telah ditegur boss-nya. Tanpa rasa bersalah, dia tidak menanggapi kejadian menjengkelkan yang baru saja saya alami.Ampuuuun deh……..


No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!