Daftar Isi

Saturday, May 16, 2015

Menulis Buku Sebagai Puncak “Ibadah” Seorang Jurnalis



Mungkin judulnya agak bombastis. Tapi laiknya ibadah shalat –bilamana anda muslim atau muslimah- yang dilakukan sehari-hari,menulis bagi seorang jurnalis adalah "makanan" sehari-hari juga. Puncak dari aktivitas kepenulisan itu, saya yakin, seribu persen jurnalis ingin menulis sebuah buku. Entah apapun temanya,model bagaimanapun tulisannya. Lebih-lebih,jika tulisan itu disponsori langsung oleh penerbit. Syukur-syukur penerbit besar.

Bagi seorang pemilik modal gede, menulis buku bukanlah persoalan besar. Jika ia seorang jurnalis, tinggal rajin menulis di medianya, kumpulkan,jadilah semacam bunga rampai. Kalau ia owner sebuah media, dan tidak bisa menulis, tinggal menyuruh penulis bayangan,jadilah buku atas nama dirinya. Atau jika punya ide, dan ingin menuangkannya dalam buku, gerakan semua sumber keuangan yang ia miliki,terwujud juga buku yang diidamkan.

Lain cerita bagi jurnalis kroco,macam saya. Laiknya ribuan teman jurnalis lain di Jakarta, saya pun mengidamkan punya buku. Bukan sekedar untuk memperbaiki kesejahteraan hidup. Bukan. Buku menjadi warisan berharga bagi anak cucu, atau sebagai “jejak” bahwa kita pernah berkecimpung di dunia tulis menulis. Saya tak ingin, kematian saya hanya dikenang dan diunggah lewat pesbuk teman-teman, atau sekedar kata RIP di status Blackberry. Sebulan kemudian terlupakan, tanpa ada karya yang masih bisa dibaca.

Beberapa kali tema saya ajukan ditolak penerbit. Saya mencoba menulis novel, tapi belum selesai juga lantaran kesibukan kerja. Satu ketika, saya aktif menulis status di Blackberry, menawarkan diri untuk menulis apa saja,bagi siapa saja. Seorang teman dari penerbit Puspaswara membacanya. Kami lantas terlibat diskusi intens, tema apa yang kira-kira sedang in. Kebetulan sedang booming akik. Usai terjadi kesepakatan, agenda berikutnya mewujudkannya.

Kebetulan paman saya di kampung mengabarkan butuh biaya pembangunan Taman Pendidikan Al Qur’an. Saya tak mau merendahkan diri dengan meminta-minta bantuan pada orang-orang kaya Jakarta. Saya berfikir, dengan menulis buku,dari royalti yang saya dapat bisa sedikit membantu paman. Ini yang membuat "baling-baling" kreativitas saya semakin berputar kencang.

Persoalan pertama adalah keterbatasan waktu. Karena booming akik tidak boleh hilang,ketika buku saya harus terbit. Saya sanggupi. Hampir selama saya riset data di internet dan di lapangan, tiap hari selalu kurang tidur. Data terus menerus minta di up date. Belum lagi foto, yang juga harus saya penuhi sendiri. Seorang teman,fotografer profesional, menolak bergabung lantaran tidak ada uang DP yang masuk duluan.Saya bisa memaklumi,karena kerja sekarang semuanya diukur dengan uang dan uang.

Lebih tragis lagi, order menulis biografi terpaksa batal. Padahal uang panjar sudah di tangan. Si pengorder ingin buru-buru. Tapi saya minta waktu, sampai naskah buku akik yang bisa di share untuk khalayak lengkap. Karena tak mau ditunda, kerjasama menulis biografi kandas. Saya ikhlas.

Tentu ini bukan pengalaman pertama saya menulis buku. Sebelumnya saya pernah terlibat pembuatan biografi seorang tokoh. Beliau adalah mantan panglima pasukan gerak cepat era Bung Karno. Pernah juga ikut menggarap proyek buku SIKIB (solidaritas istri kabinet Indonesia bersatu).Lain waktu, tulisan saya di media ditawar untuk dibukukan. Tapi karena kendala birokrasi, tawaran itu tidak bisa terealisasi. Karya-karya itu, tidak dijual secara komersial, tak aneh, impian menulis buku masih tetap berkecamuk.

