Daftar Isi

Sunday, January 29, 2012

Nunggu si Jambul, Motor Hampir Hilang

Akhir November 2011, penyanyi Syahrini ramai diberitakan media. Gara-garanya, ia didapuk menjadi penyambut David Beckham dan tim sepakbola LA Galaxy yang diperkuatnya. Bulan itu, LA Galaxy memang sedang tour ke Indonesia, sebelum melanjutkan ke Pilipina dan Australia. Sebagai selebritas papan atas Indonesia, Syahrini ketiban sampur untuk mengucapkan sugeng rawuh pada Mas Beckham.

Bukan Syahrini kalau tidak bersikap kontroversial. Ketika menyambut Bechkam dan konco-konconya di air port Soekarno-Hatta, Syahrini berdandan habis-habisan ala Victoria Beckham. Itu lho bekas penyanyi spice girls yang akhirnya menjadi nyonya Beckham. Tak kalah heboh, sembari mengelus pipi Beckham, Syahrini juga mengaku Beckham sempat main mata dengan dirinya.Keriuhan semakin menjadi-jadi, karena Syahrini menciptakan mode rambut yang diberi nama "jambul katulistiwa", sebagai persembahan khusus untuk menemui Beckham.

Pujian dan hujatan serentak datang. Sejumlah selebritas tanah air mengeluarkan kata-kata tak bersahabat di twitter mereka. Ada yang bilang Syahrini "malu-maluin". Juga ada yang tak segan-segan menyindir Syahrini mirip ondel-ondel. Pokonya seru, panas,dan ramai. Memang, karena harga tiket yang mahal, pertandingan LA Galaxy lawan  timnas Indonesia tak menyedot banyak pengunjung. Tapi ingar-bingar pemberitaan soal tingkah mantan teman duet Anang Hermansyah itu, membuat event kedatangan Bechkam menjadi perhatian banyak pihak. Terutama tentu saja kaum ibu-ibu, penonton setia tayangan infotainment, yang Minggu itu banyak didominasi paras Syahrini.

Syahrini dianggap sukses "memasarkan" Beckham.Plus dengan segala ribut-ribut di belakangnya, Syahrini pun di plot layak sebagai cover. Untuk itu, rapat redaksi menyuruh saya buat janji untuk mewawancarainya. Tentu ini bukan perkara mudah. Kondisi saat itu jauh berbeda dibanding ketika ia masih belum terkenal. Syahrini setelah namanya menjulang, sangat susah diminta waktu. Maklumlah. Kesibukan bejibun. Setelah berkali-kali mengontak Rendy, manajernya, kesepakatan dibuat. Saya bisa mewawancarai dia lewat surat elektronik. Artinya, pertanyaan dikirim dulu. Nanti di jawab.

Kata Rendy, Syahrini akan show ke Jepang. Jadi waktunya mepet. Kalaupun mau ketemu, bisa di tempat syuting Dahsyat. Tapi itu tidak bisa lama-lama.Dalam kebimbangan yang mendera, akhirnya saya rayu terus. Rendy mengalah. Dia bilang boleh ketemu Syahrini pagi di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta sebelum Syahrini bertolak ke Jepang. Saya dan fotografer meluncur ke bandara. Celakanya, hingga pukul 11.00 Syahrini belum nongol.Saat saya konfirmasi ke adiknya, ternyata Syarini baru akan ke bandara malam hari. Karena pesawat ke Jepang take off pukul 23.00.Untuk mencegatnya, saya dan fotografer bisa datang pukul 20.00.

Saya dan fotografer sempat kesal. Tapi karena sudah biasa, kita tak patah semangat. Saya akhirnya berjanji akan datang lagi malam hari.Kala itu date line sudah sangat mepet. Menunggu malam, pikiran saya semakin kacau, karena ada rubrik lain yang belum dapat nara sumber. Akhirnya kami kembali berangkat. Di bandara, walau saya dan fotografer sudah datang tepat waktu, hingga pukul 21.00 Syahrini tidak juga menampakan batang hidungnya. Kabarnya ia masih sibuk syuting taping di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang.

Dalam kekalutan yang mendera, tiba-tiba masuk telepon dari satpam kantor. Saya sempat heran juga. Satpam tanya motor saya di mana?Soalnya di tempat parkir hanya ada jaket dan helm. Saya bingung. Spontan saya bilang, motor di bawah pohon mangga di parkiran kantor. Tapi kemudian saya coba ingat-ingat lagi, ketika satpam meyakinkan tidak mungkin motor hilang kalau di parkiran."Aduh, saya lupa. Motor ada di luar pagar kantor.Dekat pos hansip,"tiba-tiba ingatan saya timbul.

Kepanikan segera mencengkeram benak saya. Satpam mengecek di samping pos hansip. Ternyata sudah kosong. Saat itu hari sudah malam, sekitar pukul 22.00. Saya lemas. Terbayang harus kembali kredit motor. Dengan nada bergetar, berkali-kali saya minta informasi, apakah benar motor sudah tidak ada. Jawaban satpam sama. Motor raib entah ke mana. Mereka hanya mengatakan akan mencarinya.Saya SMS istri. Tak lama mertua telepon. Saya ceritakan apa adanya. Mertua menenangkan. Rupanya dia menelepon karena istri saya menangis menceritakan musibah ini.

Terus terang, acara menunggu Syahrini jadi seperti sedang menunggu hukuman gantung. Panik, gelisah, tak tahu harus berbuat apa. Pokoknya stres. Ini semua gara-gara saya terlalu fokus dan tegang ngejar Syahrini. Jadi motorpun sampai ketinggalan di luar. Namun, alhamdulilah, tak berselang lama satpam telepon motor sudah ditemukan. Kira-kira sejauh 500 meter dari pos hansip dalam kondisi tergeletak di pinggir jalanan sepi. Kedua bannya kempes. Saya lantas menyuruh untuk mengamankannya. Saya telepon mertua dan bilang motor sudah ditemukan. Lega sekali rasanya.

Balik ke kantor pukul 24.00. Motor saya tambal di tukang ban depan kantor. Satpam saya kasih uang sepantasnya. Mereka nampak terheran-heran, ketika mendengar cerita kekhilafan saya (kalau bisa dibilang begitu). Pukul 16.00 sebelumnya saya keluar mau cari makan. Namun baru jalan sebentar, di depan pos hansip ada penjual ketoprak. Saya berhenti. Motor tidak saya kunci stang. Setelah pesan satu piring, saya bilang ketopraknya nanti di kirim ke dalam. Saya lantas masuk ke kantor meninggalkan motor. Rupanya, setelah itu semua seperti terlupakan. Syahrini telah membuat motor Suzuki Thunder alat mobilitas saya hampir saja melayang. Untung Tuhan masih berbaik hati,hehehe.

Saturday, January 7, 2012

No water ustaz?

Sebelum geger perkawinan kedua ustaz kondang kita dikunyah media massa, para ustaz sepertinya menikmati benar peran media massa. Tahu sendirilah. Dengan nama dikenal publik, job mengisi ceramah bisa datang dari mana-mana. Seperti juga yang terjadi pada ustaz yang satu ini. Semua orang kenal namanya. Apalagi dengan gerakan dakwahnya yang selalu menyuruh orang untuk memberikan sebagian rezekinya. Intinya, ayo ramai-ramai bersedekah. Nanti imbalan lebih besar akan kita dapatkan dari Allah.

