Daftar Isi

Saturday, January 7, 2012

"meniduri" calon istri teroris

Mendapat tugas meliput di luar kota, tentu menjadi idaman setiap wartawan. Bisa jalan-jalan. Melihat-lihat budaya dan adat istiadat masyarakat daerah lain. Juga bisa sambil refhresing. Itulah yang terbayang di benak saya, ketika ditugaskan untuk ikut Mas Guruh Soekarno Putra ke Makassar, Sulawesi Selatan. Kalau tidak salah, acaranya memperingati hari lahir Pancasila. Saya sendirian dari media cetak. Dari tayangan infotainment ada seorang reporter perempuan dan kameramennya.

Hal baru yang saya lihat sebelum pesawat landing adalah, mayoritas atap rumah di dekat bandara Sultan Hasanudin memakai seng. Bukan karena saya sok orang kota, hingga mesti heran melihat atap rumah menggunakan seng. Bukan. Di desa saya yang terpencil di kota Tegal, Jawa Tengah sana, semiskin-miskinnya penduduk rumahnya pakai genteng tanah liat. Saya tak tahu alasan rumah-rumah di Makassar kebanyakan beratapkan seng. Barangkali faktor cuaca? Atau kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk produksi genteng dalam jumlah banyak.Atau apa, entahlah.

Satu hal yang saya ingat, kota Makassar relatif sepi. Tentu perbandingannya adalah kota Depok di mana saya tinggal. Rombongan kami menginap di hotel kecil, dengan kamar-kamar berderet seperti kost-kostan di dekat pantai Losari.Malam pertama, setelah mandi, kami langsung liputan di lapangan Karebosi. Sebelumnya kami dijamu dengan makanan khas Makassar yaitu Coto Makassar.

Usai liputan, kami mendapat dua kamar untuk istirahat. Untuk saya dan dua orang teman dari tayangan C&R. Karena dari tayangan jenis kelaminnya berbeda, maka oleh panitia diatur, saya tidur dengan kameramen yang laki-laki. Reporter tidur sendirian karena dia perempuan. Persoalan mulai muncul, karena si reporter yang juga teman saya orangnya penakut. Dia tak mau tidur sendirian, apapun alasannya. Celakanya, dia ogah tidur bareng kameramennya, karena sang kameramen sudah punya istri. Dia memaksa untuk tidur bareng saya, mengingat status saya yang masih lajang.

Kondisi dilematis ini tiba-tiba terjadi, justru ketika saya sudah berniat terbang ke alam mimpi. Mendadak si reporter itu mengetuk pintu kamar saya dan mengutarakan persoalannya. Aduh, betapa shock saya. Mungkin bagi pria normal, tidur bareng seorang perempuan berparas cantik dan berbodi aduhai, adalah kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. Tapi bukan itu masalahnya. Hal utama yang saya pikir adalah, apa yang terjadi jika Mas Guruh tahu dan menuduh kami sengaja ngamar?

Segala argumentasi sudah saya utarakan. Bahkan dengan permohonan agar dia mau pindah dan tidur sendiri. Tapi semua usaha saya sia-sia. Dia tetap ngotot minta ditemani tidur.”Pokoknya kamu harus tidur di sini Rif!Jangan keluar,”katanya. Saya bersikeras untuk mengusirnya. “Tolong dong…Kalau Mas Guruh tahu terus dia ngomong ke pimpinan saya, bisa dipecat saya. Sementara saya baru kerja beberapa bulan,”pinta saya.

Tapi, ampun dech. Alasan apapun tak mampu menggoyahkan niatnya untuk tidur bareng saya. Akhirnya dengan keringat dingin saya jaga dia. Benar-benar dengan keringat dingin, karena saya takut Mas Guruh tahu. Saya masih punya adik yang harus saya biayai. Selama setahun, saya bekerja sebagai sales buku dan itu membuat saya tak nyaman. Setelah mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan, wajar dong kalau saya takut di pecat?

Hal yang kerap menjengkelkan –kalau bisa dibilang begitu- tiap kali dia sudah memejamkan mata dan saya berjingkat untuk keluar, tiba-tiba dia langsung terjaga. Tanpa ampun, saya kembali ditarik supaya tidak keluar. Begitu berkali-kali sampai saya frustasi. Semalaman saya tak bisa tidur. Mata saya selalu memincing ke pintu kamar, takut kalau tiba-tiba ada yang mendobrak atau apalah. Pokoknya saya nervous, takut, khawatir, meski sesekali saya melihat juga ke wajahnya yang tenang saja tidur pulas.

Pagi menjelang, sang kameramen masuk dan membangunkan dia. Sontak saya marah-marah, karena merasa dikerjain. Tapi dengan tenangnya, si kameramen berujar,”Elo baru tahu ya kalau dia penakut? Tapi asyik juga khan tidur satu kamar?”.Jangkrik! Asyik dari Hongkong?Boro-boro bisa tidur…Wong gara-gara dia saya semalaman begadang.Si kameramen cuma tertawa lebar. Sepanjang pulang ke Jakarta, peristiwa itu benar-benar melekat dalam benak saya. Anehnya, si reporter tak merasa bersalah dan tenang-tenang saja.

Hampir 5 tahun setelah peristiwa itu, saya lost contac dengan si reporter itu. Konon dia diterima jadi PNS. Hingga suatu ketika, ada peristiwa percobaan bom di wilayah Serpong, Tangerang, yang berhasil digagalkan Densus 88. Tak lama otak pelakunya ditangkap. Satu hari, iseng-iseng saya baca koran harian di kantor. Saya kaget, karena nama si reporter tercantum sebagai istri salah seorang teroris dan sudah ditahan, menyusul suaminya. Saya konfirmasi ke teman-teman, benar kalau dia yang ditahan.

Konon sekarang sudah pakai jilbab. Dulu saat jadi wartawan, dia selalu berpakaian seksi.Saya cek ulang ke kameramen yang pernah bareng ke Makassar. Dia menguatkan berita koran. Kali ini saya kembali shock. Benar-benar dunia begitu penuh dengan peristiwa tak disangka-sangka. Saya sempat berkelakar pada si kameramen,”Eh, bezoek tuh temen lo. Masa nggak kasihan dia dibui?”. Dengan tertawa, si kameramen cuma bilang,”Bezoek bagaimana? Apa lo mau disangkutpautkan sama aktivitas teroris mereka? Mending cari amannya,”katanya. Tobaaat, tobat!

No comments:

Post a Comment

Terima kasih atas kunjungan anda!