Jika akhirnya buku soal akik yang saya tulis ini “menyimpang” dari pekerjaan sehari-hari saya sebagai wartawan hiburan, point penting sesungguhnya adalah karya ini terwujud dengan perjuangan yang sangat keras. Semua mafhum,tidak mudah meyakinkan penerbit,untuk orang dengan level seperti saya. Di sisi lain, buku ini juga menjadi pemicu, untuk berkarya lebih baik lagi, dengan tema-tema yang lain. Sederet ide coba saya wujudkan, siapa tahu ada lagi yang nembus ke penerbit.

Pada akhirnya menjadi jurnalis bukan diukur dari posisi apa dia di kantor,seberapa pandai dia berbicara dan seberapa piawai ia menjilat atasan di kantor agar bisa terus menduduki jabatan empuk.  Menulis berkualitas adalah produk yang tidak bisa dinafikan sebagai wujud intelektualitas, walau sang jurnalis hanya menduduki jenjang sebagai reporter biasa. Dan menulis buku adalah puncak “ibadah”, sebagaimana puncak-puncak yang lain yang masih memungkinkan untuk digapai.Misalnya meraih penghargaan Adinegoro.Syukur-syukur bisa menyabet Pulitzer. Tapi ini cuma becanda, karena satu hal yang mustahal. Bukan begitu?hehehe...


   

Sunday, April 19, 2015

Carita,Menpora dan Sopir Tua



“Besok ikut saja ke Carita.Bisa khan?”kata staf khusus Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi, menawarkan perjalanan weekend di akhir pekan, awal April 2015 lalu. Kata sang stafsus, kebetulan menpora mau berlibur.  Saya bisa nebeng di bus,kalau mau ngobrol panjang lebar. Sebetulnya, soal ikut dan tidak ikut itu hal biasa. Tapi perjalanan ke Carita yang cukup jauh, dengan jatah waktu hanya sehari untuk wawancara, membuat saya harus berfikir keras.

Saya minta jaminan, ada mobil yang mengantar ke Jakarta hari itu juga. Soalnya saya ogah nginep. Si stafsus setuju. Oke,deal. Pagi-pagi,saya meluncur ke Kemenpora di Senayan, Jakarta. Lantaran diberitahu maksimal jam 9 pagi sudah berangkat, sekitar pukul  7 saya sudah keluar rumah. Saya berfikir positif, semua akan on time. Jam 9 langsung cabut. Perkiraan kasar, maghrib sudah sampai lagi di Jakarta. Tapi begitu sampai di Kemenpora, nyatanya saya harus menunggu hingga pukul 11.00.

Ada tiga bus terparkir milik kementerian pemuda dan olahraga. Rupanya agenda menpora hari itu ia akan mengajak para stafnya berlibur. Selama ini,lantaran kesibukan kerja, Imam tak cukup akrab dengan orang-orang yang telah membantunya. Moment libur panjang akhirnya dipakai. Saya sempat kagok,karena teman saya si stafsus ternyata tidak ikut.”Hubungi bagian protokol mas. Dia yang ngatur,”katanya via SMS.
Namun ada yang membuat saya was-was. Ternyata Pak Yudi, protokol kemenpora, tidak bisa menjamin ada mobil yang bisa membawa saya pulang habis wawancara. Beliau menyerah.Pak Yudi malah menyangka, saya bakal ikut rombongan selama tiga hari di Carita. Berangkat Jum’at pulang Minggu. “Nanti kita kasih kamar hotel,”ujarnya. Hadeuh...

Karena saya sudah pegang komitmen sang stafsus, saya putuskan ikut. Nanti kalau tidak ada mobil yang bisa mengantar ke Jakarta gampang. Saya tagih saja janjinya. Rombongan berangkat. Tiga bus,beberapa mobil, berjalan merayap menembus kemacetan jalan menuju Banten. Kami sempat mampir ke makam Sultan Ageng Tirtayasa di Kawasan Banten lama. Rupanya menpora mau ziarah. Dalam perjalanan yang demikian tersendat-sendat, harapan untuk pulang sore pun sirna. Bagaimana bisa?Jam 14.00 saja masih di area makam.