Saya dan fotografer disuruh wawancara si ustaz ini, karena istrinya baru melahirkan. Maka sesuai instruksi, saya SMS si ustaz. Dia kemudian menyuruh saya menghubungi asistennya.Pertemuan ditentukan sekitar pukul 16.00 WIB di pondok pesantrennya yang sedang dibangun. 

Karena jaraknya tidak begitu jauh dari kantor, fotografer saya minta bonceng motor saya. Saya pikir tidak apa-apalah. Toh hanya untuk rubrik kecil, jadi wawancara paling hanya sebentar. Tepat sesuai waktu yang dijanjikan, saya datang. Tidak terlambat tentu, karena jalannya lewat jalan kampung.

Awalnya, begitu kita datang, saya lihat si ustaz sedang ngobrol di luar pondok dengan beberapa orang. Saya lambaikan tangan tanda sudah datang. Tapi si ustaz minta agar kami menunggu sebentar. Ketika jarum jam sudah bertengger di angka 17.00 WIB, saya mulai resah.Fotografer saya mulai menggerutu.”Katanya minta tepat waktu?Kok masih ngobrol aja,”ujarnya. Saya bilang ditunggulah sebentar. Siapa tahu dia lagi membahas topik penting.

Di tengah pertarungan rasa sabar dan ingin segera pulang karena hari mulai sore, si ustaz tiba-tiba menawarkan hal aneh. Ia mau diwawancara di rumahnya saja, karena hari sudah mulai senja. Ia kemudian meminta kami mengikuti mobilnya. Tentu saja kami semakin tidak mengerti. Tapi kalau sudah begini, posisi tawar kami jadi rendah. Coba kalau si ustaz ogah diwawancara. Berita tak dapat, kami bisa diomeli. Akhirnya, meski dengan berat hati, kami penuhi permintaannya.

Perjalanan dari pondok pesantrennya ke rumah lumayan jauh. Sampai rumah ustaz, kelelahan mendera. Hari sudah mulai malam. Kami di suruh kembali menunggu. Akhirnya ustaz keluar bersama istrinya dan kami ngobrol sebentar. Selesai ngobrol, pak ustaz kami foto-foto. Ia menggendong oroknya, memasang pose yang paling bagus. Satu dua kali jepret. Sementara istrinya nampak lebih banyak diam. Di akhir sesi pemotretan, ustaz tanya-tanya jenis kamera yang kami pakai.

Fotografer saya mulai nampak kesal. Apalagi si ustaz minta dikirimi foto-foto hasil jepretannya.Juga berpesan, agar foto yang paling bagus yang dipasang di tabloid. Saya tak menjawab. Cuma dalam hati saya menggerutu, baru kali ini ada nara sumber yang lebay. Tidak memiliki empati betapa lelahnya kami, setelah menunggu dan mengikuti mobilnya. Saya tak tahu bagaimana perasaan fotografer setelah ia mendapat pesanan untuk mengirim foto hasil jepretannya.

Saat malam sudah memeluk bumi, kerja kami selesai. Saya pamitan. Istri si ustaz sudah masuk. Kami meninggalkan rumah pak ustaz dengan tenggorokan kering. Saya sempat berdiskusi sama fotografer.”Kenapa tidak setetes pun air keluar ya?Apa dia lupa atau gimana?”. Fotografer saya tidak menjawab. Dia menggeleng sambil melontarkan senyum. Saya tertawa, sebelum motor saya stater dan meluncur menuju kantor.

Di kantor, seorang pegawai front office kebetulan memiliki om yang kerja di pesantren si ustaz. Ketika saya ceritakan ini, dia tertawa sambil berucap,”Baru tahu ya?”. Saya kaget?Jadi tidak keluarnya air minum itu sudah menjadi hal biasa?Yah, bukan apa-apa. Selain sore itu kami benar-benar haus, setelah mengikuti mobilnya, soal air minum juga sudah lazim dihidangkan ketika kami berkunjung ke rumah artis. Tahu sendiri pemahaman artis soal agama.Lha,ini,dakwahnya aja "jualan" sedekah.

Tak lama saya mendengar, sang ustaz kemalingan. Uang ratusan juta sedekah dari jamaah disikat pencuri. Juga blackberry miliknya digasak maling. Untuk menutupi kerugian ini, ustaz mengaku akan menjual Toyota kijangnya. Dia juga diancam akan dilaporkan ke polisi, karena dituduh menggelapkan sertifikat tanah. Saya tak tahu, apakah permintaan ustaz pada fotografer untuk dikirimi foto dikabulkan atau tidak. Pasalnya, si fotografer keburu pindah kerja. Saya juga tak lagi mendapat pesanan liputan, setelah kejadian menjengkelkan itu.


teori yes, cerita praktik no...

Beliau seorang tokoh pendidik terkenal. Gelarnya Profesor Doktor. Teori-teorinya soal pendidikan kerap dikutip media massa cetak dan non cetak. Jika disebut namanya, orang langsung faham, utamanya para mahasiswa jurusan pendidikan. Nah, mengangkat profil bagaimana ia merawat, membesarkan, mendidik dan mengantar anak-anaknya menjadi orang-orang cerdas dan berguna bagi negara dan bangsa (juga mertua), tentu merupakan tantangan menarik.


Saat nama ini saya sodorkan ke rapat redaksi, saya optimis  diterima walau dikabarkan ia sangat galak terhadap wartawan yang tidak menguasai masalah. Pikiran buruk itu saya tepis jauh-jauh. Saya cari no kontaknya. Beruntung ada teman saya yang masih menyimpannya. Awalnya, setiap pesan pendek saya tak pernah dibalas. Hingga kemudian saya nekad telepon. Suara seraknya dari ujung sana langsung berpesan, agar saya menghubungi asistennya, karena dia sedang sibuk rapat. “Nanti minta waktu sama asisten saya kapan bisa ngobrol. Soalnya minggu ini saya mau ke Thailand,”kata si profesor. Saya jawab,”Siap pak!”


Seminggu menunggu, rasanya lamaaaa sekali. Tapi sang asisten bilang, pada prinsipnya bapak tidak keberatan dengan tema yang akan dibahas. Cuma karena beliau orang penting, ya susah ngatur jadwalnya. Paling banter hari Sabtu atau Minggu. Saya sih oke saja. Pokoknya bisa ketemu dan wawancara, selain bisa menambah pengetahuan bagaimana mendidik anak yang baik dari suhu segala suhu soal teori pendidikan di Indonesia.


Di tengah penantian yang tak kunjung pasti, kabar baik itu akhirnya datang. Saya disuruh mampir ke rumahnya di sebuah wilayah di Jakarta Timur. Kebetulan minggu sebelumnya saya pernah membaca rumahnya di kupas tuntas di harian Kompas. Jadi lumayan ada gambaran. Minimal, saya sudah membayangkan bakal menengok rumahnya secara langsung. Janji ini, kemudian saya sampaikan ke fotografer.  Kami janjian untuk ketemu langsung di TKP. Tidak lupa, saya memastikan kembali pada asisten sang profesor, jika tema wawancaranya adalah cara mendidik anak.