Kelar Jumatan, rombongan di arahkan ke rumah makan. Sejak di Jakarta, saya memang tidak pernah melihat menpora. Rupanya ia pakai mobil lain, yang dikawal petugas. Begitu terlihat di restoran, tanpa pikir panjang saya todong. Pokoknya sedot semua bahan. Ngobrol disitu, biar misi segera tuntas. Saya menangkap kesan, Imam Nahrawi belum lepas dari kultur Nahdlyin-nya yang egaliter, suka guyon dan tidak ngeboss. Beda jauh dengan koleganya yang sama-sama dari PKB dan juga jadi menteri.

Usai wawancara, dalam perjalanan menuju Carita, baru kemudian saya tahu, tujuan sebenarnya adalah pantai Anyer. Kami masuk ke Hotel Marbella, Anyer, saat sore hampir menjelang. Foto-foto pak menteri dan keluarganya belum dapat banyak. Maka saat matahari mulai tenggelam di Pantai Anyer,  menpora yang sedang berenang dengan empat anaknya di kolam renang hotel kami kejar. Di situ,  kembali kami berinteraksi. “Ayo foto-foto lagi bro,”kata menpora pada fotografer. Jepret,jepret,jepret.

Nah,ini yang kemudian saya khawatirkan. Sesuai janji, mestinya ada mobil yang bakal membawa kami (saya dan fotografer) ke Jakarta. Tapi telepon sang stafsus tak bisa dihubungi. Saya juga lobi ajudan menpora. Jawabannya sama, tidak ada mobil yang bisa pulang malam itu. Sementara fotografer sudah minta pulang karena bininya sakit. Di rumah sendirian. Takut kenapa-napa. Busyet dah. Dalam kondisi serba tak menentu, tiba-tiba ada telepon masuk.

“Halo mas...saya asistennya Mas Reza, staf khusus pak menteri,”kata suara di seberang. Rupanya stafsus juga sedang berlibur di tempat lain.  Makanya ia tak ikut ke Anyer. Solusi lantas di cari. Saya disuruh naik taksi, atau menunggu ada mobil rental. Saya pilih menunggu. Ajudan menpora lantas yang sibuk nyari mobil. Malam hampir pukul 21.00 tentu susah mencari mobil rental di daerah terpencil seperti Anyer. Tak heran, kami menunggu cukup lama,dengan perasaan tak menentu.

Sekitar jam 22.00 mobil datang. Seorang pria berusia lanjut menyapa kami dengan ramah. Ia membuka pintu sebelum saya masuk, dan segera memegang kemudi. Pak sopir mengaku, mobil yang dikendarainya milik keponakannya, yang bekerja di Hotel Marbella. Ia biasa membawa sewa dari Anyer sampai Jakarta. Bahkan pak tua yang masih gesit itu mengaku sudah biasa menjelajah pulau Jawa,membawa mobil rental.”Yang penting bapak tidur saja. Nanti sampai kantor menpora, saya bangunin,”kata pak tua, memanggil saya “bapak”.

Tapi nanti dulu. Sepanjang perjalanan saya bukannya bisa tidur nyaman. Sopir tua ini membawa mobilnya bak Michael Schumancer menggenjot Ferrari. Gila. Saya bahkan kerap menahan nafas, takut si bapak yang juga penggemar akik ini tiba-tiba ngantuk, mobil oleng dan brak, mobil nabrak. Mampuslah saya yang duduk di samping sopir.Padahal pertama kali saya masuk mobil, pak sopir sudah saya wanti-wanti jangan ngebut.

Hampir dua jam nyali saya menciut. Perasaan baru tenang, setelah masuk wilayah Gelora Bung Karno. Meski masih ngebut, saya yakin kalau pun ngantuk tidak bakal celaka. Minimal sudah dekatlah. Perjalanan menegangkan berakhir, ketika mobil tiba di samping kemenpora. Saya turun, dan pesan dengan sungguh-sungguh pada pak sopir tua.”Hati-hati,pak. Pelan-pelan saja ke Anyernya.Takut ngantuk,”. Pak tua mengangguk sambil tersenyum...