Jarak Depok ke rumahnya bukan main jauhnya. Ditambah macet di mana-mana khas Jakarta.Janji ketemu pukul 17.00 terlewati sekitar 20 menit. Wah, padahal fotografer sudah sampai duluan. Benar saja, ketika tiba di rumahnya, fotografer bilang tadi si profesor sudah keluar. Tapi dia masuk lagi karena saya terlambat. Begitu saya kasih tahu orang rumah, pak profesor tak segera keluar. Perasaan saya jadi tidak enak.”Jangan-jangan dia nggak mau wawancara nih,”kataku pada fotografer.


Begitu beliau keluar, saya langsung minta maaf. Saya katakan sudah mengantisipasinya dengan keluar dua jam lebih awal.  Tapi macet dimana-mana dan itu membuat perjalanan saya terhambat. Profesor bisa mengerti. Peralatan tempur saya keluarkan. Notes dan tape perekam serta ballpoint. Hal yang membuat saya bimbang, sang profesor tiba-tiba mengeluarkan segepok catatan seperti seorang akademisi yang akan menguji mahasiswanya.” Prof, temanya sudah tahu khan?Yaitu cara mendidik anak dan cerita sedikit pertemuan profesor dengan istri sampai menikah,”kata saya.


Profesor nampak terdiam. Ia berfikir cukup lama, sebelum kemudian bersuara. “Hah, saya harus cerita bagaimana saya mendidik anak?Anak saya sudah besar-besar mas. Sudah punya cucu. Bagaimana reaksi mereka jika membaca ayahnya cerita cara mendidik mereka. Pasti saya ditertawakan,”katanya. Alamak! Ini sinyal yang tidak menguntungkan buat saya. Tapi, saya mencoba untuk tidak menyerah.


“Khan menarik pak, bagaimana bapak berhasil mengantar putra-putri hingga berhasil dalam studi. Pembaca juga pasti ingin tahu kiat-kiatnya,”saya merayu.


“Tapi mas…itu sudah berlangsung lama. Sementara kiat mendidik dan ilmu mendidik itu selalu up to date. Tiap enam bulan sekali berkembang dan muncul teori-teori baru. Makanya saya bawa segepok artikel, supaya omongan saya tidak ngarang. Saya ini ilmuwan,”.


Sudahlah. Dengan beragam rayuan pun, profesor tak mempan untuk membagi kiatnya mendidik anak sendiri. Saya menyerah. Dengan berat hati, saya menolak mewawancara cara mendidik anak tapi hanya dari teori-teori yang beliau baca dan kuasai. Akhirnya wawancara dibatalkan. Saya janji akan mewawancara beliau sesuai keinginan beliau, jika nanti dibutuhkan.Profesor minta maaf karena kami sudah berlelah-lelah datang dari Depok naik motor. Dia janji akan menegur asistennya, karena tidak lengkap memberi informasi.


Pulang dari rumah profesor, hujan lebat seperti dicurahkan dari langit. Saya dan fotografer berlindung lama di bawah jalan layang Manggarai. Hingga malam menjelang, hujan belum reda. Akhirnya saya putuskan pulang dan sampai rumah basah kuyup. Esoknya, sang sekretaris tanya apa sudah wawancaranya? Saya jawab saja profesor tidak mau karena temanya tidak seperti yang dibayangkan. Anehnya, si asisten tak pernah curhat, jika dia telah ditegur boss-nya. Tanpa rasa bersalah, dia tidak menanggapi kejadian menjengkelkan yang baru saja saya alami.Ampuuuun deh……..


"meniduri" calon istri teroris

Mendapat tugas meliput di luar kota, tentu menjadi idaman setiap wartawan. Bisa jalan-jalan. Melihat-lihat budaya dan adat istiadat masyarakat daerah lain. Juga bisa sambil refhresing. Itulah yang terbayang di benak saya, ketika ditugaskan untuk ikut Mas Guruh Soekarno Putra ke Makassar, Sulawesi Selatan. Kalau tidak salah, acaranya memperingati hari lahir Pancasila. Saya sendirian dari media cetak. Dari tayangan infotainment ada seorang reporter perempuan dan kameramennya.

Hal baru yang saya lihat sebelum pesawat landing adalah, mayoritas atap rumah di dekat bandara Sultan Hasanudin memakai seng. Bukan karena saya sok orang kota, hingga mesti heran melihat atap rumah menggunakan seng. Bukan. Di desa saya yang terpencil di kota Tegal, Jawa Tengah sana, semiskin-miskinnya penduduk rumahnya pakai genteng tanah liat. Saya tak tahu alasan rumah-rumah di Makassar kebanyakan beratapkan seng. Barangkali faktor cuaca? Atau kondisi alam yang tidak memungkinkan untuk produksi genteng dalam jumlah banyak.Atau apa, entahlah.

Satu hal yang saya ingat, kota Makassar relatif sepi. Tentu perbandingannya adalah kota Depok di mana saya tinggal. Rombongan kami menginap di hotel kecil, dengan kamar-kamar berderet seperti kost-kostan di dekat pantai Losari.Malam pertama, setelah mandi, kami langsung liputan di lapangan Karebosi. Sebelumnya kami dijamu dengan makanan khas Makassar yaitu Coto Makassar.

Usai liputan, kami mendapat dua kamar untuk istirahat. Untuk saya dan dua orang teman dari tayangan C&R. Karena dari tayangan jenis kelaminnya berbeda, maka oleh panitia diatur, saya tidur dengan kameramen yang laki-laki. Reporter tidur sendirian karena dia perempuan. Persoalan mulai muncul, karena si reporter yang juga teman saya orangnya penakut. Dia tak mau tidur sendirian, apapun alasannya. Celakanya, dia ogah tidur bareng kameramennya, karena sang kameramen sudah punya istri. Dia memaksa untuk tidur bareng saya, mengingat status saya yang masih lajang.

Kondisi dilematis ini tiba-tiba terjadi, justru ketika saya sudah berniat terbang ke alam mimpi. Mendadak si reporter itu mengetuk pintu kamar saya dan mengutarakan persoalannya. Aduh, betapa shock saya. Mungkin bagi pria normal, tidur bareng seorang perempuan berparas cantik dan berbodi aduhai, adalah kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan. Tapi bukan itu masalahnya. Hal utama yang saya pikir adalah, apa yang terjadi jika Mas Guruh tahu dan menuduh kami sengaja ngamar?

Segala argumentasi sudah saya utarakan. Bahkan dengan permohonan agar dia mau pindah dan tidur sendiri. Tapi semua usaha saya sia-sia. Dia tetap ngotot minta ditemani tidur.”Pokoknya kamu harus tidur di sini Rif!Jangan keluar,”katanya. Saya bersikeras untuk mengusirnya. “Tolong dong…Kalau Mas Guruh tahu terus dia ngomong ke pimpinan saya, bisa dipecat saya. Sementara saya baru kerja beberapa bulan,”pinta saya.

Tapi, ampun dech. Alasan apapun tak mampu menggoyahkan niatnya untuk tidur bareng saya. Akhirnya dengan keringat dingin saya jaga dia. Benar-benar dengan keringat dingin, karena saya takut Mas Guruh tahu. Saya masih punya adik yang harus saya biayai. Selama setahun, saya bekerja sebagai sales buku dan itu membuat saya tak nyaman. Setelah mendapat pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan, wajar dong kalau saya takut di pecat?

Hal yang kerap menjengkelkan –kalau bisa dibilang begitu- tiap kali dia sudah memejamkan mata dan saya berjingkat untuk keluar, tiba-tiba dia langsung terjaga. Tanpa ampun, saya kembali ditarik supaya tidak keluar. Begitu berkali-kali sampai saya frustasi. Semalaman saya tak bisa tidur. Mata saya selalu memincing ke pintu kamar, takut kalau tiba-tiba ada yang mendobrak atau apalah. Pokoknya saya nervous, takut, khawatir, meski sesekali saya melihat juga ke wajahnya yang tenang saja tidur pulas.

Pagi menjelang, sang kameramen masuk dan membangunkan dia. Sontak saya marah-marah, karena merasa dikerjain. Tapi dengan tenangnya, si kameramen berujar,”Elo baru tahu ya kalau dia penakut? Tapi asyik juga khan tidur satu kamar?”.Jangkrik! Asyik dari Hongkong?Boro-boro bisa tidur…Wong gara-gara dia saya semalaman begadang.Si kameramen cuma tertawa lebar. Sepanjang pulang ke Jakarta, peristiwa itu benar-benar melekat dalam benak saya. Anehnya, si reporter tak merasa bersalah dan tenang-tenang saja.

Hampir 5 tahun setelah peristiwa itu, saya lost contac dengan si reporter itu. Konon dia diterima jadi PNS. Hingga suatu ketika, ada peristiwa percobaan bom di wilayah Serpong, Tangerang, yang berhasil digagalkan Densus 88. Tak lama otak pelakunya ditangkap. Satu hari, iseng-iseng saya baca koran harian di kantor. Saya kaget, karena nama si reporter tercantum sebagai istri salah seorang teroris dan sudah ditahan, menyusul suaminya. Saya konfirmasi ke teman-teman, benar kalau dia yang ditahan.

Konon sekarang sudah pakai jilbab. Dulu saat jadi wartawan, dia selalu berpakaian seksi.Saya cek ulang ke kameramen yang pernah bareng ke Makassar. Dia menguatkan berita koran. Kali ini saya kembali shock. Benar-benar dunia begitu penuh dengan peristiwa tak disangka-sangka. Saya sempat berkelakar pada si kameramen,”Eh, bezoek tuh temen lo. Masa nggak kasihan dia dibui?”. Dengan tertawa, si kameramen cuma bilang,”Bezoek bagaimana? Apa lo mau disangkutpautkan sama aktivitas teroris mereka? Mending cari amannya,”katanya. Tobaaat, tobat!