Sunday, April 5, 2015

SMS,BBM dan WA Pak Menteri



Jujur saya sering merasa kepontal-pontal mengikuti perkembangan teknologi. Dulu, saat Blackberry belum menjamur, menghubungi teman atau nara sumber,cukup dengan mengirim pesan pendek (SMS). Kala itu, merk Blackberry hanya saya dengar ketika Oprah Winfrey  secara mengejutkan membagi-bagikan hadiah pada penonton acara yang dipandunya; The Oprah Winfrey Show. Sekilas saja. Tanpa pernah terpikir, jika benda ajaib itu akhirnya mendarat ke Indonesia.

Setelah musim Blackberry menjamur, pesan pendek saya menjadi kadaluarsa. Pelan-pelan, mereka yang berduit mengganti gadgetnya dengan Blackberry. Karena harganya relatif mahal, saya tentu saja tak serta merta bisa membeli. Tapi tiap kali meminta nomor pada kenalan baru, selalu di beri PIN,dus berarti saya harus menghubunginya lewat Blackberry Messenger (BBM). Duh, rasanya capai banget, untuk mengikuti perkembangan teknologi yang berlari secepat kereta Shinkansen. 

Untung kantor memberi keringanan memiliki  Blackberry, dengan cicilan terjangkau. Lewat teknologi BBM inilah, saya mengenal Saleh Husin, politisi Hanura, yang kini jadi menteri perindustrian. Nama pria asal NTT ini terpampang di daftar teman Blackberry saya, meski kami jarang bertegur sapa. Bahkan saat kejayaan Blackberry pelan-pelan tergerus Iphone, sosok beliau masih setia bertengger di gadget saya. Belakangan, saya mulai was-was, lantaran pelan-pelan orang -orang berduit sudah tak nyaman berinteraksi lewat BBM.

Pertimbangannya, BBM sering ngadat. Ngirim hari ini,bisa besok baru nyampai. Kemudian lahirlah teknologi baru, WhatsApp. Berbondong-bondong orang beralih memakai aplikasi yang kerap disingkat WA ini. Blackberry saya sebetulnya bisa dipakai untuk WA. Tapi lantaran semakin menua, satu ketika WA-nya tak bisa diunggah. Tak ayal,kadang jika bertemu orang baru, dan meminta PIN BB, jawaban sudah tak memakai BB tapi beralih ke WA, membuat saya jadi melongo. Ujung-ujungnya, saya kembali ke SMS.

Nah,gara-gara soal SMS, BBM dan WA ini, buruk sangka sempat menghinggapi ketika tiba-tiba nama Pak Saleh Husin tak muncul di BB saya. Kebetulan ia men-delcon saya pas saat Presiden Jokowi mengangkatnya jadi menteri perindustrian. Saya sempat berfikir, waduh, apa beliau takut ya saya mintain proyek atau melamar jadi staf khususnya. Saya jadi sensi. Bukan apa-apa. Sepanjang saya kenalan dengan para pejabat negeri ini, pantang bagi saya untuk colak colek atau sok kenal sok dekat, dengan motivasi tertentu. 

Mungkin saya lugu. Tapi memang saya goblok untuk soal ini. Saya selalu bertahan dengan prinsip, hidup apa adanya,kalau perlu jangan jadi beban orang lain. Saya masih ingat,bagaimana seorang calon wakil gubernur begitu baik hati. Bolak balik memanggil agar diliput. Saat sudah duduk dan kini naik jadi gubernur, betapa susah saat dihubungi sekedar untuk say hello,apalagi meminta waktu untuk wawancara. Namun lantaran sikap saya yang easy going, saya woles saja. 