pak menteri korupsi umur

Melobi untuk wawancara seorang pejabat penting, tentu butuh kesabaran tersendiri. Bukan apa-apa. Sebagai wartawan tabloid hiburan, posisi saya kadang sudah dicurigai duluan, bila meminta waktu khusus untuk wawancara. Mereka berfikir, kalau yang diobrolin bukan masalah politik, pasti kejadian rumah tangga yang seyogyanya harus ditutup rapat.Begitulah kenyataannya.Saya meminta waktu untuk mengkonfirmasi isu-isu yang ramai dibahas soal perseteruan ibu ini dengan seseorang. Si ibu adalah anggota dewan yang juga istri seorang mantan menteri.
Seperti yang saya duga, pesan pendek saya tak pernah dibalas.Berhari-hari. Sampai tiap rapat redaksi, redaktur pelaksana menyuruh saya menunggu kalau-kalau si ibu mau membuka pintu. Lewat asistennya sama saja.Susah. Alasannya, ayahnya sedang sakit. Lain waktu beralasan sedang berkunjung ke daerah konstituennya. Karena tak juga mendapat respon positif, saya mulai melupakan, meski masih terus berharap.
Ketika proses lobi berlangsung, suaminya masih menjabat sebagai menteri. Beliau juga tokoh berpengaruh di Indonesia Timur.Anehnya, dengan ketokohan seperti itu, beliau tidak pernah mau menanggapi serangan yang dilancarkan pihak lain terhadap istrinya. Inilah yang menarik. Ada apa?Apalagi tak ada satu pun tabloid yang diterima wawancara khusus dengan dia.
Hingga pada suatu hari, sebuah pesan pendek masuk ke ponsel saya. Alamak!Pesan itu datang dari si ibu itu. Beliau menjanjikan akan memberi waktu wawancara, karena mengaku sudah gerah dengan segala fitnah dan tuduhan tak berdasar dari pengacara rivalnya.”Mereka sudah membawa masalah ini ke wilayah politik. Padahal saya masih menahan diri agar bisa diselesaikan secara kekeluargaan,”katanya.
Saya bilang, memang begitulah pengacara tersebut. Gayanya tengil dan suka teriak-teriak di depan kamera wartawan infotainment (sok bijak padahal saya memang sedang mengambil hati beliau,hehe). Akhirnya disepakati tanggal kita ketemu. Dengan senang hati saya sanggupi. Tidak lupa saya mohon ijin untuk datang bersama fotografer.Ibu membolehkan.
Saat rapat redaksi,kabar ini saya angkat.Beberapa teman menolak menjadikannya sebagai cerita utama. Alasannya, isunya sudah mulai mendingin.Selain itu, tidak ada cantelan berita lain yang terkait dengan si ibu, yang membuat wawancara itu layak untuk dimuat. Pendapat itu benar juga. Bukankah berita yang sudah basi memang tak layak untuk dikunyah-kunyah lagi?Apalagi rating di tayangan infotainment selalu melorot, kalau ada yang mengangkat kembali isu perseteruan dia.
Tapi, ini kesempatan. Lagi pula kalau tidak diambil sayang juga. Siapa tahu ada info baru yang belum pernah dipublish media lain.Alhasil, tawaran si ibu disepakati untuk diambil. Seminggu menunggu, satu hari sebelum hari H saya memastikan besok bisa dikasih waktu. Awalnya pesan pendek saya diacuhkan. Tapi dia akhirnya memastikan bisa, karena ia sudah pulang dari tanah suci.
                                ***
Saya kembali mengkonfirmasi, kalau bersedia diwawancara, di mana dan jam berapa saya bisa datang? Tapi pesan pendek saya ini tak bersambut. Saya kembali disergap gelisah. Hingga malamnya, jawaban itu datang juga. Ibu bilang, saya boleh datang sekitar pukul 20.00 WIB di rumah dinas Widya Chandra. Alhamduliah. Tapi tunggu dulu. Ada tambahan persyaratan yang membuat jidat saya berkerut. Pertanyaan harus diketik dan tidak ada wawancara kasus utama. Saya disuruh datang untuk menyerahkan daftar pertanyaan sekalian ikut menyaksikan pesta ulang tahun suaminya.
Meski dongkol, tapi saya tetap positif thinking. Kalau sudah meminta daftar pertanyaan, masa sih dia tidak akan memberi waktu khusus? Jadi persyaratan itu saya terima. Esoknya, saya siapkan daftar pertanyaan. Saya ketik di rumah dan di print di warnet terdekat.Sebelum maghrib, saya berangkat di tengah mendung yang menggantung di kompleks rumah saya. Tiba di Ciputat, hujan deras seperti dicurahkan dari langit. Saya berteduh sambil makan nasi uduk. Dari Ciputat arah Lebak Bulus, macet bukan main. Saya panik. Takut terlambat sampai di Widya Chandra.
Fotografer tabloid sudah sampai di Widya Chandra. Dia telepon dan menyuruh saya cepat-cepat datang. Ya, Tuhan. Saya bilang jalanan benar-benar macet. Sampai-sampai motor saya tak bisa bergerak. Keluar dari kompleks Pondok Indah, jalanan lancar.Saya kebut motor dan tiba di Widya Chandra saat acara sudah dimulai. Memang suaminya belum keluar. Asisten si ibu terlihat kaget, ketika melihat saya datang.
“lho, mas…akhirnya bisa juga ya dikasih waktu?”
Saya hanya tersenyum. Di dalam banyak pejabat-pejabat departemen anak buah suaminya. Saya mengenalkan diri pada ibu. Dia nampak ceria.Menyambut satu persatu tamu yang datang. Saya lihat tak ada tokoh partai.Asistennya di depan bilang, memang acara itu tidak mengundang pengurus partai. Pantas saja.Di depan rumah, ada dua karangan bunga yang mengucapkan selamat ulang tahun. Semuanya mencantumkan usia pak menteri; 59 tahun.
Saya serahkan daftar pertanyaan.Menyesal saya makan nasi uduk di Ciputat. Di sini banyak makanan enak. Ada nasi kebuli, sate padang, lasagna, roti cane, roti jala, ayam bakar dll. Tapi kalau sudah kenyang mau bagaimana lagi?Terpaksa saya cuma makan buah anggur yang manis dan segar. Sekitar pukul 21.20 kue ulang tahun setinggi 2,5 meter di potong. Acara dilanjut nyanyi-nyanyi. Tanpa menuggu acara selesai, saya dan fotografer pamit pada si ibu.
Saya pulang. Daftar pertanyan itu saya kira paginya akan langsung dibalas dan dikirim balik. Ketika saya tagih, si ibu agak sedikit sewot bilang butuh waktu. Praktis selama seminggu saya menunggu lagi. Hingga menjelang date line naskah, dengan agak takut-takut saya tanyakan lagi kepastian jawaban. Alhamduliah, saya disuruh datang kembali ke Widya Chandra. Kali ini saya akan langsung wawancara.
Hari Sabtu sore, saya sudah sampai di Widya Chandra. Asistennya bilang tunggu sebentar. Pak menteri baru pulang main golf. Ia datang memakai sedan lexus, dengan pengawalan Nissan Terano bernopol dinas tentara. Tak lama, saya dipersilahkan masuk. Sore itu si ibu tampil cantik sekali. Sebelum wawancara berlangsung, dia bilang akan menyampaikan kronologis kasus. Tanpa direkam. Hanya boleh di catat point-pointnya.
Selama dua jam dia bicara tanpa saya potong. Dengan segala ekspresi dan naik turun nadanya. Ketika sesi pertanyaan tiba, mendadak ia dipanggil suaminya. Ada acara yang harus dihadiri. Busyet dah. Terpaksa wawancara batal. Tapi si ibu bilang bikin saja sesuai catatan yang ada. Saking mendadaknya, kami tak sempat meminum air teh yang disediakan pelayan rumah tangganya. Apes!Sebelum pulang, si ibu bilang kasusnya jangan dijadikan cover. Dia juga ngomong akan memberi tambahan data yang kira-kira belum diceritakan.
                                 ***
Karena akan ada tambahan data, naskah sudah harus dikirim paginya. Malam minggu, saya berkomunikasi dengan redaktur pelaksana. Di sepakati bahan-bahan yang sudah saya serap ditulis jadi dua halaman. Tapi karena sudah capai, saya tertidur. Paginya, saya juga tak bisa menulis, karena anak-anak saya mengganggu terus. Siang sekitar pukul 13.00 si ibu mengirim pesan pendek. Ia bertanya kenapa naskahnya belum di kirim?Saya bingung. Saya bilang saja segera dikirim bu, karena saya harus koordinasi dengan atasan.
Di sisi lain, istri minta pergi sama anak-anak. Akhirnya saya ajak istri ke Pamulang Square. Ponsel saya matikan. Saya kirim draft kasar calon naskah untuk dilihat dulu.Baru malamnya, saya ketik sampai pagi. Tanpa tidur. Asisten si ibu bilang naskah sudah diterima dan tunggu dikoreksi. Hari itu hari Senin, date line akhir naskah sebelum naik ke percetakan. Saya berharap bisa segera merevisi,sebelum dibawa ke Gramedia.
Selain ke si ibu, naskah versi saya juga saya kirim ke redaktur pelaksana. Siang si ibu kembali menelepon. Dia bilang baru kelar rapat. Alhasil baru membaca kiriman naskah saya.”Siang ini saya mau ke Singapura.Tunggu sampai sore masih bisa khan? Tapi kalau nanti saya nggak sempat, jangan dipaksakan terbit edisi besok ya?Saya mau benar-benar bagus,”katanya.
Ampuuun! Saya benar-benar kesal. Saya kirim BBM ke redaktur pelaksana. Naskah dia di drop saja, daripada pusing mikir intervensinya. Tapi redpel bilang tidak bisa. Soalnya sudah disetujui pemimpin redaksi. Lagi pula selain redaksi, tidak ada seorang pun yang berwenang untuk melarang terbitnya berita, sekalipun itu menkominfo. Saya bilang nanti redpel saja yang ngomong sama ibu. Saya capai.
Malam tambahan data belum juga sampai. Sekitar pukul 23.00 baru ada telepon. Saya disuruh ngecek email. Kiriman tambahan naskah saya terima. Masa Allah.Tambahan itu benar-benar tambahan dalam arti harfiah. Setiap kata disisipi tambahan. Di kalimat pujian, ditambah semakin dipuji. Di kalimat “penyesalan” ditambah dengan cacian. Naskah yang sudah panjang menjadi semakin membengkak. Editor naskah protes. Kalau semua diambil, struktur kalimat menjadi acakadut. Juga space tidak memungkinkan. Bisa-bisa berita ini tidak ada fotonya. Intinya, cermati saja mana bagian yang kira-kira salah. Ini yang harus diganti.
Saya lihat satu-satu. Ada nama jalan yang salah. Saya ganti.Ada judul lagu yang salah. Juga saya betulkan. Judul artikel juga saya tambah menjadi lebih tajam dan menusuk, sesuai revisi si ibu.Dan satu hal yang membuat kening saya berkerut, ulang tahun pak menteri ke-49 ternyata diganti juga. Kini angka 49 itu berubah menjadi 47. Tapi, karena ini permintaan dia, saya ganti juga. Tentu sambil berfikir, apa saya salah lihat ya?Ah, sepertinya tidak. Di karangan bunga yang dikirim ke rumah jelas-jelas terpampang angka 49. Saya yakin si ibu ini sengaja “mengkorup” usia suaminya. Tujuannya apa? Wallahua’lam. Apakah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa bergerak untuk mengatasinya? Soal ini juga wallahualam,hehehe.


Friday, January 6, 2012

hadiah lebaran tak terduga

Dia seorang penyanyi terkenal. Wajahnya familiar di panggung hiburan Indonesia.Saat merintis karir di dunia tarik suara, saya tahu benar dia bukan dari keluarga berada. Awalnya bekerja sebagai sales. Setelah ikut kontes nyanyi, nasibnya langsung berubah.Apalagi selain show di televisi, dia juga banyak menerima job sebagai bintang film dan nyanyi di acara-acara off air. Pendek kata, dia langsung kaya raya dalam hitungan tahun. Tentu saja berbeda nasibnya dengan saya, yang mengikuti perjalanan karirnya dari awal,hehe


Apartemennya dua.Di Cikini dan Sudirman. Konon apartemen di Sudirman harganya Rp 2,5 milyar. Mobilnya memang tidak terlalu mewah. Dia tidak memakai Alphard misalnya, seperti trend artis-artis lain.Sebagai pribadi, penyanyi ini baik dan ramah. Wartawan sering di undang untuk meliput kegiatannya. Dari mulai jumpa fans, peringatan 17 Agustusan sampai persiapan natalan.Tapi, sepanjang saya aktif ikut kegiatannya, saya tak pernah mendapati dia royal pada wartawan.


Saya sendiri tidak masalah. Mau bagi rejeki atau tidak, itu urusan dia sama Tuhan. Saya profesional saja.Kalau satu saat kadang terlintas rasa iri, itu dalam konteks sehat. Artinya, saya juga ingin dalam dua tahun bisa berubah nasibnya. Tidak terus hidup pas-pasan sebagai wartawan. Tapi saya percaya, Tuhan sudah memberi kapling rejeki sendiri-sendiri. Jadi keinginan cuma tinggal keinginan. Nasib tidak juga kunjung berubah, meski sudah bekerja keras.


Saya tidak tahu, apakah karena saya rajin meliput dia atau ada pertimbangan lain, hingga satu saat usai lebaran 2011 lalu saya dikontak. Kata manajernya, si penyanyi mau ngasih bingkisan.Timbul tanda tanya, bingkisan apa ya?Apa sarung samarinda atau baju koko. Ini terkait dengan momentum sehabis lebaran. Tidak mungkin dia memberi boneka, seperti yang pernah dilakukannya saat show ke Korea Selatan.Padahal anak saya laki-laki semua.


Sang manajer tanya, hadiahnya mau dikirim ke rumah atau kantor. Saya putuskan hadiah lebaran itu dikirim ke kantor. Bukan apa-apa.Rumah saya jauh. Si manajer artis ingin jangan terlalu jauh. Kalau di kantor khan masih di dalam Kota Jakarta? Lagi pula siapa tahu hadiahnya parcel, yang bisa saya bagi-bagikan ke teman-teman kantor.Saya ucapkan terima kasih, ketika si manajer bilang hadiah akan segera dikirim.


Hingga satu hari, satpam kantor memberitahu ada orang ingin ketemu saya. Waktu itu saya sudah lupa, kalau manajer penyanyi tersebut akan mengirim orang. Satpam hanya bilang, dua anak muda pakai mobil ingin bertemu saya. Akhirnya saya turun. Di pintu samping kantor, seorang anak muda bertubuh gempal dan berambut cepak menghampiri. “Mas Arif ya?”sapanya. Saya mengiyakan. Ia segera menyodorkan setoples kue nastar, yang dibungkus kain transparan dan diikat pita.


“Ini ada titipan dari Jhon Lennon (saya sebut saja begitu).Tolong diterima mas,”ujarnya.


Kue nastar itu saya terima. Sepeninggal dua anak muda tadi, satpam menanyakan yang saya terima. Saya jelaskan itu hadiah lebaran dari seorang penyanyi terkenal. Dia tidak percaya, setelah tahu yang ngasih adalah seorang penyanyi populer.Hadiah kue nastar seharga Rp 25 ribu (kalau saya tidak salah) itu saya foto. Pulang ke rumah saya tunjukan ke istri. Entah karena tahu harganya atau melihat kerepotan saya kalau meliput si penyanyi itu,istri saya agak kurang happy.”Apartemennya milyaran tapi hadiah kok cuma kue nastar,”katanya. Aku cuma tertawa kecut.Tidak berani ngasih tahu, kalau penyanyi itu memang “pelita hati”,hehehe…

makanannya mana?

Makan gratis dan enak adalah keuntungan tersendiri saat liputan di acara-acara peluncuran album, film atau buku. Kami, para wartawan, menyebutnya liputan wangi. Sementara untuk liputan yang dilakukan wartawan kriminal –seperti ke kamar mayat, TKP pembunuhan dan lapangan berdebu- biasa disebut liputan becek. Suatu hari, karena kantong sedang kering, saya mencoba mencari tahu, apakah ada liputan wangi yang bisa saya datangi. Seorang teman memberi tahu, ada liputan peluncuran album di Hard Rock CafĂ©, Jakarta. Wah, asyik nih,pikirku.Bakal bisa makan dan minum sepuas hati,kataku dalam hati.

Menariknya lagi, acara dilakukan setelah shalat dzuhur. Pas waktu makan siang. Ini berarti sesuai dengan niatku hari itu, untuk melakukan gerakan mengencangkan ikat pinggang. Kawanku, seorang fotografer senior dari harian di Bandung, mengaku tidak bisa datang karena ada liputan lain. Tapi tak apalah. Itu tidak penting. Tapi bagaimana caranya saya bisa makan gratis secara sah dan halal, itu yang harus diperjuangkan.

Saya tak mau menyebut nama artis dan labelnya. Penyanyinya tidak cukup terkenal, termasuk labelnya. Tapi ini juga tidak penting. Yang jelas, setelah saya chek ulang, informasi dari temanku itu valid. Habis rapat redaksi, saya segera meluncur ke HRC. Perut sengaja saya kosongkan, karena berdasar pengalaman, kalau sudah makan kenyang, ditempat acara malah cuma ingin minum saja karena haus.Maklumlah. Perjalanan naik motor di tengah belantara Jakarta panasnya minta ampun.

Beruntung saya tidak terlambat di tempat tujuan. Bahkan sampai di HRC, suasana masih sepi. Segera saya mengisi daftar hadir dan diberi rilis. Masuk ke dalam, hanya beberapa teman kuli tinta sedang duduk-duduk. Ada hal aneh saya rasakan ketika baru masuk. Tak jauh dari pintu masuk, di sisi tiang penyangga bangunan, biasanya ada meja panjang yang berisi makanan. Di situ diletakan minuman dingin –biasanya air putih dan teh serta kopi. Tapi saat itu, tak saya lihat barang-barang itu. Mejanya juga tak ada.

Sejenak saya menenangkan diri. Saya pikir, panitia mungkin punya strategi sendiri. Bersabar barang beberapa menit tak apalah. Waktu menunggu makanan itu saya pakai untuk membaca rilis dan mengamat-amati compact disc yang dibagikan. Saya juga mencoba melihat-lihat suasana, apakah temanku ikut hadir atau tidak. Ternyata benar, dia tidak datang.