Buruk sangka terhadap pak menteri yang sempat bercokol itu akhirnya sirna seketika,  saat saya mengunjungi rumahnya di bilangan Buncit, Jakarta Selatan, awal April 2015 lalu. Tanpa saya tanya, beliau bilang sekarang memakai WA. “BB sudah nggak musim lagi,”katanya. Sejak pagi hingga hampir dzuhur berinteraksi dengan beliau, semakin menyadarkan diri saya, jika sosok Saleh Husin memang jauh dari pikiran negatif saya.

Tentu saja saya tak perlu secara gamblang mengungkap kelebihan-kelebihan beliau secara personal, karena nanti dianggap subyektif. Tapi pesan penting dari semuanya, teknologi membuat kita semakin terbantu dalam berbagai hal. Namun di sisi lain, ada sisi sentimentil yang kerap timbul jika kita tak hati-hati menempatkannya. Okelah, hak setiap orang untuk menunjukan level sosial atau seberapa jauh ia melek teknologi, ketika setiap saat mengikuti trend. Tapi sebetulnya, bukan di situ substansi sebenarnya dari sebuah penciptaan teknologi.

Pada akhirnya, semua berpulang ke diri kita masing-masing. Ada pekerja dengan penghasilan pas-pasan, yang rela kredit Iphone hanya demi menunjukan diri jika ia berselera tinggi. Tapi banyak juga konglomerat tajir, yang tetap setia dengan gadget Nokia jadul, dengan layar monocrom, lantaran fungsi komunikasi sebenarnya ya sekedar  menerima dan mengirim telepon. 

Tak heran,jika tak disikapi dengan bijak, jatuhnya mungkin seperti yang saya alami. Orang sebaik Saleh Husin, sempat saya curigai,gara-gara saya di delcon. Padahal mah problemnya sederhana aja, beliau hanya beralih dari BBM ke aplikasi WA. So, tolong orang-orang pinter IT, jangan bikin kita jadi kepontal-pontal mengikuti imajinasi liar kalian. Tapi mungkinkah?

Sunday, November 9, 2014

TK A,TK B dan TKW kita


“Ciaaaaaaaat!!!”.Seperti pendekar sakti Sungai Kuning, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri melompati pagar sebuah penampungan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Konon pak menteri memilih melompat,lantaran tidak segera dibukakan pintu oleh sang empunya Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI). Saat melihat fotonya di media masa, spontan saya ingat aksi pendekar di cerita silat karangan Asmaraman S. Kho Ping Ho, yang sering saya baca waktu SMP. Sang pendekar,eh pak menteri seperti memiliki ilmu  gin kang alias ilmu meringankan tubuh.Wusss....

Mungkin saya lebay ya?Tapi pak menteri memang pantas gusar. Apalagi belum lama dua TKW kita meninggal secara  mengenaskan di Hongkong. Sumarti Ningsih dan Seneng Mujiasih terbunuh dengan luka tusukan yang diduga dilakukan seorang bankir asal Inggris. Saya tak mau membahas apa profesi keduanya. Namanya orang sudah meninggal, yang baik-baik sajalah yang kita ungkit. Ora ilok,kata orang Tegal. Walau saat melihat foto-foto Ningsih di akun jejaring sosialnya, sungguh terlihat ‘ngeri-ngeri sedap’.

Sebelum kedua jenasah TKW kita itu dipulangkan dan dikebumikan,rasa-rasanya bibir kita semua sudah dower, untuk mengingatkan betapa acakadutnya proses rekrutmen dan pengiriman TKW kita. Dari umur yang dituakan,pembinaan yang asal-asalan,sampai penyelundupan TKW, yang kalau apes malah kejebur di laut jadi makanan ikan teri. Dari proses itu, hasilnya TKW kita kalau tidak membunuh ya terbunuh. Derita paling umum adalah dihamili, atau kalau beruntung seperti Darsem. Dapat pembebasan hukuman pancung karena bayar denda, sekaligus menerima duit 1 milyar sumbangan pemirsa Tvone. Hassyiiik....

Memang tak semua TKW bercitra negatif. Saya pernah kenalan dengan seorang perempuan muda, yang  sedang liputan Agnes Monica (sekarang disingkat jadi Agnes MO,gara-gara lagi ngetrend singkat-singkatan). Ngobrol punya ngobrol, ternyata dia mengelola sebuah tabloid khusus TKI di Hongkong dan Taiwan. Belum lama berselang, ketika main di sebuah toko buku, saya juga lihat ada buku yang ditulis seorang  TKW yang kemudian beralih profesi  menjadi motivator sukses. Luar biasa.

Pekerjaan mereka awalnya sama;ngosek WC. Tapi lantaran ingin maju, mereka belajar, dan berhasil. Masih ingat kasus Soleh Mahmud alias Solmed, yang berseteru dengan jamaah pengajian di Hongkong, gara-gara pasang tarif selangit. Nah,itu juga jadi bukti, diluar mereka bekerja sebagai asisten rumah tangga, sesekali juga mereka  menyantap hidangan rohani, walau mungkin tidak sering. Tapi paling tidak,itu menggambarkan, mereka adalah TKW yang baik dan tidak sombong,eh, maksud saya ingin memperbaiki akhlak.

Soal TKW yang nyambi melayani pria, tentu  tak ada bukti yang valid. Paling gosip-gosip, yang jika digosok makin sip. Mungkin dari melihat penampilan mereka di Victoria Park,sebuah taman di pusat Kota Hongkong tempat para TKW pada kongkow saat weekend, lantas muncul cerita itu. Soalnya di situ dandanan mereka aduhai sekali. Prilly Latuconsina atau Bunga Citra Lestari pasti lewat. Lihat saja, dari celana super  pendek hingga bokongnya kelihatan, sampai berani mentato tubuh dengan gambar aneka rupa. Kadang-kadang juga terlihat para TKW itu ditenteng bule (rantang kali ditenteng,hehehe). Tapi semua hanya kabar burung, sebelum akhirnya kejadian tragis itu muncul.

Saya pribadi ingin, sudahlah, hentikan saja pengiriman TKW,apalagi yang muda dan montok (hmmm...).  Namun jika ini sulit, ya minimal ada pembinaan intensif dan terukur, jangan cuma sekedar dilatih membuat ceplok telor dan memotong lontong. Sebab saya fikir, para TKW itu juga tak jauh beda dengan anak-anak TK A dan TK B. Jangan marah dulu. Maksud saya, jika anda memiliki anak yang masih duduk di bangku TK A dan TK B, pasti merasa repot untuk menjelaskan segala sesuatu yang baru di luar rumah.

Anak saya misalnya, paling rewel bertanya ini itu. Sebagai orang tua, saya harus menjelaskan. Ini biar anak saya tidak kecemplung “got”, yang terjadi karena ketidaktahuannya. Dalam kasus para TKW, mereka itu mayoritas berasal dari desa dan berpendidikan paling banter SMA.  Kadang ada yang berasal dari pucuk gunung, dimana capung saja tak kuat naik saking jauh dan terpencil tempatnya. Berani taruhan, dunia mereka ya sekitar kasur,sumur dan dapur. Boro-boro pernah ke Taiwan atau Hongkong. Di lepas ke Senayan City saja mungkin sudah linglung.

Dari habitat wong ndeso, laiknya anak TK A atau TKB kita yang belum tahu situasi luar rumah, tentu berisiko, ketika akhirnya harus dilepas ke kota metropolitan seperti Hongkong. Apalagi dengan gaji gede,melebihi gaji sarjana di Indonesia. Hakul yakin, mereka akan mengalami gegar budaya. Bergaul dengan teman-teman dari berbagai lintas negara, melihat orang-orang baru bertampang seperti Shaheer Sheikh yang jadi Arjuna di Mahabbarata  atau Jet Lee (bukan Jet pump lho ya?). Siapa yang kuat iman?Sudah begitu,jauh pula dari ustaz dan orang tua.

Kondisi ini diperparah dengan sifat orang kita yang snob –suka pamer. Bukan dengan mencantumkan stiker happy family di kaca belakang mobil, agar seluruh dunia tahu itu mobil kita.Bukan. Tapi para TKW ketika berangkat sudah mendapat beban psikologis harus kaya. Harus kirim uang buat bangun rumah, sumbang mushola, sembelih wedus saat Idul Adha atau beli sawah dan pekarangan yang luas. Ya mungkin itu bisa terwujud kalau dapat majikan baik. Kalau tidak?