Pukul 13.00 mulai acara. Karena niatnya cuma ingin numpang makan, saya tak begitu peduli. Lagi pula saya datang tanpa koordinasi dengan koordinator liputan. Jadi tak mungkin dimuat ini rilis album. Apalagi penyanyinya tidak “menjual”. Saking sabarnya, saya tunggu terus makanan keluar. Perut mulai sakit. Istri di rumah SMS menanyakan keberadaanku. Saya bilang sedang liputan.

Satu hingga dua jam berlalu. Makanan belum muncul juga. Perutku semakin perih. Celakanya, selain tak ada makanan, minuman juga tak ada. Mau pesan kasir?Enak saja!Tahu sendiri harga minuman di HRC. Bisa-bisa program pengencangan ikat pinggang gagal.Ah, mungkin panitia mengeluarkan makanan dan minuman di akhir acara. Supaya para wartawan bodrek tidak menghabiskannya,batinku. Wartawan bodrek adalah wartawan gadungan yang kerjanya keluyuran mencari “amplop” dan godie bag di acara-acara liputan wangi.

Ini yang saya katakan strategi. Seperti penyerahan godie bag, biasanya dilakukan setelah akhir acara. Itu juga diberikan pada wartawan yang tertera di undangan. Soalnya teman-teman punya kebiasaan buruk. Mereka senang pulang duluan, kalau godie bag-nya sudah ditangan. Dengan ditahan sampai acara selesai, mau tak mau para wartawan akan terus bertahan. Makanya saya berfikir, barangkali makanan dan minuman itu akan dikeluarkan setelah acara selesai.

Jarum jam menunjuk pukul 15.00.Aduh, perutku sangat perih karena sangat lapar. Saking tak kuatnya, saya segera memutuskan angkat kaki. Saya tinggalkan acara dengan perut masih keroncongan. Dalam hati saya mengutuk keras keputusanku untuk tidak makan dulu di kantin.”Sialan nih gue kena batunya,”umpatku.

Sampai di rumah saya makan banyak. Istriku tanya, apa di tempat acara tidak dikasih makan?Biasanya kalau habis liputan wangi, saya menolak saat ditawari makan.Ketika saya ceritakan, dia cuma ngomel-ngomel karena saya nekad tak makan siang.Sejak itu, kalau ada liputan wangi yang terkait dengan makan, saya tak mau lagi mengambil risiko mengosongkan perut. Daripada capai-capai datang ternyata tak ada makanan?Iya, tidak?hahahaha....

korupsi anak

Kata siapa memiliki anak menjadi kebanggaan tersendiri?Jika status sudah beranak itu dipikir bisa menghambat karir,ada saja orang yang tidak mengakui darah dagingnya sendiri.Contoh paling jelas pengakuan Annisa Bahar, yang pernah tidak mengakui Juwita sebagai anaknya. Kala itu, nama Annisa sebagai penyanyi dangdut sedang menanjak. Mantan suaminya sempat mempublikasi status Annisa di depan media,jika dia pernah menikahi Annisa dan memiliki anak.Belakangan setelah gencar diberitakan, Annisa akhirnya mengakui jika Juwita adalah anak kandungnya.


Kisah berikut memang tak ada hubungannya dengan Annisa. Tapi jika dirunut benang merahnya, tujuannya mungkin sama; biar karir tidak terganggu.Walau hingga kini, saya sendiri belum tahu kebenaran dari informasi yang saya dapat. Tapi biasalah. Saya anggap sikap semacam ini diambil oleh banyak artis.


Dia seorang bintang program komedi di sebuah televisi swasta. Tubuhnya khas. Bisa dibilang paling beda sendiri. Usulan untuk mewawancarainya datang dari redaktur pelaksana. Mumpung istrinya baru melahirkan.Mumpung belum banyak kegiatan.Saya coba cari kontaknya. Setelah dapat, saya kirimi SMS minta waktu wawancara. Untungnya tak berapa lama dia menjanjikan. Saya pun setuju untuk menemui di rumahnya di Selatan Jakarta.


Bareng fotografer, kami datang ke sana. Rumahnya bagus. Tiga mobil teronggok di garasi. Tak seperti penampilannya di program komedi yang melambungkan namanya,si artis relaif lebih jaim. Ini kesan pertama setelah kami saling bersalaman. Sebelumnya, saya menunggu cukup lama di ruang tamu, dengan es sirup dingin berteman kue tersaji di atas meja. Entah jaga imej atau memang orangnya serius, saya belum begitu tahu. Maklumlah. Baru kali itu kami bertemu dan berkenalan.


Karena untuk kepentingan rubrik, wawancara harus berdua. Terpaksa kami tarik istri si artis untuk ikut bersuara. Waduh, saya yakin si istri belum sempat dibreefing sebelum ketemu wartawan. Jawabannya lugu dan apa adanya. Dalam beberapa kesempatan, ia bahkan bilang “bohong”, ketika suaminya sedang menjawab pertanyaan saya. Ini berpotensi merusak suasana. Saya lihat wajah si artis juga seperti tidak enak.


Biasa artis menjawab diplomatis dan tidak sesuai kenyataan. Juga bukan tugas saya untuk mengecek kebenaran pernyataannya. Saya hanya menyampaikan ke publik setiap pernyataannya. Perkara benar atau salah itu urusan si nara sumber sama Tuhan.Maka saya coba netralisir perbedaan pendapat suami istri itu dengan mengalihkannya ke pertanyaan lain.Alhamdulilah aman.


Hal paling mencolok dari bahasa tubuh si istri adalah, dia seperti terlihat tidak benar-benar mencintai suaminya. Ini bisa diraba dari jawaban pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan.Misalnya, apa yang membuat dia mau menerima pinangan artis itu. Juga pertanyaan apa yang dikagumi dari suaminya, hingga ia memutuskan untuk menikah dengan dia.


Baiklah. Wawancara selesai dan kami pamitan pulang. Di rumah, hasil wawancara itu saya bikin naskah. Saat sedang asyik membuat naskah, tiba-tiba ada SMS masuk. Dia menanyakan, apakah benar yang dihubunginya adalah saya, si Arif Kentang? Tentu saja saya jawab benar. Kemudian, dia memberi info tambahan yang membuat dahiku berkerut.Dia bilang merasa kasihan dengan nasib istri si artis.Saya kaget. “Kasihan apa mas?”tanyaku.


Tanpa disuruh, dia lantas bercerita, jika si artis sebelumnya sudah menikah dengan seorang janda. Mereka dikaruniai seorang anak. Pernikahan itu berakhir dengan perceraian. Dalam status duda itulah ia menikah dengan istrinya yang sekarang. Persoalannya kemudian, anak dan istri terdahulu tak pernah diakui di depan media. “Istrinya sekarang sangat pendiam. Dia juga nggak tega mengatakan yang sebenarnya,”kata si informan gelap itu.


Aduh, yang saya pikir justru bukan soal anak yang “dikorup” itu.Tapi darimana ia dapat nomorku? Saat saya tanya, dia bilang dari fotograferku.Tapi waktu saya tanya ke fotografer, dia bilang tidak pernah memberi tahu nomorku pada orang itu. Saya juga yakin, nomorku tidak bakal bocor ke istrinya si artis, kecuali dia melihat di ponsel suaminya dan lantas memberitahu pada “narasumber” tambahan itu.


Mungkin, ini mungkin lho,nomorku  dibocorkan oleh istri si artis pada orang misterius itu, untuk mengungkap kegondokan hatinya. Walau tentu saja saya tidak berani menulis dan mempublikasikannya di media resmi. Yah, siapa tahu.Dunia hiburan kadang penuh misteri,hehehe

di "tipu" artis

Seperti politisi, artis juga salah satu pihak yang amat mementingkan citra. Mereka       tak mau terlihat lecek di depan kamera, ogah ditulis memiliki kebiasaan yang jika terdengar terkesan buruk dan selalu menyembunyikan hal-hal yang bisa mempengaruhi nama baiknya di depan publik. Seperti politisi, mereka sadar persepsi negatif public akan berpengaruh terhadap keberlangsungan karir mereka.Ingat kasus trio Ariel-Luna Maya-Cut Tarie. Setelah video mesumnya terpublikasi, ketiganya langsung di copot secara sepihak dari berbagai perusahaan yang menggunakan jasanya untuk beriklan.
Syahrini tetap setia mengenakan bulu mata palsu, meski sedang terkapar di atas ranjang rumah sakit, agar terlihat cantik.Seorang bintang terkenal dengan nama berbau Eropa Timur amat marah, ketika ia dideskripsikan sedang merokok di sebuah pusat perbelanjaan di Singapura.
Begitu pula seorang penyanyi yang juga mantan istri siri pedangdut terkenal. Padahal di tabloid tempat saya bekerja, kutipannya pendek saja.Ia dilukiskan menjawab sambil mengepulkan asap rokok.Begitu tabloid terbit, penyanyi yang sering merubah nama itu langsung menelepon dan menyatakan kekecewaanya.
Aku tak tahu apa yang negatif dari penyanyi ini. Ia seorang penyanyi kondang era 90-an dengan hits terakhirnya masih sering dipakai untuk mengiringi sebuah tarian.Maka ketika ia menyambut gembira permintaan wawancara yang aku ajukan, hari, tanggal dan jam pertemuan pun di rancang.Awalnya, ia minta bertemu di sebuah restoran cepat saji di wilayah Gintung, Ciputat, Tangerang.”Pagi saja ya mas?Sekitar jam 7,”katanya.
Tak ada yang salah memang dengan pilihan jamnya. Tapi aku merasa surprise saja. Biasanya jam-jam segitu artis masih tidur.Tapi penyanyi asal Indonesia Timur ini justru menantangku untuk bangun pagi.Aku sih oke-oke saja. Siapa takut?Wong biasa keluar rumah pukul 03.00 WIB untuk mengejar pesawat di Bandara Soekarno-Hatta kok…Nah, menjelang bokongku menaiki sadel Suzuki Thunder andalanku, tiba-tiba telepon berdering. Degh!Ternyata si penyanyi menelepon.
“Halo, mas! Wawancaranya dirubah saja jam dan tanggalnya ya?Soalnya saya mau ke Palembang sekarang,”kata dia. Mau tak mau, aku menurut. Soalnya aku sendiri butuh.Kalau aku menyatakan kecewa, lantas dia mencabut kesediaannya, sia-sia aku bersabar selama beberapa hari menunggu lampu hijau dari dia. Pagi itu, aku batalkan bertemu dengan dia.
Berhari-hari, saat ia menjanjikan pertemuan, selalu saja dibatalkan mendadak. Sebetulnya kalau dia tidak mau, bagiku tak masalah. Kode etik jurnalistik dilarang memaksa nara sumber.Tapi jika tiap pembatalan selalu diganti dengan jam dan hari baru, apa salah kalau kemudian saya kirimi pesan pendek berbunyi; jadi hari ini wawancara bang?
Dalam hati, aku sendiri sudah mulai curiga.Ada apa kok beliau selalu merubah hari pertemuan secara mendadak? Apa dia tidak enak menolak secara langsung. Kasus seperti ini aku alami juga saat meminta waktu wawancara pengarang lagu terkenal era 80-an, yang sekarang tinggal di Bandung, Jawa Barat. Alasannya macam-macam dan selalu janji akan mengganti dengan hari lain. Karena kesal, aku tidak lagi mengontaknya. Belakangan aku tahu, dari teman dekatnya dia punya istri dua. Alamak!!
Setelah berkali-kali gagal,akhirnya hari H yang dijanjikan itu datang juga. Aku tak yakin ini kembali batal. Tak ada alasan dia menyembunyikan istrinya. Tidak juga reputasinya yang tak pernah terlibat narkoba. Pendek kata, penyanyi ini, menurut seorang penyanyi pop terkenal yang kini tinggal di Bandung, keluarganya bahagia.
Tempat pertemuan di Grand Indonesia, Jakarta. Jam-nya pagi. Tepatnya jam berapa menyusul, kata beliau. Begitu juga lokasi pastinya di Grand Indonesia. Dalam bayangan aku, tidak susah mencari tempat tongkrongan di Grand Indonesia.Maka aku tak mau rewel. Aku jawab atur saja semuanya bang.Pasti aku datang.Sehari menjelang pertemuan, dia mengirim pesan pendek. Aku sanggupi keinginannya bertemu sekitar pukul 10.00 WIB.Kebetulan tidak ada liputan lain.Maka di hari yang ditentukan,aku meluncur ke Grand Indonesia.
Hari itu dia katanya ada rilis album kompilasi dengan penyanyi-penyanyi jadul lain.Tiba di Grand Indonesia, aku tanya-tanya ke sekuriti. Biasanya di mall sekuriti tahu ada acara apa hari itu. Celakanya, tak satu pun yang mengetahui ada acara peluncuran album. Saat aku tanyakan melalui SMS, tak kunjung di balas. Pulsa aku juga sudah limit, hingga tidak bisa meneleponnya.Aku cari front office dan di situ ada bagian informasi yang barangkali bisa memberikan petunjuk di mana sang penyanyi ada.Tapi, bagian informasi tak tahu sedikitpun ada acara apa hari itu di Grand Indonesia.Aku tunggu sambil melihat-lihat patung dari metal sebagai penghias lobi gedung.Hingga pukul 12.00 aku kembali berkirim pesan pendek. Aku juga coba miss call, dengan sisa-sisa pulsa yang ada. Tapi tetap penantianku sia-sia.
Hingga pukul 15.00 WIB tak ada kabar berarti. Akhirnya dengan hati dongkol aku tinggalkan Grand Indonesia. Tak berapa lama, berita rilis album itu muncul di sebuah harian ibu kota.Di bilang kecewa, aku sangat kecewa.Baru kali ini sebagai wartawan aku kena tipu,hehehe.Sejak itu, aku tak lagi mau mengontak sang penyanyi itu. Cukuplah sudah penderitaan aku menunggu sejak pagi hingga sore, tanpa ada permintaan maaf atau pemberitahuan sama sekali. Sekitar akhir Juni 2011, aku dengar ia mengalami koma setelah terserang stroke.Tak lama kemudian ia meninggal dunia. Inallilahiwainailahirojiun....