Mereka yang masih ingat ajaran di madrasah bakal bertahan dengan idealisme,dan berpegang teguh pada nilai-nilai agama. Namun saat tawaran untuk nyambi melayani bule dengan harga menggiurkan datang, sementara tekanan untuk terlihat kaya kerap menghimpit,jangan salahkan jika pertahanan iman mereka ambrol.  Di sinilah,maksud saya, peranan para psikolog,agamawan, atau kaum moralis, untuk memberi “bekal” pada mereka sebelum  bekerja di negeri tetangga, laiknya kita memberi “bekal” anak balita kita sebelum  ke TKA atau TKB.

Kasus Hongkong menjadi “warning” serius, jangan sampai TKW  negeri kita di identikan dengan kemesuman belaka.  Coba kalau anda lihat perempuan Uzbek yang bekerja di  Jakarta. Atau maaf, perempuan-perempuan muda yang berasal dari Indramayu yang bekerja di warem (warung reman-remang) sepanjang Parung,Bogor.  Pasti konotasinya negatif. Padahal saya yakin, banyak perempuan Uzbek dan Indramayu yang baik-baik, yang stay di Jakarta. Tapi karena nila setitik, rusak susu sebelanga.

Hak para TKW untuk mencari nafkah di mana suka. Cuma mbok ya jangan sektor pembantu rumah tangga terus yang diperbesar “ kuotanya”.  Ini tugas pemerintah barulah. Antara lain, ya dengan lompatan gin kang pak menteri  tadi. Para TKW juga mesti sadar, bahwa  bekerja diluar negeri itu untuk memuliakan kehidupan. Yang masih cantik dan bohay, harus mikir satu saat akan menikah dengan baik-baik. Yang sudah janda dan punya anak,ingat, anak itu harus sekolah tinggi dan butuh biaya.

Sementara bagi yang terpaksa meninggalkan suami, buat apa bermain api dengan orang Arab, India, Hongkong atau bule, jika akhirnya harus di mutilasi atau pancung? Bersyukur  kalau jasad kita masih utuh. Jika dimasak,terus ditiriskan dan dikasihkan kucing, sudah kita kehilangan nyawa, keluarga juga malu. Bekerja saja yang benar. Jika dipersulit atau kesulitan, ya, segera kabur ke KBRI. Atau seperti tetangga saya,yang berpegang prinsip, seenak-enaknya hujan emas di negeri orang, lebih enak lagi di negeri sendiri meskipun hujan batu. Pendek kata, rejeki toh Allah yang atur. Jadi ngapain dikhawatirkan, sampai maksain diri jadi TKW. Setuju monggo,nggak setuju barbel melayang,hehehe...

    

Tuesday, August 12, 2014

Revolusi Mental Ala Aa Gym



Saat mendengar Aa Gym akan memberikan tausyah, Selasa (12/8) lalu, saya sebetulnya agak aras-arasen (Bahasa Indonesia; malas) untuk ikut jiping alias ngaji kuping. Bukan apa-apa. Saya masih teringat,bagaimana beliau menjalani kehidupan rumah tangganya yang penuh kontroversial. Kebetulan saya bukan penganut “ideologi” poligami. Seperti banyak ibu-ibu jamaah Aa Gym yang lain, saya sangat kecewa, ketika pengasuh pesantren Daruut Tauhid ini memutuskan untuk berpoligami.

Namun lantaran ini moment langka, pagi itu saya beranikan diri untuk datang. Saya memang melihat Aa Gym agak lebih sepuh. Kulitnya tidak seputih dulu. Tapi ia tetap ramah, dan tampil apa adanya. Satu hal yang membuat saya memberanikan diri menulis ini adalah soal fokus dakwahnya yang kini sudah berubah haluan. Sesuai pesan gurunya, Aa Gym lebih menekankan soal hakekat ketauhidan.

Ini sebetulnya kajian yang berat. Saya teringat seorang kyai di desa saya, yang sering mengusung tema ini. Hasilnya, jamaah kyai tersebut jadi eksklusif. Dalam batas-batas tertentu, bahkan menganggap, yang bukan kelompok mereka adalah orang yang “sesat”. Tapi di tangan Aa Gym, kajian ini menjadi sangat ringan, mengena dan “nendang” hingga ke ulu hati.

Aa Gym mengaku tujuh tahun untuk bertransformasi menjadi seperti sekarang. Ia diajari gurunya untuk mengamalkan ilmu kelapa. Seperti kelapa, kita tidak akan mendapat minyaknya, sebelum dijatuhkan, disayat, dibelah, dan diparut. Aa Gym mengakui, saat berpoligami, hinaan,hujatan, cacian dan cercaan mendatanginya setiap hari. Sakit hatikah?”Tidak.Karena dengan cara seperti itulah, saya melepas Illah yang lain, selain Allah SWT,”katanya.

Ia mencoba flashback. Ketika sedang berada dipuncak kepopuleran, perusahaan puluhan, dihormati dan dikagumi, hidupnya justru tidak tenang. Anak-anaknya tak terurus. Ia merasa selalu lelah. Risau. Aa Gym hanya merasa tenang, saat memberi tausyah. Tapi setelah itu hanya capai yang didapat.”Saya sering mengeluh, kok hidup begini banget ya? Akhirnya oleh guru saya, saya dianjurkan untuk menapak bumi. Seperti kelapa, saya harus dijatuhkan dulu,”kata Aa Gym.

Semua Illah selain Allah perlahan-lahan dilepas. Kepopuleran, nama besar, harta benda, rasa ingin dihormati, takut dicaci, ingin dipuji dan segenap hal yang berujung pada penilaian manusia semua dilepas. Revolusi mental itu membuat Aa Gym mengasingkan diri. Baru setelah dinilai sudah mantap oleh sang guru, beliau diijinkan kembali untuk berdakwah. “Tapi kajiannya hanya soal bagaimana cara mengenal Allah. Ini yang saya sebut ketauhidan dalam versi yang ringan,”katanya.

Ah, selama satu jam lebih kami semua bahkan terus ingin nambah dan nambah pengajian Aa Gym. Tidak ada keangkeran seperti citra yang dipancarkan kyai di desa saya. Justru lewat ngaji tauhid inilah, menurut Aa Gym, kunci menuju bahagia. Jika kita berharap pujian dari orang lain, hidup kita tidak akan tenang. Lagi pula, pujian dan hinaan hanyalah versi manusia. “Kalau kita nggak bisa bayar cicilan mobil lantaran kita memaksa kredit agar dipuji,apa mereka yang memuji mau membayarkannya,”kata Aa Gym.

Yang unik, kata Aa Gym, tidak semua orang yang mati dan mengaku syahid, para dai, ahli ibadah dan dermawan akan masuk surga. Karena saat dihisab, ketika ditanya syahid dan ibadahnya diakui untuk Allah, tapi setelah ditelisik ternyata hanya karena berharap pujian manusia,maka orang itu akan dianggap berdusta. Alhasil, ia bakal terjungkal di neraka. “Jadi kunci bahagia itu bersihkan hati. Jauhkan dari sifat ingin dipuji, gagah-gagahan, kikir, dengki, suka pamer dan penyakit hati yang lain,”kata Aa Gym.

Dan lain-lain,mungkin terlalu sempit jika saya tulis semua. Tapi Allah memang maha membolak-balikan hati manusia. Jujur saja, rasa jengkel yang selama ini bersemayam karena keputusan Aa Gym berpoligami, mendadak sirna, seperti kabut diterpa sinar matahari. Sengaja pengalaman batin ini saya bagi,karena sesungguhnya kita tak tahu hati Aa Gym, saat ia rela meski harus dihujat. Maafkan Aa, saya telah berburuk sangka. Kepada Allah pula, saya berdoa, semoga penyakit ingin dilihat wah dan suka pamer dijauhkan dari hati saya. Amin ya robbalalamin.